Pada Jumat (08-03), International Women’s Day (IWD) Jogja kembali menggelar aksi tahunan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional. Aksi yang dilaksanakan di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menuntut adanya solidaritas dengan setiap kelompok yang mengalami diskriminasi stigma, represi, dan penjajahan. Tuntutan ini direpresentasikan dalam panggung kebebasan berekspresi dengan tajuk “Mari Kak Rebut Kembali”.
Dee selaku divisi hubungan masyarakat IWD Jogja menuturkan, adanya panggung terbuka menjadi ruang bagi kelompok rentan dan terdiskriminasi untuk bersuara. Dee menjelaskan bahwa tema ini sengaja dibuat tidak spesifik dan menggantung karena setiap individu memiliki pengalaman penindasannya masing-masing. Oleh karena itu, ia merasa, untuk mengakomodasi semua itu tidak bisa mengangkat satu tema saja. “Silakan diisi rebut kembali titik titik titik, teman-teman ingin kembali merebut apa,” imbuhnya.
Salah satu peserta aksi, Keysa, meluapkan keresahannya dalam lagu yang ia ciptakan sendiri. Ia membawakan lagu berjudul Perempuan. Lagu ini terinspirasi dari perjuangan sosok ibu sebagai single fighter. “Lagu ini menceritakan bahwa sesama perempuan yang sulit mendapat kesetaraan, [sulit-red] mengeluarkan unek-unek, sebenarnya menjadi kekuatan kita,” ungkap Keysa.
Tak sampai di sana, Dee kembali menekankan bahwa IWD Jogja tahun ini berusaha membangun solidaritas dengan kelompok-kelompok rentan. Ia mengingatkan bahwa semua kelompok yang terdiskriminasi dan termarjinalkan bisa bersatu lewat panggung kebebasan ini. Baginya, semua ekspresi yang ditampilkan adalah bentuk perlawanan atas penindasan yang mereka alami. “Cara untuk berekspresi tidak hanya berupa orasi,” tutur Dee.
Pernyataan Dee terlihat dari penampilan Andi, salah satu penampil tari yang hadir dalam panggung tersebut. Ia mengatakan bahwa tarian yang ditampilkannya adalah kebebasan dalam berekspresi. Tarian menjadi media bagi Andi untuk mendobrak identitas dan orientasi seksualnya. “Saya rasa, masih sulit menampilkan gerakan feminin bagi seseorang yang terlahir dengan identitas laki-laki karena banyak stigma negatif soal feminitas di tubuh kami,” ujar Andi.
Dalam panggung ini, suara-suara atas kekerasan seksual yang kerap terjadi juga muncul dalam orasi Ersa, salah satu perwakilan dari kelompok Feminis Jogja. Ia mengungkapkan keresahannya atas pelecehan seksual di lingkungan kampus yang masih marak terjadi. Ia muak saat banyak orang memilih untuk berdiam diri atas tindakan tersebut. “Kita perlu regulasi yang lebih baik! Harusnya Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual tidak hanya sebagai pajangan atau akreditasi semata,” tegasnya.
Sejalan dengan Ersa, Azila, Ketua Kopri Gerget UIN Sunan Kalijaga 2024 ikut mencurahkan seluruh keresahannya menjadi perempuan melalui puisi. Azila merasa kondisi perempuan hingga saat ini selalu dibatasi ruang hidupnya. Kekesalannya semakin meluap saat perempuan masih harus terdiskriminasi dan terbelenggu budaya patriarki. “Ke mana kami [perempuan-red] merebahkan diri bila di setiap tempat tubuh kami ditelanjangi? Pilihan kami dikomentari, suara kami dikira nyanyian birahi, dan kedaulatan kami dibenturkan budaya patriarki dengan dalih ayat-ayat misogini!” serunya.
Salah satu yang menarik dalam panggung ini adalah orasi dari salah satu perwakilan komunitas disabilitas. Suara mereka yang dibantu dan diwakilkan oleh penerjemah menceritakan bahwa banyak dari mereka yang belum tahu terkait pendidikan seksual. Perwakilan perempuan tuli menuntut pemberian akses informasi terutama terkait pendidikan kesehatan reproduksi seksual kepada perempuan tuli. “Mohon kepada pemerintah berikan akses, informasi, dan pendidikan supaya teman-teman tuli bisa paham terkait pendidikan kesehatan reproduksi seksual,” ucap penerjemah.
Dee turut mengingatkan, aksi peringatan Hari Perempuan Sedunia bukan hanya soal kelompok perempuan saja. Peringatan ini adalah milik semua orang yang memiliki keresahan atau pun penindasan yang sama. “Kita [perempuan-red] ingin merangkul teman-teman yang merasa punya keresahan yang sama atau ketertindasan yang mungkin tidak persis,” pungkasnya.
Penulis : Abel Alma Putri dan Elvira Chandra Dewi Ari Nanda
Penyunting : Nandini Mu’afa
Fotografer : Natasya Mutia Dewi