Sebatang nisan bertuliskan “R.I.P Demokrasi” tampak bersandar pada gerbang Gedung Agung Yogyakarta pada Senin pagi (15-01). Kawit, seorang korban penggusuran Parangkusumo, menaburkan bunga-bunga kuburan di sepanjang gerbang sebagai aksi pembukaan Kongres I Penyintas Rezim Presiden Jokowi. Belasan massa aksi dari berbagai elemen yang tergabung dalam Forum Cik Ditiro serempak berseru. “Presiden cawe-cawe [campur tangan-red] bukan demi bangsa, tapi demi keluarga!”
Sebelum bergerak menuju Gedung Agung Yogyakarta, massa aksi berencana untuk menyelenggarakan kongres dengan berdiskusi di aula Kantor PP Muhammadiyah. Namun, kegaduhan sempat pecah di pihak internal Muhammadiyah sehingga kongres tidak bisa dilaksanakan di sana. Menurut Sana Ullaili, koordinator lapangan kongres dari Solidaritas Perempuan Kinasih, hal tersebut disebabkan banyak kader Muhammadiyah yang berafiliasi dengan partai politik. “Kami mengubah skema kongres dengan aksi simbolik terkait dengan matinya demokrasi,” papar Sana.
Kongres yang bertema “Takziah Demokrasi atas Matinya Adab Demokrasi, Penegakan HAM, dan Keadilan Agraria” ini menyerukan sejumlah tuntutan. Sana memaparkan bahwa ia dan massa aksi lainnya mendesak adanya penegakkan keadilan bagi seluruh korban pelanggaran HAM di Indonesia. Tak hanya itu, mereka juga menginginkan Presiden Jokowi untuk menyudahi praktik politik nepotisme yang terus ia gencarkan. “Kami menuntut Jokowi menghentikan kerja-kerjanya yang membunuh demokrasi melalui ketamakan dan kehausan atas kekuasaan,” tegas Sana.
Lebih lanjut, Sana juga menjelaskan bahwa kongres ini mengharapkan pemilu 2024 tidak dilaksanakan semata-mata demi kepentingan keluarga dan segelintir kelompok elite. Sana menyampaikan jika pemerintah memang menghargai ruang hidup rakyat, seharusnya pemilu tidak dijadikan ajang transaksi politik. “Kita tahu bahwa pemilu kali ini by design oleh sekelompok elite politik oligarki yang lahir dari lingkaran rezim Jokowi,” tudingnya.
Saat sesi orasi, Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International, juga mengamini kecurigaan terkait pemilu. Skenario pemilu yang dirancang oleh orang-orang tertentu itu, menurut Usman, menjadi bukti nyata bahwa demokrasi di Indonesia memang sudah mati. Sepanjang proses pemilu yang sudah terselenggara, ia menyadari adanya kejanggalan seperti simulasi kertas suara yang bermasalah sampai intimidasi dari KPU pusat ke bandar KPU daerah. “Apalagi Mahkamah Konstitusi yang sekarang ini sudah menjadi mahkamah keluarga,” tandas Usman.
Bukan hanya rekayasa pemilu saja yang menjadi tanda matinya demokrasi. Usman menyinggung sistem politik yang telah sepenuhnya berbasis pada cara kerja kartel. Kekuatan ideologis yang dahulu muncul pada partai-partai di masa lalu telah punah. Partai-partai dari zaman terdahulu seperti Partai Sosialis Indonesia serta Partai Komunisme Indonesia berdiri atas keyakinan pada komunisme dan sosialisme. “Hari ini, seluruh partai yang ada ditentukan oleh kekuatan material. Pengelolaannya juga tidak profesional dan sangat korup,” ujarnya.
Selain fenomena kartelisasi politik, Usman juga mencetuskan hal lain yang menandakan kematian demokrasi, yakni hilangnya kebebasan rakyat untuk menyampaikan kritik. Bahkan, Usman mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang seharusnya memperbaiki lingkungan tidak berfungsi dengan baik. Kebijakan seperti Undang-Undang Cipta Kerja malah dijadikan sebagai karpet merah bagi para investor untuk mengambil untung dari alam Indonesia. Sebagai contoh, Usman membeberkan penambangan di Rembang yang dilakukan oleh PT Semen Gresik sesungguhnya tidak memenuhi izin AMDAL. “Selain Rembang, ada juga kasus delapan warga Rempang yang mengalami intimidasi hingga kriminalisasi karena menolak penggusuran,” tuturnya.
Selain Usman, ada pula Kawit yang turut berorasi di depan Gedung Agung Yogyakarta. Perempuan yang kini berusia 62 tahun itu dahulu memperjuangkan tanahnya di Parangkusumo dari ancaman penggusuran pada tahun 2016. Bagi Kawit, Indonesia sebenarnya belum merdeka seutuhnya. “Saya amati kemerdekaan di Indonesia sampai sekarang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang bisa ‘bermain’ di atas sana,” keluhnya.
Wahyu, salah seorang massa aksi, juga mengungkapkan keprihatinan atas penderitaan petani Kulon Progo karena penggusuran yang dilakukan demi membangun bandara baru. Saat para petani menolak pengukuran tanah di Desa Glagah, mereka mengalami penganiayaan oleh aparat Polres Kabupaten Kulon Progo. “Mereka kena dengkul aparat sampai mulutnya moncrot berdarah, tapi kekerasan itu tidak diproses. Pembangunan ternyata melakukan kekerasan!” seru Wahyu dengan geram.
Jelang akhir sesi orasi, Usman kembali berharap demokrasi di Indonesia tidak mati abadi. Ia mengingatkan masih ada kekuatan gerakan sosial yang masih berkobar di tengah keredupan demokrasi. Usman juga mengenang ketika mahasiswa dan aktivis turun ke jalan pada tahun 2019 demi menentang upaya pelemahan KPK. Saat itu, mereka juga memperjuangkan isu-isu lain seperti reforma agraria, kenaikan upah, dan upaya melindungi tanah petani. “Beberapa kali Jokowi berusaha memperpanjang kekuasaannya menjadi tiga periode, tapi dibendung oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Artinya, kekuatan gerakan sosial di Indonesia masih punya daya tahan yang sangat kuat,” ucap Usman.
Selepas aksi usai, Masduki, salah satu inisiator kongres, mengaku Kongres I Penyintas Rezim Jokowi bertujuan melawan konsep politik dinasti dan pelanggaran HAM. Terkait Pemilu 2024, ia mewanti-wanti rakyat untuk tidak memilih calon presiden dan wakil presiden yang berpotensi untuk melanggengkan politik dinasti. Selain itu, ia juga menganjurkan rakyat meneliti dahulu sejarah sepak terjang setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam penegakan HAM. “Itulah yang harus kita jaga. Pemilu yang bersih, yang sehat, dan yang egaliter,” jelas Masduki.
Senada dengan Masduki, Sana menyatakan tujuan utama dari kongres ini adalah memberikan edukasi kritis kepada seluruh warga. Ia dan segenap inisiator kongres berharap rakyat Indonesia, terutama yang merupakan korban dari rezim, harus beranjak menjadi penyintas yang menolak diam atas situasi ketidakadilan demokrasi. “Kami [akan-red] mengadakan kongres-kongres berikutnya untuk memberikan ruang edukasi supaya rakyat lebih mengedepankan prinsip demokrasi dan HAM dalam menanggapi kontestasi politik,” pungkas Sana.
Penulis: Sidney Alvionita Saputra
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: Sidney Alvionita Saputra