Pada Kamis (29-02), para Pedagang Kaki Lima (PKL) berkumpul di halaman barat Teras Malioboro 2. Di bawah terik matahari, mereka menggelar aksi bertajuk “Refleksi Dua Tahun Relokasi Pembagian Bantuan Sosial”. Dalam aksi tersebut diadakan pembagian bantuan sosial (bansos) berupa sembako murah kepada sesama PKL serta santunan kepada para anak yatim piatu dan disabilitas.
Arif selaku Ketua Koperasi Tri Dharma mengatakan bahwa refleksi dan pembagian bansos ini merupakan bentuk sindiran kepada pemerintah bahwa PKL yang direlokasi masih jauh dari kata sejahtera. Ia menyebut bahwa sejak awal relokasi, pemerintah hanya menyediakan satu petak lapak untuk tiap PKL. Adapun keperluan lain seperti pajangan dan kebutuhan penerangan berasal dari modal pribadi pedagang. “Selama kita ada di Teras Malioboro 2, tidak ada sama sekali bantuan sosial dari pemerintah ke para PKL,” ujarnya. Lebih lanjut, Arif mengungkapkan bahwa bansos ini juga merupakan bentuk solidaritas antar PKL.
Nur, salah seorang PKL di Teras Malioboro 2, merasa sangat terbantu dengan adanya bansos yang berisikan 2 kilogram beras, 1 liter minyak, 2 kilogram gula, dan dua bungkus mie instan. Ia mengatakan bahwa harga kebutuhan pokok sekarang memang sedang melambung tinggi. Lebih lanjut, Nur mengungkapkan bahwa relokasi yang dilakukan pemerintah telah memberi dampak yang signifikan baginya. “Pendapatan itu sembilan puluh persen anjlok, kadang laku kadang dua sampai tiga hari tidak laku, susah lah,” keluhnya.
“Pemangku kebijakan telah berhasil memiskinkan rakyatnya dengan memindahkan PKL dari selasar ke Teras Malioboro 2,” ujar Rakha selaku anggota Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta yang selama ini turut berjuang menyuarakan hak-hak PKL. Rakha juga memaparkan bahwa selama dua tahun perjuangan, kebijakan yang terbentuk justru bukan kebijakan yang semakin inklusif atau akses informasi yang lebih mudah dari sebelumnya, melainkan kebijakan yang menciptakan duka dan nestapa.
Selain itu, pembentukan forkom (forum komunikasi) oleh Unit Pelaksana Tugas Pengelolaan Cagar Budaya juga dinilai bermasalah karena tidak partisipatif. Para PKL yang turut hadir dalam aksi tersebut sepakat bahwa mereka menolak adanya forkom. “Menurut saya itu [forkom-red] keliru, merugikan karena orang yang terlibat diiming-imingi akan mendapat lapak di depan, padahal sama-sama susah,” ujar Nur.
Hal serupa juga disampaikan oleh Arif, menurutnya para PKL tidak dilibatkan dalam upaya pengambilan kebijakan. “Jika ingin dibentuk forkom Teras Malioboro 2, semua pihak harus dilibatkan serta forkom yang sudah ada saat ini harus dibubarkan,” tegasnya. Arif menambahkan bahwa para PKL membutuhkan forkom yang partisipatif dan bermanfaat bagi kesejahteraan PKL.
Arif berharap bahwa laporan mengenai kebijakan tidak partisipatif yang telah disampaikannya ke Ombudsman Republik Indonesia dapat segera diproses. Dengan demikian, PKL dapat turut dilibatkan dalam setiap proses penentuan kebijakan. “Harapan kita dengan adanya acara ini bisa sedikit membantu dan membuka mata orang-orang di luar sana bahwa apa yang terjadi di Teras Malioboro 2 ini tidak baik-baik saja,” ujarnya.
Penulis : Elvira Chandra Dewi Ari Nanda dan Shalma Putri Adistin
Penyunting : Takhfa Rayhan Fadhilah
Fotografer : Fatimah Azzahrah