Fisipol Corner menggelar diskusi terbuka bertajuk “Matinya Demokrasi dan Agenda Rakyat” pada Kamis (15-2) pasca Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Selasar Barat Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM. Ruang dialog ini dibuka dengan tujuan menengok kondisi demokrasi Indonesia saat ini dan kaitannya terhadap agenda gerakan rakyat di masa yang akan datang. Dimoderatori oleh Ardiansyah, terdapat tiga narasumber yang diboyong dalam acara ini, yaitu Koentjoro selaku Guru Besar Fakultas Psikologi UGM; Amalinda Savirani selaku Dosen Politik dan Pemerintahan UGM; serta Irsyad Ade Irawan mewakili Partai Buruh.
Pada awal diskusi, Koentjoro menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi demokrasi Indonesia, khususnya terkait proses Pemilu yang menurutnya terlalu banyak campur tangan Jokowi. Ia menuturkan, dalam proses Pemilu 2024, Jokowi memainkan peran yang tidak tepat. “Jokowi bukan berperan sebagai presiden, tetapi sebagai bapaknya Gibran,” tegasnya.
Tak luput, Koentjoro juga menilai bahwa dalam persoalan demokrasi di Indonesia saat ini, peran para akademisi sangat penting dalam memberikan analisis dinamika demokrasi. Ia meyakini bahwa waktu yang tepat untuk memberikan analisis bergantung pada perspektif para akademisi terhadap situasi. “Saya berusaha untuk membantu mencerdaskan kehidupan bangsa, saya melaksanakan tugas sebagai dosen, yang harus membawa suara ini ke nasional, mengingatkan kepada yang salah,” jelas Koentjoro.
Sementara itu, Irsyad menyebutkan bahwa kemenangan dari pasangan Prabowo-Gibran menuai banyak kontroversi. Menurut Irsyad, sedari awal pencalonan pasangan ini sudah menunjukkan indikasi kecurangan lewat Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden. Dugaan kecurangan lain terlihat dalam penggunaan fasilitas negara sebagai alat kampanye dan netralitas pejabat negara yang perlu dipertanyakan. Irsyad merasa, pada akhirnya demokrasi Indonesia semakin merosot. “Kalau dari berbagai survey, indeks demokrasi di Indonesia memang mengalami penurunan dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Terkait hal tersebut, Irsyad menyebutkan bahwa demokrasi yang dijalankan di Indonesia selama ini hanya sebatas norma. Hal tersebut seperti Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Desa yang diadakan setiap lima tahun sekali. Menurut Irsyad, demokrasi Indonesia saat ini sudah terlaksana secara norma, tetapi tidak secara substansial. “Menurut saya, demokrasi di Indonesia secara prosedur masih hidup. Akan tetapi, meaning demokrasinya sudah mati bertahun-tahun yang lalu,” ucapnya.
Irsyad kemudian menyoroti penurunan indeks demokrasi dan dominasi elit politik dalam sistem ekonomi politik negara. Menurutnya, norma demokrasi di Indonesia tidak mampu dalam menghadapi gerak laju otoritarianisme, terutama dengan adanya revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang kontroversial. “Revisi UU KPK dan RUU KUHP sudah didemonstrasi bahwa intinya semua menolak, tapi tetap disahkan. Itu kan semena-mena secara otoriter,” tambah Irsyad.
Lebih lanjut, Irsyad menekankan cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan perjuangan dari rakyat saat ini. Selain penguatan sisi internal, perubahan secara struktural juga tidak kalah penting. Ia menyayangkan nihilnya wakil rakyat yang mampu merepresentasikan buruh dan menghasilkan kebijakan sesuai kebutuhan. “Melakukan advokasi nggak pernah, membela perjuangan nggak pernah, tetapi kemudian [mengesahkan-red ] produk hukum, yang merugikan,” sindir Irsyad.
Sementara itu, fokus pembahasan Linda pada diskusi kali ini merupakan isi buku How Democracies Die karya Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky. “Dalam buku ini, demokrasi mati bukan karena istana dibakar, bukan karena tank berseliweran di depan istana dan menghancurkan masyarakat sipil. Demokrasi itu justru mati dengan cara demokratis,” ungkap Linda. Mengacu pada studi komparatif antarnegara yang dilakukan oleh Ziblatt dan Levitsky, Linda menemukan indikator krisis demokrasi yang sama di Indonesia selepas Pemilu 2024.
Linda menggarisbawahi kontribusi partai politik dalam mempertahankan atau menghancurkan demokrasi dalam buku ini. Ia menilai bahwa keberadaan partai politik di Indonesia sendiri turut menggembosi demokrasi negara ini. Linda memaparkan bahwa partai politik akhirnya menggunakan strategi pemimpin populis. Menurutnya sistem ini menjadi populer karena kehidupan semakin sulit dan masyarakat mencari figur yang dinilai dapat menyelamatkan mereka. “Jadi, ini campuran soal institusionalis, aktor politik partai yang mengambil manfaat, dan kondisi ekonomi makro yang juga menekan,” jabar Linda.
Menjelang penghujung diskusi, Linda menganalogikan demokrasi Indonesia belum mati, tetapi kini sedang pingsan. Secara formal, elektoral Pemilu 2024 memang masih ada, tetapi secara kualitatif aturan main telah diacak-acak dan lembaga hukum seolah tidak berguna. Linda juga mengingatkan kebutuhan atas penguatan gerakan masyarakat sipil secara luas. “Kita sebagai warga perlu jadi bagian dari upaya untuk mengembalikan roh demokrasi ini,” pungkasnya.
Penulis: Dimas Setiawan dan Laura Annisa
Penyunting: Sukma Kanthi Nurani
Fotografer: Aiken Gimnastiar