Poligami memang diperbolehkan dalam syariat Islam.
Statusnya pun dilegalkan di mata hukum negara.
Namun, dalam beberapa kasus, poligami justru merenggut kesejahteraan perempuan.
Pada 2021, jagat maya dihebohkan dengan sebuah seminar poligami yang diadakan oleh Coach Hafidin setelah sebelumnya sempat membuat kontroversi dengan membuka kelas poligami. Dalam webinar melalui aplikasi Zoom tersebut, Coach Hafidin memberitahu “rahasia” melanggengkan praktik poligami. Misalnya, mendidik istri agar menerima poligami, menjadi magnet wanita salihah, menjadi istri yang bahagia dengan suami yang berpoligami, hingga melatih sikap dan mental bagi para suami yang ingin berpoligami (Indozone 2021).
Webinar ini mengundang kemarahan warganet di berbagai platform media sosial. Pasalnya, Coach Hafidin dianggap menyampaikan pernyataan yang melenceng dari syariat Islam. Penuturan Coach Hafidin dinilai jauh dari tujuan Islam untuk memuliakan perempuan. Hal itu terlihat dari beberapa poin perihal poligami yang luput dari ingatan Coach Hafidin. Berlatar dari Coach Hafidin yang pernah menceraikan istrinya karena sudah menopause, Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan hal serupa. Justru tujuan Nabi SAW menikah adalah untuk menggapai sakinah ‘ketenteraman’, bukan mengutamakan syahwat. Selain itu, Rasul pernah menyampaikan bahwa perempuan boleh menolak poligami karena memperlakukan istri dengan baik lebih utama daripada berpoligami (Islami.co 2021).
Namun, seminar ini tetap mampu menghadirkan audiens yang tidak sedikit, sekalipun mematok harga yang fantastis. Atensi tinggi terhadap praktik poligami dilandaskan oleh beberapa pembenaran. Poligami dibenarkan karena perempuan membutuhkan perlindungan laki-laki dalam hubungan pernikahan untuk sebagian daerah dengan kesenjangan jumlah perempuan dan laki-laki. Poligami juga dibenarkan sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan yang belum memiliki anak dan apabila diceraikan dapat menimbulkan penderitaan bagi perempuan (Johnson 2005). Ada pula pendapat bahwa libido laki-laki yang sangat tinggi menjadi jalan pembenaran untuk berpoligami. Meskipun demikian, banyak pihak yang tidak menyetujui argumen ini (Johnson 2005).
Di sisi lain, perempuan yang menjadi peserta seminar tersebut menganut kepercayaan bahwa laki-laki adalah imam dunia akhirat sehingga mewajarkan keputusan suaminya untuk berpoligami. Hal ini berkaitan dengan paham radikal yang berkeyakinan bahwa poligami yang dilakukan oleh seorang suami adalah sebuah takdir Tuhan yang harus dijalani. Mereka sulit untuk menolak karena berpikir bahwa sudah sebaiknya mereka menurut. Penolakan terhadap poligami yang dilakukan oleh suami akan berujung pada perceraian yang mereka percayai dibenci oleh Tuhan (Konde 2022).
Ragam Pandangan Mengenai Poligami
Memang terdapat salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang secara gamblang mengizinkan seorang laki-laki untuk berpoligami (Sunaryo 2010). Tentunya, perizinan ini dibatasi dengan hanya empat orang istri dan dengan syarat mampu bersikap adil terhadap istri-istrinya. Bahkan, kyai dan penulis buku Sunnah Monogami (2005), Faqihuddin Abdul Kodir, menilai bahwa tidak ada satu pun rujukan kitab dari para ulama yang menjadikan poligami sebagai sunnah. Poligami pun tidak dianjurkan ketika seorang suami tidak mampu berlaku adil, baik secara material maupun batiniah.
Di sisi lain, terdapat tiga perspektif Islam mengenai poligami di Indonesia yang didasarkan pada pendekatan penafsiran Al-Qur’an yang didefinisikan oleh Abdullah Saeed (2006), yakni pendekatan tekstualis, semi-tekstualis, dan kontekstualis.
Kaum tekstualis bersandar pada pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an secara tekstual dan cenderung berargumen bahwa poligami mendatangkan manfaat karena dapat menolong para janda dan anak yatim. Sementara itu, kaum semi-tekstualis pada dasarnya mengikuti kaum tekstualis dalam penekanan linguistik dan pengabaian konteks sosio-historis, tetapi mengemas isi etika-hukum dengan cara yang berbeda (Saeed 2006). Kaum ini menempati posisi paling sesuai dengan ketentuan negara Indonesia, di mana laki-laki Muslim hanya boleh menikahi sebanyak empat istri secara bersamaan dengan jaminan perlakuan yang adil di antara para istri. Perspektif terakhir adalah kelompok kontekstualis yang secara tegas menolak validasi poligami karena jaminan keadilan seksual maupun ekonomi di antara istri mustahil untuk dicapai sehingga berujung pada penderitaan (Bennett dan Davies 2014).
Menurut Khaled Abou el Fadl (2003), perintah Tuhan selalu tekstual. Namun, bahasa sebagai perantara dalam teks menimbulkan sering terjadi silang pendapat karena pada dasarnya bahasa hanyalah kesepakatan kelompok masyarakat (Sunaryo 2010). Akan tetapi, permasalahan sesungguhnya adalah pembaca sering kali menutup teks pada makna tertentu dan/atau memaksakan penafsiran tunggal. Kaum tekstualis menutup mata mereka rapat-rapat akan tafsir lanjutan dari ayat yang menjadi keyakinan mereka. Selama ini, para pendukung poligami menganggap poligami merupakan cara “halal” untuk memuaskan hasrat seksual mereka. Dengan kata lain, poligami dianggap sebagai alternatif yang lebih baik daripada melakukan zina atau hubungan di luar status pernikahan (Bennett dan Davies 2014). Mereka juga berkiblat pada praktik poligami yang dilakukan oleh para nabi.
Selain agama, Pemerintah Indonesia sendiri melegalkan poligami melalui Undang-Undang Pernikahan Tahun 1974. Hal tersebut tentu dilakukan dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi atau kondisi-kondisi ketika poligami diperbolehkan (Zuhrah 2017). Salah satu syaratnya adalah poligami dapat dilakukan apabila sang istri tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri, sang istri tidak mampu melahirkan anak, atau memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun, persyaratan tersebut juga harus ditunjang dengan adanya izin dari istri sah saat itu, kemampuan secara finansial untuk menghidupi lebih dari satu istri beserta anak-anaknya, serta mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya. Undang-Undang Pernikahan Tahun 1974 juga menetapkan bahwa seorang suami tidak dapat menikahi empat orang istri secara bersamaan (Bennett dan Davies 2014).
Patriarki Kembali sebagai Akar Permasalahan
Poligami bukan lagi bentuk kontekstualisasi keagamaan, melainkan isu sosial masyarakat. Langgengnya praktik poligami tak lain dan tak bukan dikarenakan budaya patriarki yang masih menjamur (Wichelen 2009). Pada dasarnya, yang membedakan laki-laki dan perempuan hanyalah jenis kelaminnya. Hal ini ditekankan oleh Barbara dan Allan Pease (2001), bahwa laki-laki dan perempuan memang terlahir berbeda dan itu bukan suatu permasalahan (Saiddaeni et al. 2023). Namun, muncul marginalisasi, stereotip, dan tanggung jawab ganda pada perempuan yang disebabkan oleh interpretasi terhadap perempuan dalam sosial budaya sehari-hari. Perempuan yang kerap diposisikan sebagai ‘amanah’ memunculkan poligami sebagai kekerasan bermotif kejahatan berdalih kehormatan. Perempuan kerap dianggap sebagai pihak yang ditanggung oleh laki-laki, dianggap tidak lebih dominan. Hal ini tidak lepas dari stereotip ideologi patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi lemah sehingga wajib dilindungi oleh pihak yang lebih kuat, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh laki-laki (Hikmah 2012). Dominasi laki-laki dalam sebuah rumah tangga mengakibatkan lemahnya derajat perempuan (Farid 2019).
Akan tetapi, kelompok pro-poligami mengeluarkan pembelaan bahwa adanya poligami ini meluruskan tujuan mereka untuk melindungi perempuan terutama janda dan yatim piatu (Bennett and Davies 2014). Dalam hal ini, anggapan bahwa jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki menjadi bahan legitimasi mereka terhadap poligami. Padahal, sensus penduduk oleh BPS yang dipublikasikan tahun 2020 menunjukkan bahwa penduduk laki-laki masih lebih banyak dari perempuan. Fakta ini secara tidak langsung mematahkan argumen kelompok pro poligami. Dalih lainnya yaitu poligami akan membantu pemenuhan hasrat seksual laki-laki sehingga tidak terjadi penyimpangan dan tindak kekerasan sebagai akibat tidak terpenuhinya keinginan tersebut. Kenyataannya, alasan-alasan tersebut justru semakin memperkuat adanya stereotip ideologi patriarki pada perempuan (Hikmah 2012). Dengan begitu, poligami kemudian menjadi kontestasi kejantanan atau maskulinitas (Wichelen 2009).
Relasi Kuasa dalam Poligami
Al-Qur’an tidak menyajikan poligami sebagai solusi dari permasalahan ekonomi, ketidaksuburan istri, atau pemenuhan kebutuhan seksual suami. Lebih utama, Al-Qur’an tidak memberikan hak kepada semua laki-laki Muslim untuk menikahi banyak perempuan. Kebolehan berpoligami terbatas pada kepentingan untuk menjamin keadilan dari wali kepada anak yatim piatu tidak berdaya yang menjadi tanggungannya. Poligami dilakukan karena khawatir tidak dapat memperlakukan perempuan dengan adil di luar hubungan pernikahan. Pada dasarnya poligami juga tidak ditujukan untuk keistimewaan laki-laki karena adanya batasan-batasan yang ditetapkan dengan ketat (Barlas 2022).
Namun, pada masa kini, praktik poligami yang dilakukan rentan tidak sesuai dengan makna ayat-ayat Al-Qur’an. Argumentasi yang dilontarkan, mulai dari “rayuan” keuntungan poligami Coach Hafidin hingga pembelaan pro poligami, merujuk pada suatu kesimpulan yaitu relasi kuasa yang timpang. Relasi kuasa yang timpang juga melahirkan objektivikasi perempuan dalam bentuk kekerasan seksual (Farid 2019). Objektivikasi perempuan sebagai bentuk dehumanisasi meletakkan perempuan pada posisi subordinat, sebagai alat pemuas nafsu laki-laki. Banyak kasus yang berakhir dengan tak hanya perempuan sebagai korban ketidakadilan poligami, tetapi juga anak-anak mereka (Abror 2016).
Hasil wawancara Nina Nurmila (Bennett dan Davies 2014) kepada dua pelaku poligami dengan kasus yang berbeda menghasilkan kesimpulan bahwa poligami menyebabkan luka emosional dan ketidakamanan finansial. Terjadi kecemburuan antara istri pertama dengan istri lainnya, baik dalam hubungan seksual maupun pertanggungjawaban ekonomi. Kecemburuan ini timbul karena ketidakmampuan pelaku poligami untuk berlaku adil. Realitas yang terjadi dalam pernikahan poligami di Indonesia adalah banyak yang memilih untuk melaksanakan pernikahan informal yang tidak diakui oleh negara dan menyalahi undang-undang perkawinan yang ada. Selain itu, tidak semua pelaku poligami sudah mapan secara finansial untuk menghidupi lebih dari satu rumah tangga. Laki-laki dengan latar belakang ekonomi yang rendah akan kesulitan untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga yang ditanggungnya. Fakta ini memperkuat argumen kontekstualis yang menganggap poligami tidak diinginkan oleh masyarakat karena membawa banyak kerugian bagi perempuan dan keluarganya (Bennett dan Davies 2014).
Selain itu, hasil wawancara dalam artikel The Veil and Polygamy: Current Debates on Women and Islam in Indonesia (1995) menyatakan pertentangan terhadap poligami didasari oleh pesan ilahi yang mengatakan bahwa keadilan di antara para istri yang harus dipenuhi dalam berbagai aspek tidak mungkin dapat diterapkan. Keadilan tersebut tidak hanya menyangkut aspek material, tetapi juga biologis dan psikologis. Hal ini tercermin dalam realita yang menunjukkan bahwa tidak ada satupun pernikahan poligami yang berhasil. Narasumber lain menyebutkan bahwa poligami merupakan bentuk egoisme dari seorang lelaki. Akan tetapi, generasi intelektual muda melihat poligami sebagai anakronistik yang hanya sah dalam konteks sosio-historis pada abad ketujuh. Pada saat itu, poligami menjadi jalan untuk melindungi para janda di masa perang yang kemudian dibatasi oleh Islam sehingga tercipta kemajuan (Feillard 1995).
Kesimpulan
Diperbolehkannya praktik poligami oleh negara dan agama tertentu memang tidak dapat dielakkan. Meskipun begitu, poligami banyak membuat pelakunya lalai pada hak-hak kemanusiaan dan keadilan yang harus dipenuhi kepada istri dan anak dalam sebuah keluarga. Maskulinitas hegemonik menjadikan laki-laki sebagai pemegang kuasa tertinggi dalam rumah tangga yang berhak mengambil keputusan. Banyak perempuan korban relasi kuasa yang timpang hanya bisa mengiyakan keputusan sang suami untuk poligami dalam keterpaksaan. Kenyataan di lapangan, banyak poligami didasari oleh hasrat seksual dengan membawa dalil agama tanpa mengindahkan perasaan dan kelanjutan hidup perempuan dan anak-anaknya.
Adanya poligami rentan meneruskan dinasti patriarki dan rentan melahirkan kekerasan dalam rumah tangga, baik dalam bentuk fisik, seksual, psikis, maupun ekonomi. Padahal, tujuan dari sebuah pernikahan adalah untuk mendatangkan kebaikan bagi laki-laki maupun perempuan. Seharusnya tidak ada satu pihak yang superior pun pihak lain yang dijadikan subordinat. Jangan sampai pernikahan yang telah dibangun malah memunculkan lebih banyak kesengsaraan daripada kebermanfaatan.
Penulis: Alifia Jasmine Thanaya Lahadina dan Kayfi Yasmin Ramadhani (Magang)
Penyunting: Najma Alya Jasmine
Ilustrator: Nabillah Faisal Azzahra
Daftar Pustaka
Abror, Khoirul. 2016. “Poligami dan Relevansinya dengan Keharmonisan Rumah Tangga (Studi Kasus di Kelurahan Rajabasa Bandar Lampung).” Al-’Adalah 13, no. 2 (Desember): 227-239.
Adhiyasa, Donny. 2020. “Warganet Geger, Ada Promo Workshop Sukses Poligami Seharga Rp 4 Juta.” Viva.co.id https://www.viva.co.id/berita/nasional/1223238-warganet-geger-ada-promo-workshop-sukses-poligami-seharga-rp4-juta (Diakses 18 Desember 2023, pukul 11.30 WIB)
Administrator. 2021. “Bongkar Rahasia Istri Bisa Terima Poligami, Coach Hafidin Kini Banting Harga Kelas Webinar.” News.indozone.id https://news.indozone.id/news/911526432/bongkar-rahasia-istri-bisa-terima-poligami-coach-hafidin-kini-banting-harga-kelas-webinar?page=3 (Diakses 28 Oktober 2023, pukul 09.53 WIB)
Administrator. 2021. “Heboh Coach Hafidin Buka Kelas Poligami Sukses Punya 4 Istri 25 Anak, Ada Senam Kejantanan.” News.indozone.id https://news.indozone.id/news/911526427/heboh-coach-hafidin-buka-kelas-poligami-sukses-punya-4-istri-25-anak-ada-senam-kejantanan (Diakses 28 Oktober 2023, pukul 10.25 WIB)
Badan Pusat Statistik. 2020. Jumlah dan Distribusi Penduduk. Diakses November 3, 2023. https://sensus.bps.go.id/main/index/sp2020#:~:text=Jumlah%20dan%20Distribusi%20Penduduk,133.542.018%20untuk%20penduduk%20perempuan.
Barlas, Asma. 2002. Believing Women in Islam. Texas: University of Texas Press.
Bennett, Linda Rae, and Sharyn Graham Davies. 2014. Sex and Sexualities in Contemporary Indonesia: Sexual Politics, Health, Diversity and Representations. London: Routledge.
Dinda, Sanya. 2022. “Jadi Korban Poligami Karena Janji Manis Suami dan Janji Manis Radikalisme.” Konde.co https://www.konde.co/2022/04/jadi-korban-poligami-karena-janji-manis-suami-dan-janji-manis-radikalisme.html/ (Diakses 4 November 2023, pukul 19.03)
DetikNews. 2006. “Inilah Alasan Aa Gym Berpoligami.” Diakses November 2, 2023. https://news.detik.com/berita/d-715521/inilah-alasan-aa-gym-berpoligami
Farid, Muhammad Rifa’at Adiakarti. 2019. “Kekerasan terhadap Perempuan dalam Ketimpangan Relasi Kuasa: Studi Kasus di Rifka Annisa Women’s Crisis Center.” SAWWA: Jurnal Studi Gender 14, no. 2: 175-190. doi.org/10.21580/sa.v14i2.4062.
Feillard, Andree. 1995. The Veil and Polygamy: Current Debates on Women and Islam in Indonesia. p. 5-27. doi: 10.4000/moussons.9030
Johnson, Heather. 2005. “There Are Worse Things than Being Alone: Polygamy in Islam, Past, Present, and Future.” William & Mary Journal of Women and the Law 11, no. 3: 563-596.
Hikmah, Siti. 2012. “Fakta Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan.” SAWWA: Jurnal Studi Gender 7, no.2: 1-20. https://doi.org/10.21580/sa.v7i2.646.
Nazilah, Fera Rahmatun. 2021. “Empat Perkara Poligami yang Mungkin Luput dari Ingatan Coach Hafidin.” Islami.co https://islami.co/empat-perkara-poligami-yang-mungkin-luput-dari-ingatan-coach-hafidin/ (Diakses 18 Desember 2023, pukul 12.45)
Parhani, Siti. 2020. “Seminar Poligami: Komodifikasi Agama Secara Terang-Terangan.” Magdalene.co https://magdalene.co/story/seminar-poligami-komodifikasi-agama-secara-terang-terangan/ (Diakses 4 November 2023, pukul 18.45)
Saeed, Abdullah. 2006. Interpreting the Qur’an: Towards a contemporary approach. New York: Routledge.
Saiddaeni, Saiddaeni, Nurkholis Nurkholis, dan Achfan Aziz Zulfandika. 2023. “Women, Ethics of Care, Domestic Role and Islamic Teachings (Classical Fiqh) and Local Culture.” Journal of Feminism and Gender Studies 3, no. 2: 121-132. https://doi.org/10.19184/jfgs.v3i2.38636.
Sunaryo, Agus. 2010. “Poligami di Indonesia (Sebuah Analisis Normatif-Sosiologis).” Jurnal Studi Gender & Anak 5, no. 1: 143-167. http://doi.org/10.24090/yy.v5i1.2010.pp143-167.
Wichelen, Sonja van. 2009. “Polygamy Talk and the Politics of Feminism: Contestations over Masculinity in a New Muslim Indonesia.” Journal of International Women’s Studies 11, no. 1 (November): 173-188.
Zuhrah, Fatimah. 2017. “Problematika Hukum Poligami di Indonesia (Analisis terhadap UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI).” Al Usrah: Jurnal Al Ahwal As Syakhsiyah 5, no. 1: 27-41. http://dx.doi.org/10.30821/al-usrah.v5i1.1342.
1 komentar
Keren banget. Tetap semangat untuk menciptakan karya-karya selanjutnya. So proud!