Sejarah selalu dikenalkan sebagai cerita-cerita yang dekat dengan perjuangan dan heroik. Di lain sisi, sejarah cukup jauh dari kalangan perempuan. Hal ini diperkuat dengan arsip sejarah yang hanya menyebutkan beberapa nama perempuan saja. Bahkan, catatan itu tidak lengkap. Sejarah kerap menyebutkan nama-nama perempuan dari kalangan atas saja, dengan hak istimewanya untuk mengenyam pendidikan dan bersuara. Sementara nama-nama dan perspektif perempuan kalangan bawah jarang diikutsertakan.
Penulisan sejarah yang sering kali terkesan heroik menjadi pembuka gerbang terhadap rekonstruksi penulisan sejarah yang menggunakan perspektif perempuan kalangan bawah. Pada Senin (30-10), BALAIRUNG mewawancarai I Gusti Agung Ayu Ratih, Koordinator Institut Sejarah Sosial Indonesia. Ia aktif menyuarakan dan meneliti perempuan-perempuan yang perannya diberangus dalam sejarah.
Ratih mengungkapkan bahwa penulisan perempuan yang heroik bukan hanya yang berani keluar dari rumah, meninggalkan keluarga, dan hidup sendiri. Di Indonesia, penulisan sejarah masih memiliki sebuah kesenjangan antara pemahaman mengenai feminisme yang diperoleh dari luar dengan pemahaman terkait feminisme yang lahir di Indonesia. Berikut wawancara lengkapnya.
Bagaimana sejarah memandang perempuan?
Karena sejarah itu dia bukan manusia ya, jadi dia tidak bisa melihat. Mungkin yang lebih tepat menurut saya adalah bagaimana perempuan memandang sejarah. Terutama untuk konteks Indonesia, saya kira sebetulnya tidak banyak yang paham sejarah dan menganggap sejarah itu tidak penting. Meskipun feminisme dan teori-teori sosial menjadi fokus utama di kalangan [sejarawan-red] generasi saya, sedikit sekali yang mempelajari secara mendalam tentang sejarah perempuan. Jadi, mereka sangat tertarik pada sejarah [perempuan-red], tetapi tidak pernah melakukan studi secara akademik.
Menurut Anda, bagaimana penulisan sejarah perempuan di Indonesia?
Kalau dari yang saya lihat, sebenarnya ada beberapa tendensi. Pertama, penulisan yang bersifat formal, yang resmi. Banyak yang telah menulis tentang Kartini tetapi karena surat-suratnya yang kaya akan pemikiran, topik ini tampaknya tak pernah habis untuk diperbincangkan. Kartini bisa ditelusuri dari banyak segi, yang paling umum tertulis adalah Kartini sebagai pahlawan perempuan.
Namun, dalam tulisan-tulisan tentang pahlawan ini, saya melihat kurangnya perspektif feminis karena jarang sekali menggambarkan bagaimana perempuan berhadapan dengan [budaya-red] patriarki. Hanya Kartini dan generasi sesudahnya yang ditampilkan berhadapan dengan patriarki. Misalnya, Cut Nyak Dien yang suaminya melakukan poligami, tetapi hal ini jarang diceritakan.
Kedua, cara perempuan ini selalu dipandang sebagai sosok hebat yang mampu mengurus anak, terlibat dalam politik, dan sebagainya tanpa pernah menggambarkan tegangan yang muncul akibat keterlibatan mereka dalam politik. Saya pikir sudah banyak tulisan yang ada. Namun, jarang membahas pertanyaan-pertanyaan kunci yang diajukan dalam pemikiran feminis.
Dalam penulisan sejarah perempuan, apakah terdapat pengaruh dari konstruksi sosial atau masyarakat?
Penulisan sejarah Indonesia sendiri memang sangat dipengaruhi oleh sejarah politik dan mitos kepahlawanan, itu yang dianggap paling penting. Misalnya, sejarah buruh. Ya ada satu dua yang menggarap itu, tapi yang dianggap sejarah, yang diajarkan di sekolah itu selalu pahlawan-pahlawan.
Ada yang menulis tentang perkawinan, sejarah keluarga, dan sebagainya. Namun, pemikiran yang dominan adalah ketika menulis tentang sejarah perempuan, fokusnya masih pada orang-orang yang memiliki prestasi tertentu. Misalnya, menjadi ketua organisasi atau terlibat dalam perlawanan khusus.
Lah, terus kalau yang ibu-ibu biasa itu enggak boleh ditulis? Hahaha. Seakan-akan sejarah perempuan biasa tidak dianggap sebagai sejarah sama sekali. Perspektif semacam ini perlu diubah agar kisah-kisah perempuan yang beragam bisa tersampaikan.
Kalau dikaitkan dengan konstruksi sosial, pekerjaan domestik dianggap bukan pekerjaan, tidak layak untuk diangkat sebagai bagian dari sejarah. Melihat bahwa pekerjaan perempuan biasa dianggap tidak penting untuk ditulis atau dilacak. Padahal sebenarnya kan kalau kita masuk ke dalam wilayah yang berarti sejarah, ini mengacu pada sejarah masyarakat dan kehidupan orang-orang biasa.
Kita seharusnya berbicara dengan buruh bordir, pengasuh anak, atau bahkan budak dan nyai di masa lalu. Dari mereka kita bisa mendapatkan gambaran tentang bagaimana kehidupan di kota atau desa pada masa itu. Jika kita hanya melihat dari perspektif kalangan atas, akan sangat terbatas. Kita hanya bisa melihat apa yang terjadi di istana atau di kabupaten, tapi tidak bisa menggambarkan apa yang terjadi di desa atau di wilayah-wilayah seperti pasar. Akibatnya, pengetahuan sejarah kita menjadi sangat minim dan kurang representatif.
Mengapa sejarah lebih banyak menuliskan perempuan dari kalangan atas saja?
Ya, itu di mana-mana terjadi dan sangat masuk akal. Karena apa? Mereka menulis, itu satu. Apa pun yang mereka lakukan dimuat di surat kabar atau di majalah. Mereka punya dokumentasi, mereka menulis buku harian, dan mungkin menulis surat kepada teman-temannya. Keluarganya cukup mampu untuk menyimpan dokumen-dokumen itu. Jadi, orang enggak mau susah.
Masalah kedua, dokumen-dokumen yang dianggap kiri itu oleh Pemerintah Belanda dibuang oleh Pemerintah Indonesia, di masa Soeharto juga dibuang. Pemerintahan Soeharto mengatakan, “Oh, itu komunis-komunis semua, buang tuh dokumennya semua.”
Bagaimana tanggapan Anda atas stigma bahwa figur-figur “penting” hanya bisa diberikan kepada kalangan atas?
Ya gapapa, boleh aja. Namun, saya tetap melihat bahwa itu sangat bergantung pada nuansa yang akan ditampilkan. Perempuan kelas atas boleh saja menjadi figur yang ideal, asal dia digambarkan secara lebih utuh, sepenuh-penuhnya sebagai manusia. Sering kali dia dianggap tidak ada cacatnya, padahal dia tidak se-pahlawan itu.
Sementara, saya ingin gambaran yang lebih utuh. Misalnya, saya menulis tentang Kartini. Ternyata dia sangat suka dengan laut, dia suka berenang di laut. Nah, ini kan dimensi yang enggak pernah muncul gitu. Lalu juga, ternyata dia bencinya setengah mati dengan Snouck Hurgronje. Karena Snouck Hurgronje bilang perempuan-perempuan Jawa itu enggak usah disekolahin, enggak perlu emansipasi. Mereka sudah cukup tenang, sudah cukup senang.
Kartini marahnya setengah mati. Dia berlembar-lembar memaki-maki Snouck Hurgronje. Dia katakan, “Bagaimana mungkin orang yang saya kagumi, orang yang saya anggap ini beradab, ternyata justru melecehkan upaya saya?” Menurut saya itu lucu yah, caranya dia marah itu sangat menarik buat saya. Karena bayangkan, Kartini ini kan dia anak dari kota kecil, dia melawan, dia mengata-ngatai pejabat kolonial yang sangat tinggi posisinya, gitu ya. Jadi, ini adalah satu heroisme yang berbeda.
Menurut saya, penggambaran perempuan-perempuan dalam sejarah itu menjadi tidak realistis gitu deh. Sederhananya itu, kayak perempuan-perempuan ini enggak ada masalah, enggak banyak berjuang, hahaha. Padahal masalahnya itu banyak.
Apakah ada dampak dari kurangnya penulisan mengenai perempuan kalangan bawah dalam sejarah?
Ya, akhirnya wawasan kesejarahan kita menjadi sangat sempit karena kurangnya informasi mengenai kehidupan perempuan dari kalangan kelas bawah. Misal penulisan tentang budak dan nyai di masa VOC. Berdasarkan arsip-arsip pengadilan di Batavia, tergambar bagaimana perempuan-perempuan kelas bawah dianggap VOC sebagai orang-orang yang bisa dibuang. Padahal, merekalah yang menghubungkan kelompok etnis dan ras satu dengan yang lainnya.
Padahal sebenarnya kita tahu, sejarah seperti ini [perempuan kalangan bawah-red] bisa menjadi modal buat kita untuk memperjuangkan ruang yang otonom bagi perempuan di wilayah manapun. Bukan hanya soal kelas bawah atau kelas atas, tetapi juga nuansa dalam melihat pengalaman perempuan.
Lantas menurut Anda, usaha dan upaya seperti apa yang dapat dilakukan dalam proses rekonstruksi sejarah perempuan?
Kalau saya sih, yang sekarang penting adalah melihat catatan-catatan sejarah yang tidak tertulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Melayu. Supaya sejarah perempuan Indonesia tidak Jawa sentris atau Melayu sentris.
Menurut saya, pertama, harus ada upaya menuliskan sejarah-sejarah lokal dengan bahan-bahan dari prasasti, seperti sejarah feminis di India. Kedua, mencoba mengangkat cerita-cerita orang biasa melalui tradisi lisan. Misalnya, pengalaman perempuan kelas bawah di Indonesia di tahun 70-an. Ada banyak profesi-profesi yang bisa kita eksplorasi. Supaya kita juga punya bayangan kehidupan perempuan-perempuan itu seperti apa.
Buat saja sejarah keluarga, wawancarailah kakek dan nenekmu. Dari mana asal-usul mereka, bagaimana kehidupan mereka dulu. Coba tanya anak-anak sekarang, apakah mereka tahu asal-usul kakek dan nenek mereka, bagaimana kehidupan mereka? Sejarah keluarga adalah awal, dari situ kita bisa melangkah ke sejarah komunitas atau sejenisnya. Ini adalah salah satu peran penting pemerintah dan perspektif gender harus dimasukkan di sana juga.
Apakah peran pemerintah sebagai pemegang kuasa dalam upaya rekonstruksi sejarah sudah maksimal?
Menurutku masih kurang ya. Salah satu masalah besar menurutku adalah penghapusan sekolah pendidikan guru. Sekarang tidak ada lagi sekolah khusus untuk pendidikan guru, universitas yang dulu mengkhususkan diri dalam bidang ini, seperti IKIP, semuanya diubah menjadi universitas biasa. Hal ini menyebabkan saat saya dan teman-teman di Institut Sejarah Sosial Indonesia mengadakan workshop dengan guru-guru sejarah tentang bagaimana membicarakan genosida 65–66, mereka bukan takut, mereka siap mengajarkannya, tapi mereka kurang percaya diri.
Peran paling penting lainnya juga ada dalam pendidikan. Nah, sekarang sejarah cuman diajarin satu jam [di sekolah-red]. Padahal sejarah dan sastra itu penting banget, karena itu membangun karakter. Kalau enggak punya itu, ya itu tadi, mau ditatar Pancasila atau apa, enggak bakalan bisa. Sekarang anak-anak rata-rata enggak suka pelajaran sejarah. Harusnya sekolah buka ruang itu.
Pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada generasi muda yang tertarik dalam sejarah gerakan perempuan?
Rasa ingin tahu dan ketertarikan terhadap hal-hal kompleks seperti yang disebutkan tadi penting untuk dipelihara. Teruslah mencari, mempelajari, dan mendiskusikan hal-hal yang kompleks tersebut, dan yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa mengambil tindakan dari upaya mencari pengetahuan itu . Tindakanlah yang paling penting adalah bagaimana mewujudkan gagasan dari diskusi menjadi tindakan nyata. Menurutku, itulah tantangannya.
Jadi, pesanku adalah kita selalu harus merumuskan strategi atau langkah selanjutnya dari sebuah diskusi. Supaya apa yang kita bahas dan jadikan bahan latihan intelektual ini bisa dinikmati oleh banyak orang. Itu yang selalu aku tekankan. Kami bisa saja asyik hanya berdiskusi, tapi untuk menciptakan perubahan, kita harus menyebarkannya, dibahas, dan mungkin apa yang saya katakan tidak selalu benar dan bisa digugat. Ada yang mungkin tidak setuju dan menawarkan pandangan berbeda. Itu bagus, karena dari sana kita bisa berdiskusi lebih lanjut. Jadi, bagaimana caranya memelihara ketertarikan ini agar tetap terjaga dan memiliki institusi yang mendukungnya.
Penulis: Aisyah Ghulam Al-Wutsqo Kaisah Nur Azizah, dan Satya Grandia Armadana (Magang)
Editor: Ester Veny
Ilustrator: Farrel Baswara