Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sriwijaya (UNSRI) melangsungkan bedah buku Tidak Ada Cerita Tunggal dalam diskusi bertajuk “Ekofeminisme, Mendobrak Narasi Tunggal Pembangunan.” Diskusi ini diadakan pada Rabu (03-04) dengan menghadirkan dua penulis buku, Vieronica Varbi Sununianti, dosen Sosiologi FISIP UNSRI dan Siti Maimunah, peneliti Sajogyo Institute dan pendiri Ruang Baca Puan. Melalui diskusi ini, mereka memaparkan argumen perlawanan ekofeminisme terhadap sistem patriarki dan kapitalisme pembangunan yang menargetkan perempuan dan alam untuk dieksploitasi.
Vieronica memulai sesi diskusi dengan membahas tema isu pembangunan dalam bukunya. Ia memaparkan bahwa dalam narasi pembangunan, pada umumnya bertujuan untuk mencapai pertumbuhan dan kemakmuran ekonomi. Namun, menurutnya relasi yang mengejar pertumbuhan pembangunan akan cenderung memisahkan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan nonmanusia. Vieronica juga menambahkan, di balik pertumbuhan dan kemakmuran yang menjadi tujuan utama pembangunan, ada pihak-pihak lain yang terdiskriminasi. “Hal inilah [pihak-pihak yang didiskriminasi-red] yang diperjuangkan oleh ekofeminisme,” jelasnya.
Lebih lanjut, Vieronica menjelaskan persoalan narasi pembangunan yang melibatkan beberapa pihak yang berusaha mengeruk sumber daya ekonomi dan alam tanpa memikirkan dampaknya pada masyarakat. Baginya, narasi pembangunan hanya mendukung korporasi besar, contohnya dalam proyek food estate yang merugikan petani lokal dan lingkungan akibat pembukaan lahan besar-besaran. “Jadi, bisa dilihat kerangkanya bahwa kemiskinan itu sengaja diciptakan secara struktural,” tukas Vieronica.
Siti Maimunah yang akrab disapa Mai Jebing mendukung argumen Vieronica mengenai narasi pembangunan. Ia menjelaskan keadaan setelah Perang Dunia II, Amerika memosisikan narasi tunggal pembangunan sebagai alat kapitalisasi, seperti memproduksi pestisida dan senjata nuklir yang merusak alam. “Hal ini kemudian membangkitkan perlawanan dan gerakan wanita di era tersebut,” ucap Mai Jebing.
Selanjutnya, Mai Jebing memaparkan dampak masifnya pembangunan yang terutama menargetkan kelompok wanita. “Contohnya, perempuan-perempuan di daerah perkebunan sawit yang kesulitan air dan tidak bisa memproduksi asi,” ucap Mai Jebing. Ia turut menyebutkan bahwa masifnya pembangunan yang telah terjadi sejak masa kolonial hingga sekarang mengakibatkan krisis iklim yang dirasakan dalam skala global.
Pada akhir diskusi, Mai kembali menegaskan jika ekofeminisme mengajak kita melihat hubungan tubuh dengan tanah air. Ia meyakini bahwa tubuh seseorang yang mengonsumsi sesuatu dari suatu wilayah tertentu akan terhubung dengan wilayah-wilayah yang sedang dirusak. “Oleh karena itu, kita mempunyai tanggung jawab secara politis untuk membuka arena-arena baru perjuangan dan solidaritas untuk kehidupan yang lebih baik,” tutup Mai.
Penulis: Nasywa Aulia Syah RJ dan Shalma Putri Adistin
Penyunting: Alfiana Rosyidah
Ilustrator: Faturrahman Al Ramadhani