“Buruh bersatu tak bisa dikalahkan! Omnibus Law? Cabut! Cabut! Cabut!” Seruan tersebut memekik dari barisan buruh yang tergabung dalam aksi UU Cipta Kerja Menindasmu Persenjatai Dirimu dengan Serikat pada Rabu (01-05). Massa aksi melakukan longmars dari Tugu Pal Putih hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta sembari membentangkan spanduk bertuliskan “Naikkan Upah Buruh 15%”. Aksi ini diinisiasi oleh Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Yogyakarta. Aksi peringatan Hari Buruh Internasional itu tidak hanya menghimpun serikat buruh, tetapi juga mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat lainnya.
Mengawali aksi, Irsyad Ade Irawan selaku Koordinator MPBI Yogyakarta membacakan setidaknya 16 tuntutan yang dilayangkan dalam aksi kali ini. Di antaranya tentang pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja, pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak. Irsyad turut menambahkan mengenai perlindungan dan pengawasan terhadap buruh. Selain itu, ada pula tuntutan mengenai sistem pengupahan Yogyakarta yang dinilai tidak layak. “Kita kerja siang dan malam, upahnya cuma berapa?” ujarnya.
Irsyad melanjutkan dengan membacakan tuntutan akan kenaikan gaji buruh dan penurunan harga sembako. Ia mengkritisi nihilnya kepedulian Pemerintah Daerah (Pemda) Yogyakarta terhadap nasib buruh yang melarat karena gaji pas-pasan walaupun sudah bekerja siang dan malam. “Kita ingin memperlihatkan kepada Pemda Yogyakarta bahwa kami akan terus melawan dan melanjutkan perjuangan buruh terdahulu,” ungkap Irsyad.
Dina, salah seorang massa aksi dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI) Jogja turut menyuarakan hak hidup layak bagi buruh. Saat diwawancarai, ia tengah membawa poster bertuliskan “UMR Rendah Harga Tanah Tinggi” sebagai tuntutan kepada pemerintah Yogyakarta untuk melakukan perubahan kebijakan pengupahan. Menurut Dina, buruh semakin tidak memiliki daya saing akibat terus-menerus mengeluarkan tenaga, bahkan menggunakan alat produksi sendiri tanpa upah yang sepadan. ”Gaji itu minimal empat sampai lima juta dan pemerintah punya kebijakan untuk melindungi dan mendukung kesejahteraan buruh di tempat kerja,” tegasnya.
Jumiyem, selaku Koordinator Tim Advokasi Pekerja Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) mengungkapkan berbagai macam penindasan yang tak luput ia rasakan. Jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat disertai upah yang kecil, dirasa sangat membebani pekerja. Jumiyem juga menyinggung soal cuti melahirkan yang menjadi masalah karena kemungkinan akan adanya pemutusan kerja secara sepihak sangat besar. “Meskipun [pekerja rumah tangga-red] mengajukan cuti hamil, seringkali tidak mendapat gaji, bahkan langsung dipecat,” ungkapnya.
Jumiyem juga turut menyampaikan segala macam cara sudah dilakukan dalam rangka memperjuangkan hak-hak para pekerja. Mulai dari melakukan audiensi, diskusi ke tingkat lokal maupun nasional, bahkan sejak 2004 Tim Advokasi Pekerja SPRT sudah mengajukan RUU PRT. “Tapi, sayangnya RUU ini belum juga dibahas apalagi disahkan,” keluh Jumiyem.
Irsyad kembali mengingatkan esensi Hari Buruh sebagai momentum agenda persatuan gerakan sosial. Ia menegaskan kembali bahwa Hari Buruh saat pekerja turun ke jalan bukan semata untuk jalan-jalan, melainkan kembali mengingatkan pemerintah akan kondisi perburuhan yang tidak baik-baik saja. “Kita perlihatkan kepada pemerintah bahwa pekerja buruh akan terus melawan. Hidup buruh! Hidup nelayan! Hidup petani! Hidup pekerja rumah tangga!” serunya.
Penulis: Felycia Devizca dan Khalimatu Rofiah
Penyunting: Titik Nurmalasari
Fotografer: Allief Sony Ramadhan Aktriadi