Kartu Indonesia Pintar Kuliah Merdeka atau dikenal sebagai KIP-K Merdeka merupakan bantuan biaya pendidikan dan biaya hidup yang diberikan kepada calon mahasiswa dan /atau mahasiswa on-going dari keluarga miskin yang memiliki potensi dalam bidang akademik. Sejak tahun 2020, pemerintah memberikan KIP Kuliah kepada lebih dari 900.000 mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi, termasuk penyandang disabilitas. Pada 2021, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan KIP-K Merdeka yang merupakan transformasi dari KIP-K tahun 2020 dan Bidikmisi sejak 2010.
Program bantuan ini mengisyaratkan calon penerima dan penerima adalah mahasiswa yang berasal dari keluarga tidak mampu. Keadaan ini menimbulkan konsekuensi logis yaitu kebutuhan akan data kependudukan keluarga tidak mampu dari kementerian atau instansi terkait. Data ini menjadi sangat penting agar calon penerima sesuai dengan kondisi seharusnya dan senyatanya.Â
Pemerintah melalui kementerian yang menangani urusan penduduk di Indonesia memiliki berbagai macam pusat data yang digunakan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal data masyarakat tidak mampu, pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos) menghasilkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang berisi data pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial, penerima bantuan dan pemberdayaan sosial, serta potensi dan sumber kesejahteraan sosial. Selanjutnya, pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan Pusat Statistik, serta Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan melalui Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menghasilkan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrim (P3KE).Â
Sayangnya, DTKS dan P3KE ini memiliki banyak kekurangan. Kekurangan tersebut mengakibatkan masyarakat yang seharusnya masuk kategori tidak mampu malah tidak terdata, sedangkan masyarakat yang senyatanya tidak masuk kategori tidak mampu malah terdata. Faktor besar perbedaan âseharusnya dengan senyatanyaâ dan âsenyatanya dengan seharusnyaâ diakibatkan oleh tidak diperbaruinya data masyarakat di dalam DTKS dan P3KE. Menurut Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Hempri Suyatna, verifikasi dan validasi data kemiskinan atau data terpadu kesejahteraan sosial tidak berjalan dengan baik, sehingga banyak warga mampu masih terdata. Pembaruan data di tingkat pemerintah daerah atau desa juga tidak berjalan dengan baik, belum lagi konflik regulasi dan minim sinkronisasi antar-pemangku kepentingan. Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai polemik dalam pengelolaan dan penyaluran bantuan, yaitu perbaikan manajemen data dan optimalisasi satu data nasional, serta harmonisasi dan sinkronisasi regulasi atau integrasi program-program bantuan sosial. Selain itu, diperlukan pula perbaikan tata kelola program dan sistem evaluasi partisipasi, pengawasan bersama masyarakat.
Dalam hal kebijakan KIP-K Merdeka, terdapat dua kementerian yang mengatur pengelolaan bantuan ini. Di lingkungan perguruan tinggi yang berada di bawah Kemendikbudristek, pengelolaan KIP-K diatur melalui Permendikbud Nomor 10 Tahun 2020 tentang Program Indonesia Pintar (PIP) dan Persesjen Kemendikbudristek Nomor 10 Tahun 2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan PIP. Adapun perguruan tinggi keagamaan yang berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag) diatur melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 361 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Agama Nomor 361 Tahun 2020 tentang Pedoman Program KIP-K pada Perguruan Tinggi Keagamaan.
Kedua kementerian tersebut dalam membuat dan menetapkan kebijakan KIP-K yang mengisyaratkan administrasi ekonomi hanya terbatas pada penggunaan data untuk memverifikasi calon penerima KIP-K. Kemendikbudristek dan Kemenag tidak mempunyai kewenangan untuk menyanggah maupun mengubah data DTKS dan P3KE, sehingga berdampak pada ketidaktepatan sasaran penerima KIP-K. Dengan demikian pada setiap semesternya, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) wajib melaporkan kemampuan akademik penerima, kemampuan ekonomi penerima, dan kondisi penerima yang disampaikan kepada Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan. Begitu pun Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) juga wajib melaporkan kepada Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam.
Di dalam aturan KIP-K yang diterbitkan oleh Kemendikbudristek dan Kemenag, pembahasan soal pembatalan atau pencabutan penerima KIP-K tidak mengatur penyalahgunaan KIP-K secara spesifik. Di aturan Kemendikbud maupun Kemenag hanya berbunyi, âtidak lagi sebagai prioritas sasaran atau tidak memenuhi persyaratanâ, âdi kemudian hari ditemukan dan terbukti melakukan pelanggaran pemenuhan syarat sebagai penerima bantuanâ. Kalimat ini justru berisi pengertian bahwa mahasiswa penerima KIP-K dapat diberhentikan apabila keadaan perekonomian keluarga tidak lagi dalam kategori miskin atau potensi miskin yang dapat diketahui melalui evaluasi setiap semester.Â
Dalam konteks keseharian dan berita yang sering muncul di setiap tahunnya, penyalahgunaan dana KIP-K diartikan oleh masyarakat umum sebagai penggunaan dana untuk kebutuhan yang tidak semestinya. Hal yang tidak semestinya ini ternyata memiliki pemaknaan yang begitu luas dan terkadang keluar dari pembahasan hak dan kewajiban penerima KIP-K, seperti pembelian laptop yang dinilai sebagian sebagai barang yang semestinya tidak dibeli; pakaian yang dalam arti bagus; makanan keseharian yang bagi sebagian dikenal sebagai kategori makanan mahal; memiliki handphone dengan merek tertentu seperti Iphone; jalan-jalan ke berbagai tempat; memiliki style models yang mencolok dan hal-hal lain.Â
Masyarakat tidak bisa dibenarkan maupun tidak bisa disalahkan atas stigma yang mereka berikan kepada penerima KIP-K karena hal-hal yang disebutkan di atas tidak diatur dan tidak bisa diatur juga. Kebutuhan setiap mahasiswa tentu berbeda-beda dan kondisi mahasiswa ketika berkuliah juga berbeda. Ada mahasiswa yang memulai dengan tidak memiliki biaya kuliah; tidak memiliki alat penunjang kuliah; kondisi lingkungan mahasiswa berada; mahasiswa saat menerima sudah bekerja; kegiatan perkuliahan yang berbeda setiap program studi; dan hal-hal lain yang turut mempengaruhi mahasiswa untuk manajemen kegiatan kuliah.Â
Kasus dan konteks penyalahgunaan KIP-K juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal ini dibutuhkan mekanisme cross check and balance atau evaluasi yang dilakukan setiap semester oleh instansi pendidikan maupun pembukaan kanal aduan. Masyarakat umum, baik masyarakat di luar institusi perguruan tinggi maupun mahasiswa penerima dan non-penerima KIP-K, memiliki keinginan bersama yaitu transparansi akan siapa saja yang menjadi penerima KIP-K dan pertanggungjawaban akan status penerima KIP-K di instansi perguruan tinggi terkait. Walaupun pada pembahasan awal dijelaskan bahwa adanya gap âseharusnyaâ dan âsenyatanyaâ pada data DTKS dan P3KE. Namun, bukan berarti kampus lepas tangan begitu saja terhadap proses seleksi yang dilakukan dan hasil seleksi yang didapatkan.
Pihak kampus dapat ikut meningkatkan selektivitas verifikasi data dan berkas pendaftar bantuan KIP-K melalui serangkaian kebijakan, seperti mengelompokkan pelamar yang kelengkapan administrasinya sesuai dengan petunjuk teknis Kemendikbudristek atau Kemenag. Pengelompokkan ini bisa melihat pelamar mana yang mempunyai semua kelengkapan administrasi, seperti pelamar mempunyai PIP Pendidikan Menengah, masuk dalam data DTKS, keluarga peserta masuk ke dalam Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), data P3KE dan data-data lainnya. Tujuannya agar pelamar yang mempunyai kelengkapan data sejenis bisa terlacak dengan baik. Apabila setelah pihak kampus mengelompokkan data kuota KIP-K hanya sejumlah sekian, sedangkan pelamar melebihi kuota, maka bisa dilakukan proses seleksi. Jika pihak kampus menemukan pelamar yang mempunyai kesamaan data namun kuota tidak mencukupi, pihak kampus akan mengumpulkan mahasiswa yang sebenarnya layak ke dalam daftar mahasiswa penerima jenis bantuan lainnya seperti bantuan UKT dan bantuan dari mitra lain.Â
Proses seleksi KIP-K yang dilakukan oleh pihak kampus terkhususnya PTN mempunyai waktu berbeda-beda. Maksud akan hal ini adalah ada pihak kampus yang melakukan seleksi KIP-K sesuai jenis jalur masuk mahasiswa terkait, seperti proses seleksi mahasiswa pelamar KIP-K jalur SNBP dan jalur SNBT. Kedua jalur tersebut memang jalur yang disediakan oleh pemerintah melalui Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan bagi calon mahasiswa yang ingin berkuliah menggunakan KIP-K. Tentu saja jika pihak kampus melakukan seleksi lebih awal dengan cara âmencicilâ mahasiswa, maka besar kemungkinan mahasiswa yang melalui dan diterima pada jalur mandiri akan kecil kesempatan bisa mendapatkan KIP-K. Hal ini dikarenakan kuota yang diberikan oleh pemerintah ke setiap kampus berbeda dan semakin tahun semakin berkurang. Ini juga diperparah dengan kebijakan kampus yang mengenakan uang pangkal pada jalur mandiri.
Seyogyanya, setiap mahasiswa memiliki kesempatan yang sama dan setara untuk mendapatkan bantuan KIP-K berdasarkan kondisi dan kemampuan ekonomi keluarga, maka akan lebih baik jika proses seleksi bantuan KIP-K dilakukan ketika semua mahasiswa sudah diterima di kampus terkait. Ini mungkin akan membutuhkan waktu lebih untuk membuat mekanisme yang mengatur lini masa seleksi. Akan tetapi, ini bagian dari perbaikan regulasi yang harapannya bisa memberikan kesempatan ke semua pihak untuk mendapatkan hak yang selayaknya didapat.Â
Lebih lanjut, salah satu bentuk transparansi bantuan KIP-K yang menjadi kebutuhan dan perhatian publik adalah publikasi surat keputusan penerima KIP-K di setiap kampus. Surat keputusan ini bersifat umum dan seharusnya dapat diakses secara bebas oleh masyarakat umum. Namun, nyatanya masyarakat sering kali kebingungan di mana tempat untuk mengakses surat keputusan dan bahkan di beberapa kampus tidak terpublikasikan. Bahkan salah satu universitas besar di Indonesia, UGM, tidak mempublikasikan surat keputusan penerima KIP-K, yang seharusnya dipublikasikan dan diakses melalui https://ditmawa.ugm.ac.id/download/.Â
Surat keputusan ini dapat menjadi salah satu bentuk transparansi dan pertanggungjawaban pihak kampus dalam melaksanakan program KIP-K. Masyarakat dapat ikut serta membantu melaporkan apabila terdapat mahasiswa yang sudah tidak lagi masuk kriteria penerima KIP-K berdasarkan aturan dan syarat penerima KIP-K. Di sini pihak kampus, baik PTS, PTN, PTKIN, PTKIS memainkan peran penting untuk berpihak kepada mahasiswa dan masyarakat yang tertindas. Peran ini dapat diwujudkan ke dalam kanal aduan dan laporan penerima KIP-K yang tidak tepat sasaran maupun penyalahgunaan dana KIP-K. Kanal dapat berbentuk pembukaan layanan secara luring di kantor direktorat yang mengurusi bagian bantuan atau beasiswa pada jam layanan tertentu maupun layanan secara daring melalui Google Form. Untuk menghindari laporan salah dan tidak sesuai, pihak kampus dapat membuat semacam ketentuan dan kriteria laporan, seperti alasan pelaporan dan bukti ketidaktepatan sasaran atau penyalahgunaan dana KIP-K. Laporan juga perlu menyertai siapa pelapor dan terlapor untuk membantu proses verifikasi laporan dan proses penyelidikan apabila diperlukan. Hal ini bertujuan memberikan kepastian pelaporan dan data yang dikirimkan bersifat terbatas, terlindungi dan rahasia.Â
Dengan mengetahui dan memahami berbagai permasalahan yang ada di dalam KIP-K, maka seharusnya ini menjadi perhatian serius dari berbagai stakeholder yang menanggungjawabinya. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya pada Komisi X dapat menjadi penengah dari seluruh stakeholder terkait untuk dapat membuat Panitia Khusus yang terdiri dari perwakilan fraksi komisi DPR lain yang berhubungan dengan Kemensos dan Kemendagri. Kampus pun diharapkan dapat lebih proaktif dan tanggap dengan organisasi kemahasiswaan (ormawa penerima KIP-K untuk merespon dan menjawab pertanyaan dan masukan dari masyarakat. Hal ini dikarenakan kampus turut bertanggung jawab akan kebijakan yang ia lakukan dalam pengelolaan KIP-K. Kampus dan ormawa penerima KIP-K juga dapat membuat aturan teknis tambahan penerima KIP-K seperti arti dan jenis penyalahgunaan dana KIP-K yang disesuaikan dengan lingkungan masyarakat kampus. Konteks ketidaktepatan sasaran penerima KIP-K akan lebih mudah diverifikasi sesuai dengan aturan yang berlaku, sedangkan konteks penyalahgunaan haruslah secara hati-hati diartikan karena kebutuhan dan sosial-ekonomi masyarakat berbeda di setiap lingkungan kampus.Â
Sigit Bagas Prabowo
mahasiswa Fakultas Filsafat UGM angkatan 2020 yang memiliki perhatian terhadap isu sosial dan isu pendidikan, baik melalui penerbitan tulisan di media sosial, blog pribadi, maupun organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang advokasi mahasiswa.