“Bahkan sumber mata air yang menghidupi kita sebagian sudah tidak bisa dimanfaatkan,” ucap Budin, warga asal Wadas. Ujaran tersebut ia lontarkan sewaktu menghadiri diskusi bertajuk “Bedah Fakta Penegakan HAM dan Keadilan Agraria Rezim Oligarki” pada Kamis (18-01), sebagai lanjutan Kongres I Penyintas Rezim Presiden Jokowi. Diskusi ini diselenggarakan secara daring oleh Forum Cik Ditiro. Turut hadir pula sejumlah narasumber, yakni Irene Natalia Lambung, anggota Solidaritas Perempuan Mamut Menteng; Muhammad Syafi’ie dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia; dan beberapa warga korban konflik agraria lainnya.
Pada awal diskusi, Budin menyampaikan bahwa penggundulan lahan yang dilakukan pemerintah di Wadas memunculkan kekhawatiran bagi warga. Berdasarkan pengakuan Budin, penggundulan lahan itu menyebabkan aliran air dari sumber mata air mereka menjadi kecoklatan. Tak hanya itu, Budin juga mengaku adanya ancaman tanah longsor yang menghantui warga. “Dikira sudah terima bantuan bisa leha-leha, padahal sama saja. Malah dulu hidup adem ayem, sekarang takut dekat rumah longsor,” ujar Budin.
Menambahkan Budin, warga asal Dieng, Haikal mengatakan warga di tempatnya juga mengalami bencana akibat kegagalan proyek pembangunan energi terbarukan. Ia menyebutkan bahwa proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) bukannya ramah lingkungan, tapi justru membahayakan warga dan lingkungan. “Tahun 2016 sempat terjadi ledakan sumur injeksi yang menyebabkan dua orang tewas dan lahan bekas ledakan tidak dapat ditanam lagi,” ungkap Haikal.
Tidak hanya Budin dan Haikal, Irene juga menceritakan bahwa warga di Kalimantan Tengah kehilangan hak atas tanah akibat proyek Food Estate milik pemerintah. Ia menjelaskan bahwa masyarakat Dayak yang berprofesi sebagai peladang memang sudah terbiasa dengan tradisi membakar lahan. “Tapi cara tersebut disalahgunakan investor dan pengusaha untuk membuka lahan. Akhirnya, menimbulkan asap dan memunculkan masalah baru bagi warga,” ucap Irene.
Lebih lanjut, Irene mengungkapkan bahwa perempuan adat di desa sudah terbiasa dengan pengelolaan lahan dan benih, tetapi tetap tidak pernah dilibatkan dalam proyek Food Estate. Ia menginformasikan bahwa proyek tersebut malah mengganti bibit hibrida menjadi bibit padi lokal hilir. Akibat ketidakpahaman dan salahnya cara pengelolaan, bibit tersebut menguning dalam seminggu. “Tidak ada campur tangan perempuan dalam proyek, jadinya gagal. Sekarang, lahan Food Estate menjadi semak belukar,” tutur Irene.
Hal yang sama juga dialami oleh perempuan di Flores. Warga asal Flores, Linda, turut menyebutkan kondisi perempuan di Flores yang berhubungan erat dan bergantung hidup pada alam. Namun, ia menuturkan bahwa pemerintah tidak mempedulikan hal tersebut. Ia menjelaskan bahwa perempuan diusir dari ruang hidupnya sehingga kesulitan bertani di tempat lain. Menurut Linda, ketika perempuan diundang untuk menghadiri sosialisasi tentang geotermal dari berbagai perusahaan yang datang, pembicaraan justru dilakukan dengan bahasa yang akademis. “Suara perempuan dipinggirkan, hanya untuk pemenuhan syarat, dan tidak ada implementasi,” ujarnya.
Begitu pula dengan warga asal Pakel, mereka telah lama bergelut dengan PT Bumisari untuk mempertahankan hak atas tanah. Berdasarkan pengakuan Harun, seorang petani Pakel, perjuangan warga sejak tahun 1925 hingga saat ini belum menemukan titik terang. Bahkan, upaya tersebut malah diganjar dengan kriminalisasi atas tiga petani pakel. “Mereka justru dicarikan pasal-pasal yang menyesatkan, padahal permasalahan [warga Pakel-red] adalah konflik agraria,” ucap Harun.
Harapandi, warga asal Bengkulu, turut membagikan cerita tentang sulitnya berkonflik dengan perusahaan swasta nasional, PT Daria Dharma Pratama. Selama proses persidangan, ia menganggap hakim mencari celah untuk menjebak saksi-saksi yang dihadirkan. “Beginilah realita hukum saat ini. Negeri kita sendiri, tetapi dijajah oleh korporasi,” jelas Harapandi.
Upaya melawan korporasi swasta juga dirasakan oleh warga Kabupaten Enrekang yang berhadapan dengan PT Perkebunan Nasional. Rahmawati, aktivis Kabupaten Enrekang, menjelaskan bahwa perjuangan mereka melawan Korps Brimob, polisi, dan tentara berakibat fatal terhadap warga. “Saat itu karena kita berhadapan dengan kekuatan senjata, banyak warga yang luka-luka, bahkan ada yang ditendang, ditelanjangi, dibuang dari mobil,” ujarnya.
Perjuangan berat konflik agraria juga dirasakan oleh Sarjaya, anggota Komunitas Petani Maju asal Muko-Muko yang pernah ditangkap oleh aparat kepolisian. Kejadian itu berlangsung pada tahun 2017 ketika ia dan komunitasnya sedang melakukan advokasi terkait kesulitan warga akibat konflik agraria di daerahnya. “Saat itu, saya ditangkap di tempat rakyat, gedung DPRD, bukan di kebun atau di rumah,” ungkap Sarjaya.
Menanggapi kasus itu, Syafi’ie menyayangkan penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta sejumlah pasal karet dalam KUHP. Syafi’ie mengungkapkan bahwa kelompok oligarki yang bertanggung jawab atas perusakan alam menjadikan peraturan hukum itu sebagai senjata untuk mengkriminalisasi para pejuang lingkungan. Di samping itu, Syafi’ie juga menyadari adanya permasalahan di struktur aparat penegak hukum. “Harus diakui bahwa kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan masih banyak yang dikendalikan oleh kekuasaan di atasnya,” tuturnya.
Untuk menghadapi runyamnya konflik agraria ini, Syafi’ie berpendapat perlu adanya solidaritas satu sama lain. Menurutnya, tanpa adanya solidaritas, perjuangan rakyat akan melemah. “Antara warga, pendamping hukum, masyarakat sipil, akademisi, dan media harus saling menyambung menjadi satu kesatuan,” pungkas Syafi’ie.
Penulis: Abel Alma dan Felycia Devizca (Magang)
Penyunting: Sidney Alvionita
Ilustrator: Ilham Jaya Saputra