“Pegawai harus mendapatkan kepastian!” seru Mashita Phitaloka Fandia Purwaningtyas dari Divisi Pendidikan dan Riset Serikat Pekerja Fisipol (SPF). Ujaran tersebut ia sampaikan dalam diskusi daring SPF yang bertajuk “Kondisi Staf Fulltime SK Dekan Fisipol UGM”, Jumat (23-02). Diskusi tersebut memaparkan hasil survei dari empat puluh responden mengenai masalah yang dihadapi pegawai dengan Surat Keputusan (SK) Dekan.
Mashita memaparkan adanya ketidakjelasan status pegawai dengan SK Dekan yang tampak pada proses pengajuan perpanjangan kontrak. Ia menyebut kontrak harusnya selesai pada Desember, tetapi pegawai baru menerimanya pada Januari. “Beberapa kali di bulan Januari bekerja dengan ketidakpastian dan ini terjadi terus-menerus,” terang Mashita.
Lebih lanjut, Mashita berkomentar perihal gaji pokok pegawai dengan SK Dekan yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR), jam kerja, dan beban kerja. Ia melihat beban kerja pegawai dengan SK Dekan cenderung lebih besar daripada upahnya. Bahkan, tidak jarang mereka mendapatkan pekerjaan di luar kesepakatan kontrak. “Tidak ada tupoksi yang rinci tapi cenderung diberikan beban kerja lebih dari yang disepakati di dalam kontrak,” ujarnya.
Mashita bercerita bahwa pegawai SK Dekan bahkan tidak punya waktu makan siang. Ia juga menyebut mereka sering harus lembur tetapi tidak mendapatkan insentif tambahan. “Kami di sini bekerja bukan mengabdi,” keluh Mashita.
Mashita turut mengungkapkan tidak ada pembahasan dalam perjanjian kerja terkait jaminan kerja. Ia menjelaskan bahwa masih ada pegawai dengan SK Dekan yang tidak mendapatkan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan hingga fasilitas gratis di Gadjah Mada Medical Center. “Iuran BPJS dipotong dari gaji pegawai tanpa kenaikan gaji, tetapi kampus menolak menambah pengeluaran untuk gaji pegawai yang dianggap ilegal,” ucap Mashita.
Ari salah satu pegawai dengan SK Dekan juga ikut bercerita terkait pengajuan BPJS. Pengajuannya ditolak dengan alasan pegawai dengan SK Dekan tidak berhak memperoleh BPJS kecuali dibayarkan dengan Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) Fakultas. Ari mengungkapkan bahwa ia mencoba mengajukan BPJS, tetapi tidak ditindaklanjuti. Alih-alih, ia hanya mendapat tunjangan satu bulan untuk membayar BPJS kelas 2 dari unit kerja. “Kenapa sih BPJS Kesehatan tidak bisa dibayarkan? Padahal, itu adalah hak setiap pegawai,” ucap Ari.
Bagi Mashita mayoritas pegawai dengan SK Dekan tidak mendapat kepastian jenjang karir. Hal itu terjadi karena status mereka bukan pegawai tetap yang didapatkan melalui SK Rektor. Menurutnya, pegawai dengan SK Dekan yang terhambat menjadi pegawai tetap disebabkan masalah administratif dan ketentuan maksimal usia 30 tahun untuk mengikuti seleksi pegawai tetap. “Padahal untuk pegawai SK Dekan [berusia lebih dari 30-red] ada yang sudah lebih dari 20 tahun mengabdi dan bekerja,” tutur Mashita.
Selain itu, Mashita menyampaikan dekanat tidak transparan terkait kontrak kerja. Ia menuturkan bahwa kesepakatan kontrak kerja tidak diiringi ajakan diskusi dengan pegawai, tetapi kontrak dalam SK tiba-tiba sudah jadi tanpa pemberitahuan. “Tidak ada pemberitahuan apakah ingin [kontrak -red] lanjut , ketentuan apa yang ingin diubah,” tegasnya.
Mashita menambahkan terkait pengembangan diri Sumber Daya Manusia (SDM) SK Dekan yang kurang memadai. Persoalan ini terjadi karena tidak adanya program pengembangan diri yang signifikan untuk pegawai dengan SK Dekan. Mashita menyampaikan terdapat peneliti dengan SK Dekan yang ingin melanjutkan karirnya menjadi dosen, tetapi terhalang gaji yang kecil dan lamanya waktu bekerja. “Banyak staf yang berpotensi menjadi dosen, hanya saja skema yang ada terasa tidak adil,” terangnya.
Edwin, salah satu pegawai Fisipol turut menyampaikan keresahannya dalam forum diskusi. Ia menceritakan bahwa universitas pernah menghimbau fakultas untuk mengangkat pegawai dengan SK Dekan menjadi SK Rektor atau SK Direktorat SDM melalui jalur asesmen. Namun, Fisipol tidak melakukan hal itu. “Oleh Fisipol diperpanjang terus setiap tahun dengan SK Dekan tanpa ada upaya menjadi SK SDM,” ucap Edwin.
Menutup diskusi, Mashita menyampaikan bahwa kinerja pegawai Fisipol masih belum cukup dihargai oleh fakultas. Ia berharap SPF dengan segala upayanya dapat memperjuangkan hak-hak pekerja yang belum didapatkan. “Ini semua demi Fisipol sendiri, jangan sampai inklusif jadi jargon doang. Sementara dia [Fisipol -red] ke pegawainya masih diskriminasi,” lugas Mashita.
Penulis: Felycia Devizca, Yasmin Nabiha Sahda
Penyunting: Fachriza Anugerah
Fotografer: Sarah