Pada Rabu (03-04), koalisi sipil untuk Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) menggelar konferensi pers daring bertajuk “Surat Terbuka untuk Mbak Puan dari Perempuan Muda Indonesia”. Diwadahi oleh Konde.co, konferensi ini melibatkan sejumlah lembaga, yakni Institut Sarinah, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur, Lembaga Amnesti Amawa Wikretiserta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jakarta. Janji Puan Maharani, selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), pada Maret 2023 untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga memantik kegentingan digelarnya konferensi pers ini. Pasalnya, terhitung hingga April 2024, DPR RI tidak kunjung mengetok palu ihwal rancangan undang-undang tersebut.
Diah Puspitasari dari Institut Sarinah, menandai dimulainya konferensi ini dengan menyinggung kepemimpinan Puan atas hak-hak perempuan Indonesia di akhir masa jabatannya. Ia menganggap bahwa status Puan sebagai perempuan yang duduk di kursi ketua DPR malah tidak memperlihatkan keberpihakannya alih-alih peka terhadap kerentanan posisi pekerja perempuan. Anggapan ini diperkuat oleh fakta bahwa draf RUU PPRT tak kunjung disahkan meski telah berulang kali dijanjikan. “Saya pikir perlu dipertanyakan alasan dan konfliknya sehingga mereka tidak bersepakat mendukung RUU PPRT untuk disahkan, meski orientasinya sangat jelas,” ungkap Diah.
Senada dengan Diah, Syifa Naziah dari Amnesti Amawa Wikreti, mengutarakan bahwa kegentingan disahkannya RUU PPRT ini bukan sekadar melindungi PRT, melainkan para pemberi kerja pula. Syifa menerangkan jika undang-undang ini akan menjadi payung hukum yang mengawasi relasi, hak, dan kewajiban kedua belah pihak. “Pengesahan RUU PPRT ini harus segera dituntaskan sebelum periode ini berakhir. Tidak boleh ditunda lagi hingga periode depan karena ini sudah terlalu lama,” tegasnya.
Seruan serupa diutarakan oleh perwakilan dari KPI Jawa Timur, Saras Dumasari. Ia menilai bahwa meski berperan penting, PRT tetap saja bekerja tanpa jaminan atas hak kesejahteraan. “PRT sekali lagi bukan pembantu, tapi pekerja. Oleh karena itu, mereka harus memiliki hak akan pekerjaannya sebagaimana pekerja lainnya,” ujarnya.
Suartini, seorang PRT, turut diundang ke dalam konferensi ini. Ia menuntut adanya perubahan nasib untuk PRT melalui pengesahan RUU PPRT ini sesegera mungkin. Suartini merasa selama ini mereka bekerja dibayang-bayangi kekhawatiran akan pelecehan dan kekerasan yang tidak jarang menjatuhkan korban satu per satu. “Pekerjaan kami dibutuhkan, tapi status kami dilecehkan dan tidak diakui,” ungkapnya.
Kejelasan akan legalitas PRT diperkuat pernyataan Poppy Oktasari selaku divisi pelayanan hukum LBH Apik Jakarta yang mendampingi korban kekerasan. Ia mengungkapkan bahwa kasus-kasus yang mereka dampingi memang pelik untuk ditangani serta penuh ketidakadilan. Oleh karena itu, Poppy mendesak untuk segera disahkannya RUU PPRT mengingat rumitnya proses peradilan dalam kasus kekerasan terhadap PRT. “RUU PPRT ini perlu segera disahkan supaya tidak ada lagi kasus-kasus tak manusiawi yang menimpa kelompok pekerja rumah tangga,” tuntutnya.
Menjelang akhir konferensi, Sabina Puspita, selaku bagian koalisi sipil mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk satu suara dan sadar bahwa perlindungan negara masih minim terhadap PRT. “Mari bersama-sama ikut berkampanye, mendesak Puan Maharani dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PPRT ini,” ujarnya. Sebagai penutup, Sabina menyerukan agar kekerasan yang kerap dialami oleh PRT sebagai bentuk perbudakan modern harus segera dihentikan.
Penulis: Tiefany Ruwaida Nasukha dan Rajwa Aqilah
Penyunting: Edo Saut Hutapea
Fotografer: Misbakhul Huda