Aliansi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar aksi massa yang bertajuk “Haru Pendidikan Nasional” bersama dengan BEM KM UGM dan mahasiswa UGM lainnya. Aksi yang digelar pada Kamis (02-05) bersamaan dengan audiensi di depan gedung Rektorat UGM. Massa aksi yang hadir menuntut kejelasan serta komitmen dari rektorat terhadap kebijakan penyesuaian besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk mahasiswa baru UGM tahun ajaran 2024/2025.
Arie Sujito selaku Wakil Rektor Bidang Perencanaan Aset dan Informasi UGM menyerukan bahwa universitas sudah melakukan verifikasi sesuai Surat Keputusan (SK) Rektor Universitas Gadjah Mada nomor 243/UN1.P/KPT/HUKOR/2024. Ia juga menambahkan bahwa pelibatan mahasiswa sudah diusahakan sesuai dengan ketentuan yang ada di SK. “Itu sudah ada SK-nya. Jalan atau tidak mari kita lihat bersama,” ungkap Arie.
Aulia Nissa, salah satu massa aksi dari Fakultas Hukum, menyampaikan kekecewaannya terhadap kebijakan mendadak universitas atas penyesuaian besaran UKT. Ia lanjut dengan menyerukan supaya semua standar verifikasi di tingkat universitas disamakan dengan sistem Fakultas Hukum yang sangat melibatkan mahasiswanya. “Kami harapkan semua standar verifikasi di [semua-red] fakultas disamakan, minimal seperti Fakultas Hukum,” tuturnya.
Di tengah aksi, Arie menyampaikan bahwa universitas juga resah akan kebijakan negara yang menekan, sedangkan mereka dituntut untuk memberikan kualitas yang tinggi. Ia mengklaim bahwa universitas sudah memperjuangkan keresahan mereka di forum pendidikan tinggi meski tidak banyak diketahui atau dipedulikan oleh mahasiswa. “Ke depan kita akan memastikan adanya perombakan dan penataan ulang, perubahan dan seterusnya, dan evaluasi,” ucap Ari.
Nugroho Prasetyo Aditama selaku Ketua BEM KM UGM menyayangkan diamnya universitas di hadapan gempuran komersialisasi pendidikan tinggi. Ia menyebutkan perlunya sinergitas antara mahasiswa dan rektorat dengan cara membuat suatu forum besar untuk menggugat permasalahan kenaikan UKT. “Selain kita menjadi kampus kerakyatan, tapi [UGM-red] juga jadi kampus revolusioner dengan cara menyatakan sikap bersama-sama,” serunya.
Nugroho melanjutkan dengan membaca delapan tuntutan yang tertuang di dalam pakta integritas untuk ditandatangani oleh rektorat menjelang selesainya aksi. Di antaranya adalah evaluasi sistem UKT, memastikan keterlibatan mahasiswa sebagai verifikator, dan fasilitasi penyelenggaraan audiensi terkait transparansi UKT. Namun, Arie Sujito sempat enggan untuk menandatangani pakta tersebut. Alasannya adalah tuntutan yang ditujukan seolah-olah membuat rektorat terlihat tidak melakukan apa-apa, sedangkan pelibatan mahasiswa sudah dilakukan sesuai SK yang ada. “Jelas-jelas ada SK, kelibatan SK itu lebih kuat dari statement yang diberikan,” ujarnya.
Meski demikian, Arie tetap menandatangani pakta integritas tersebut. “Saya tanda tangani bukan underpressure oleh kata-katanya dia [Nugroho-red], perlu dicatat ya bahwa ini soal komitmen,” ujarnya sebelum menandatangani pakta integritas. Melalui penandatanganan ini, massa aksi berharap rektorat sudah siap berkomitmen dan jika tidak ditindaklanjuti, janjinya dapat ditagih secara lebih konkret.
Selepas aksi, BALAIRUNG mewawancarai Aulia terkait rincian sistem verifikasi UKT di Fakultas Hukum yang sempat diajukannya sebagai saran kepada rektorat Ia menjelaskan sistem verifikasi tersebut sudah diterapkan oleh Fakultas Hukum semenjak tahun 2013. Aulia melanjutkan bahwa di fakultasnya mahasiswa dilibatkan dalam memverifikasi data UKT dengan melakukan pengecekan ulang dan saling memberi masukan. “Kita diajak bareng-bareng, kita duduk bersama, kita buka satu-satu datanya,” ucapnya.
Penulis: Achtar Khalif Firdausy
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: Aiken Gimnastiar