Permasalahan lingkungan yang timbul akibat dari krisis iklim mendorong kembali bangkitnya gerakan-gerakan masyarakat yang menyoal lingkungan hidup. Berbagai usaha dilakukan tak hanya dari gerakan akar rumput, tetapi juga turut masuk ke dalam sistem pemerintahan melalui partai politik. Indonesia sebagai negara demokratis memiliki banyak partai politik yang eksis. Berbagai asas diadopsi sebagai landasan ideologi serta tertuangĀ dalam butir-butir visi dan misi partai. Namun, dalam dinamika partai politik yang beragam, asas lingkungan hidup sangat jarang diusung suaranya ke kursi pemerintahan. Padahal, fokus pada kemaslahatan lingkungan kini menjadi persoalan genting di Indonesia.
Bergerak dari isu tersebut, BALAIRUNG berkesempatan untuk berbincang bersama John Muhammad pada Rabu (18-10). John merupakan salah satu presidium dari partai politik pertama yang menyoal lingkungan hidup di Indonesia, yaitu Partai Hijau Indonesia (PHI). Sebelum menjadi presidium, John Muhammad telah berkiprah sebagai aktivis lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Dalam wawancara ini, John menyampaikan pandangannya terkait kedaruratan keberadaan partai politik berorientasi lingkungan di Indonesia. Perhatian terhadap isu lingkungan kerap dikesampingkan di tengah praktik politik elektoral yang kompleks dan sering kali didominasi oleh isu lain. Berikut hasil wawancaranya.
Kenapa keberadaan partai politik berbasis lingkungan di Indonesia itu penting?
Kalau penting itu kaitannya dengan ancaman yang nyata dan sangat saintifik dari ilmuwan-ilmuwan dunia, yaitu krisis iklim. Kita sudah merasakan beberapa jenis tanaman dan binatang punah, beberapa penyakit baru muncul, lalu yang pasti adalah bencana. Bayangkan, sekarang bencana udah enggak mampu di-cover lagi sehingga kita enggak bisa lagi istilahnya berempati pada satu fokus.
Melihat situasi yang seperti ini terus, kita sadar bumi yang enggak baik-baik saja disebabkan oleh ketidakadilan, ketamakan, dan ada praktik eksploitasi SDA. Kekayaan itu dinikmati oleh segelintir orang yang terus menerus memproduksi, menghimpun kekayaannya, serta mengendalikan kekuasaan dan kebijakan. Ya, kita wajib proteslah. Nah, kenapa harus susah payah dalam bentuk partai politik? Karena satu-satunya jalan untuk mengubahnya itu, ya dalam partai politik.
Ternyata baru tahu juga politik hijau atau politik lingkungan hidup itu enggak cuma ngomongin lingkungan hidup. Di situ saya langsung merasa happy, benar-benar ngomongin human rights, keberagaman, keadilan sosial, dan ada satu prinsip yang berbedalah sama orang-orang di demokrasi partisipatoris. Jadi gua pikir sih memang kalau ditanya penting, seriously penting. Karena kita mau menawarkan budaya kerja baru.
Secara historis, bagaimana gagasan partai politik berbasis lingkungan ini muncul dan berkembang di Indonesia?
Catatan sejarahnya tuh enggak terlalu panjang. Tahun 1998, beberapa teman-teman dari pecinta alam pernah bikin partai hijau. Karena prosesnya terburu-buru maka mereka tercatat, tetapi enggak bisa ikut pemilu. Pernah juga di tahun 2004-2005 kita bikin blok politik hijau di mana kita mencari aktor-aktor dari partai-partai lain, lintas partai. Mirip seperti apa yang dilakukan sama teman-teman Cortez di Amerika Serikat yang bikin green deal. Jadi lintas partai yang punya concern untuk ngurusin dan punya perhatian kepada lingkungan hidup.
Setelah blok politik hijau gagal, baru tahun 2012 kita berhasil mendeklarasikan di Bandung, nah itu Partai Hijau Indonesia. Kita mulai bikin, mencobalah bentuknya pertama ketua dengan sekretaris jenderal, itu kita jalan mungkin sampai 2014. Tahun 2015 kita mulai belajar politik, bagaimana partai-partai lain, bagaimana partai hijau di tempat lain. Lalu, tahun 2017, kita sudah mulai mencoba pendekatan convenor [penyelenggara-red], bukan ketua lagi. Ada convenor perempuan dan laki-laki.
Terus, melambat di era pandemi 2021-2022 dan baru naik lagi sekarang. Sekarang sih stabil ya. Terkadang memang turun, tetapi nanti naik lagi isu, bertambah lagi. Nah, sekarang jauh lebih nyaman karena kita sudah menemukan pola kerja. Dulu 2019-2020 kita kayak enggak punya pola kerjalah, karena belajar heterarki dan holakrasi susah.
Bagaimana latar belakang kesuksesan partai berbasis lingkungan di negara lain?
Kalau di negara lain itu yang paling sukses saat ini memang Jerman ya karena ruling party atau partai yang memerintah. Di Islandia itu anak muda yang jadi perdana menteri, jadi memang lagi bangkit banget gerakan kesadaran politik hijau itu. Australia juga naik, yang tadinya nomor empat, lima, sekarang udah nomor tiga dan konsisten. Selandia Baru juga sudah konsisten di nomor tiga, selalu kan di tempat-tempat semacam anglo-saxon pasti buruh konservatif. Nah, pasti di nomor tiganya itu yang paling ketat partai hijau, jadi, we are number third, maybe in many place.
Menurut gua keberadaan kita [partai politik berbasis lingkungan secara umum-red] signifikan. Kita yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan hari ini. Misalnya soal karbon, soal orang berpindah ke energi terbarukan, model bisnis, dan model kebijakanĀ juga berubah.
Lantas, apa yang menyebabkan adanya perbedaan tingkat kesuksesan partai berbasis lingkungan di negara lain dengan di Indonesia?
Yang paling utama itu sebenarnya sistem. Sistem politik kita ini kalau boleh saya pilih term-nya itu ābiadabā sih. Setelah saya bandingkan dengan sistem di negara lain, saya baru merasa wah biadab banget sistem politik kita. Jadi, perlu diketahui bahwa hak asasi manusia itu semua sama, hak hidup, hak ekonomi, hak beragama, hak meyakini ideologi, itu sama semua. Jadi harus dapat, bukan ini gua kasih, tetapi gua tahan, enggak begitu.
Dalam konteks Indonesia itu lucu. Lu bikin partai politik sulit sekali. Dengan persyaratan yang sangat luar biasa, mereka [partai hijau luar negeri-red] sampai kaget. āHah, kamu anggotanya sudah 3.000 belum bisa ikut pemilu? Ya ampun, kita cuma 500-1.000 anggota aja udah bisa ikut pemilu.ā Jadi di sana punya kesadaran bahwa keanggotaan atau kepengurusan itu enggak perlu banyak. Saya ingin bilang kalau partai-partai baru itu susah. Butuh 13.000 orang, Mbak, kalau mau ikut pemilu, dan itu anggota semua.
Bagaimana cara partai politik yang berorientasi lingkungan di Indonesia mampu mendapatkan legitimasi atau kepercayaan di masyarakat?Ā
Jujur, memang waktu, sih. Ada masanya saya enggak diterima di kalangan teman-teman NGO atau Lembaga Swadaya Masyarakat sendiri. Kita kayak enggak dikasih ruang, tetapi itu mungkin sampai 2019 lah. Perlu diketahui, bahwa legitimasi didapat juga dengan proses konsistensi kita. Gue merasakan bahwa enggak mudah masuk jadi anggota partai politik dengan stigma terhadap politik dan partai politik kita yang buruk.
Bagaimana partai politik berbasis lingkungan di Indonesia memosisikan diri ketika adanya desakan kepentingan dari pihak lain atau pihak swasta dalam geopolitik mancanegara?
Mas, tahun 2012 orangnya Habibie datang ke kami. Tahun 2015 Tommy Soeharto datang ke kami. Kalau kami mau jadi partai cepet, seperti partai-partai lain, itu sudah kami lakukan. Jadi memang kuncinya pada value. Kalau partai politik enggak ada dan enggak setia dengan value, habis itu. Hari ini kami bangga enggak lolos, tetapi kami punya value. Buat kami value lebih tinggi daripada hanya menghamba pada kekuasaan.
Hari ini, banyak narasi hijau seperti advokasi kebijakan atau produk ramah lingkungan yang bersifat karet. Kendati secara riil mengentaskan kerusakan lingkungan, hal tersebut malah digunakan sebagai alat untuk menunjang kepentingan para pemilik modal. Bagaimana partai politik berorientasi lingkungan menanggapi hal semacam itu?
Nah, itu yang disebut dengan greenwashing, mencuci sebuah produk seolah-olah ramah lingkungan. Itu udah enggak bener banget sih dan harus kita lawan. Jadi, ada banyak produk-produk green washing itu, sebut saja Coca-Cola, NIKE. Politik hijau itu bukan hanya lingkungan, tetapi, apakah prosesnya melibatkan satu kebijakan buruh yang adil?
Sebuah produk yang baik itu, berasal dari perusahaan yang membagikan sahamnya kepada karyawan. Nah, ini yang kita sebut dengan satu prinsip kepemilikan sosial. Jadi benda atau produk tersebut harus dimiliki oleh orang-orang yang punya keringat pada hasil akhir perusahaan tersebut. Unsur keadilan sosialnya itu harus ada, tapi kalau misalnya enggak, buat gue sih cuman greenwashing, Bro.
Saat ini, secara gamblang Anda tergabung dalam PHI sebagai bagian dari presidium nasional. Apa agenda politik terdekat dari PHI, khususnya menanggapi pemilu 2024 mendatang atau pilkada terdekat?
Nah, ini yang baru, kita bikin Platform Hijau. Platform ini adalah pegangan kita dalam perubahan, jadi apapun partainya inilah orang-orang yang punya kepedulian untuk memperbaiki bumi hari ini, planet kita hari ini.
Lalu, kita mau intervensi juga di kabinet hijau. Kayaknya 2024 ke 2029 harus ada deh oposisi yang autentik, bukan oposisi partai politik yang sebenarnya sinetron. Nah, kalau di negara-negara maju memang dia diwakili oleh sebuah partai oposisi dan setiap partai oposisi biasanya punya Shadow Government. Jadi ada sekelompok orang yang kita sebut sebagai kabinet bayangan yang kemudian menjadi antitesis dari kebijakan yang ada dari kabinet yang sebenarnya. Karena pertimbangannya cuma satu, jangan-jangan hari ini partai politik itu enggak punya seorang yang capable untuk mengisi pos-pos kementerian.
Menurut saya meskipun pemilu itu harus partai politik yang terlibat, intervensi kita tetap mungkin. Proses enggak didengar, jalan keluar kita ke depan dihambat, tetapi [nanti-red] ada yang namanya Pemilihan Kepala Daerah. Nah itu rebut deh. Coba berkonsolidasi, majukan calon kita sendiri. Karena itu yang paling memungkinkan, lewat calon independen.
Penulis: Dimas Setiawan, Nurul Fajar Maylani, dan Rajwa Aqilah (Magang)
Penyunting: Muhammad Fariz Ardan
Ilustrator: Fero (Magang)