Pada Kamis (09-05), Jogja Art+Books Fest menggelar acara “Berbincang” yang ketiga dengan tajuk Sekolah Biasa Saja, Arah Pendidikan Alternatif Kini dan Nanti. Diskusi ini menghadirkan sejumlah praktisi sekolah alternatif di lingkup Yogyakarta, yaitu Toto Rahardjo selaku pendiri Sanggar Anak Alam (Salam) sekaligus penulis buku Sekolah Biasa Saja, Diah Widuretno sebagai perwakilan sekolah Pagesangan, dan Neneng Mayam yang merupakan aktivis muda pegiat Sekolah Gajahwong. Kekhawatiran atas sekolah alternatif di tengah tantangan pendidikan Indonesia yang dinilai tidak berpihak kepada realitas kehidupan masyarakat adalah pemantik diadakannya diskusi ini.
Toto mengutarakan bahwa sekolah alternatif kerap dipahami sebagai sesuatu yang berbeda dari biasanya. Padahal, menurutnya sekolah secara umum seharusnya biasa saja, berhubungan dengan masyarakat, belajar dari kenyataan dan dari kehidupan sehari-hari. “Sekolah juga biasa, biasa untuk mengenal budaya, mengenal alam sekitarnya,” ujarnya.
Menyambung Toto, Diah melihat adanya jarak antara pendidikan formal dengan kebudayaan dan realita kehidupan sehari-hari siswa. Menurutnya, riset terhadap aktivitas siswa dan keluarganya perlu dilakukan untuk memahami kebutuhan belajar yang ideal. “Misalnya kehidupan pertanian, mereka [siswa-red] perlu juga mempelajari hal tersebut untuk menjalani kehidupan sehari-hari karena tidak pernah diajarkan di sekolah terkait kehidupan pertanian, mengolah pangan, kehidupan terkait perdesaan,” paparnya.
Kembali ke Toto, ia melihat permasalahan tersebut sebagai tantangan karena seharusnya sekolah yang wajib menyesuaikan kebutuhan para peserta didiknya, bukan sebaliknya. Ia menambahkan bahwa disitulah peran sekolah alternatif untuk menyesuaikan apa yang dibutuhkan oleh para peserta didiknya. “Kalau selama ini siswa harus menyesuaikan dengan sekolah, nah ini mestinya harus dibalik, tapi kalau yang alternatif [menyesuaikan siswa-red],” ungkap Toto.
Di lain sisi, Neneng menilai bahwa peran sekolah alternatif tidak sebatas penyedia jasa pendidikan, tetapi juga sebagai ruang advokasi masyarakat. Ia menceritakan tentang sekolah Gajahwong yang membantu mengadvokasi masyarakat untuk mendapatkan identitas kependudukan sebagai warga Jogja. “Karena tidak memiliki identitas kan otomatis anak-anak yang lahir di situ mulai tumbuh dan kalau mau sekolah nggak bisa,” ujar Neneg.
Neneng pula menambahkan bahwa adanya sekolah alternatif sebagai ruang untuk memecahkan suatu permasalahan perlu dibekali dengan sudut pandang yang saling memberdayakan dan mengupayakan satu sama lain. Menurutnya masyarakat harus saling membantu dalam memecahkan suatu permasalahan tanpa melihat latar belakang individunya. “Nah, mindsetnya ya yang harus terus dipupuk adalah bahwa kita semua temen-temen masyarakat, orang tua, dan anak-anak di sekolah kita itu mampu untuk mengupayakan, memberdayakan diri sendiri meskipun kalo mereka melihat kan diri mereka itu tidak mampu ya,” ujarnya
Diah juga menyoroti tentang cara sekolah alternatif dapat menjaga peran yang telah mereka pegang selama ini. Ia menegaskan bahwa peran tersebut tetap terjaga dan bisa diteruskan dengan mengupayakan keberdayaan secara bersama-sama. “Nah, caranya gimana? Bagaimana [caranya lewat-red] kita membangun keberdayaan dengan potensi yang kita miliki sendiri dengan semua masalah dan potensi yang kita miliki,” tegas Diah.
Penulis: Rajwa Aqilah dan Safira Aisyah
Penyunting: Ester Veny
Fotografer: Bayu Tirta Hanggara