Pada Kamis (08-03), Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) bersama BEM KM UNY dan Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) menggelar Diskusi Publik bertajuk “Pendidikan Kok Mahal, Kita Harus Ngapain?”. Bertempat di Aula lantai 3 Student Center UNY, diskusi menghadirkan Ganta Semendawai, Mahasiswa Ilmu Sejarah UNY, sebagai moderator; Panji Mulkillah, penulis buku Kuliah kok Mahal; dan Farras Raihan, Ketua BEM KM UNY sebagai pemantik. Diskusi ini bertujuan untuk menggugat naiknya biaya pendidikan yang mencekik mahasiswa.
Forum dibuka oleh Ganta yang menyebutkan bahwa ada lompatan kenaikan biaya pendidikan sebesar 9.900 persen. Lompatan tersebut tidak sebanding dengan kenaikan upah yang hanya 256 persen. “Jangan heran kalau suatu saat, kita akan sampai pada satu masa di mana untuk bayar biaya kuliah, kita perlu jual ginjal kita dulu,” ujar Ganta.
Senada dengan Ganta, Panji menjelaskan bahwa meroketnya biaya pendidikan tentunya menyulitkan bagi banyak mahasiswa. Terlebih lagi, mahasiswa di kampus negeri yang saat ini telah bertransformasi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Panji mengatakan sebagian besar kampus, apalagi PTN-BH, mendapat pemasukan terbesar justru bukan dari anggaran negara. “Pemasukan terbesar kampus itu masing-masing dari biaya pendidikan yang dipungut kepada mahasiswanya,” terangnya.
Ganta menambahkan bahwa kampus PTN-BH berdalih atas terbatasnya anggaran dana yang diberikan oleh pemerintah. Dengan dalih tersebut, kampus memilih untuk menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan menerapkan sistem uang pangkal. “Ini bukan tentang siapa korbannya, siapa yang nggak bisa bayar, tapi ini adalah masalah kita semua,” jelas Ganta.
Lebih lanjut, Ganta mengungkapkan bahwa pada tahun-tahun awal ditetapkannya sistem UKT, kenaikan biaya yang terjadi tidak semengerikan hari ini. Hal ini terjadi karena kontribusi dari beberapa kampus yang melaksanakan demonstrasi untuk menekan biaya UKT, meskipun pada akhirnya biaya pendidikan tetap melonjak naik pada tahun 2022-2023. “Ini persoalan bahwa kita gagal untuk berisik [bersuara-red],” sebut Ganta.
Menyambung Ganta, Farras menyatakan bahwa 97 persen mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengaku keberatan dengan nominal biaya kuliah. Ia juga bercerita bahwa kenaikan biaya kuliah dan ketidakjelasan sistem birokrasi dari pihak kampus sampai membuat mahasiswa terpaksa menjual aset-aset berharga, seperti rumah, ternak, dan lain-lain. “Padahal, pada kenyataannya, meningkatnya biaya kuliah tersebut juga tidak memberi peningkatan terhadap fasilitas dan kualitas pendidikan,” tukas Farras.
Tidak hanya di UNY, permasalahan ini juga dirasakan oleh mahasiswa di kampus lainnya. Anas, salah seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), mengungkapkan bahwa sejak 2022 telah mendengar isu pemberlakuan uang pangkal Sumbangan Solidaritas Pengembangan Institusi (SSPI). Barulah pada tahun 2023, UGM menerapkan sistem uang pangkal dengan sebutan Sumbangan Solidaritas Pendidikan Unggul (SSPU). Anas menyatakan bahwa kebijakan SSPU tersebut ditujukan bagi mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri UGM. “Kalau nggak salah, di soshum itu senilai 20 juta. Kalau buat yang saintek itu senilai 30 juta,” ujar Anas.
Panji menjelaskan bahwa kenaikan biaya pendidikan yang dialami oleh setiap mahasiswa di berbagai kampus merupakan imbas dari berkurangnya tanggung jawab negara. Dalam Pasal 13 UU Nomor 11 tahun 2005, kaitannya dengan pendidikan, ternyata pendidikan dasar, menengah, dan tinggi harus diselenggarakan secara cuma-cuma atau gratis. Menurut Panji, amanat dari undang-undang tersebut sangat jelas meskipun ada catatan secara bertahap. Panji mengatakan jika betul dilaksanakan secara bertahap, maka seharusnya biaya yang tadinya mahal menjadi murah dan setelah murah menjadi gratis. Akan tetapi, menurut Panji, yang terjadi saat ini adalah sebaliknya. “Data dari Kompas menunjukkan, kenaikan biaya pendidikan itu 6 persen per tahun,” jelas Panji.
Pada akhir sesi diskusi, Panji berpesan bahwa kita sebagai warga negara dan organisasional harus menggugat negara untuk merealisasikan pendidikan gratis secara bertahap. Menurutnya, gugatan tersebut bisa ditempuh melalui jalur hukum atau dengan terus “berisik”. Ia juga menyampaikan harapannya agar lebih banyak yang bersuara tentang masalah pendidikan ini. “Jadi, semua dari kita ini bisa berkontribusi mewujudkan pendidikan gratis yang berkualitas, pendidikan gratis yang kemudian memenuhi hak warga negara,” tutupnya.
Penulis: Annisa Dwi Nurhidayati dan Dyah Lintang Izza Salma
Penyunting: Ananda Ridho Sulistya
Fotografer: Aiken Gymnastiar