“Di Bantaeng, seorang ayah memerintahkan kedua anak lelakinya untuk membunuh si anak perempuan yang diduga telah melakukan hubungan seks,” ungkap Naila Rizqi, perwakilan dari Jakarta Feminist. Ia mengisahkan pembunuhan keji tersebut di tengah berlangsungnya acara “Peluncuran Laporan Femisida 2022: Lebih dari Sekedar Angka” pada Minggu (11-12). Selain Naila, turut hadir pula Siti Tardi dari Komnas Perempuan, Kanzha Vinaa dari Sanggar Swara, dan Nana dari LBH Yogyakarta sebagai narasumber.
Sebagai awalan dari pembahasan femisida, Naila memaparkan terminologi dari kata tersebut. Femisida, berdasarkan pemaparan Naila, merupakan pembunuhan perempuan yang menekankan adanya elemen ketidaksetaraan gender. “Elemen-elemen yang dimaksud adalah penaklukan, opresi, dan kekerasan sistematis terhadap korban perempuan, termasuk transpuan,” jelas Naila.
Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Jakarta Feminist, terdapat tiga masalah utama yang menjadi motif dari femisida. Dari 194 kasus pembunuhan perempuan, 31 persen di antaranya terjadi karena permasalahan komunikasi. Selanjutnya, ada persoalan asmara seperti tuduhan berselingkuh yang menyentuh angka 20%. Terakhir, Jakarta Feminist melansir bahwa persentase femisida yang disulut karena perkara ekonomi mencapai 14%.
Lebih lanjut, Siti menyatakan bahwa pelecehan terhadap jasad korban merupakan ciri khas dari femisida. Sebelum dibuang begitu saja, jasad korban ditelanjangi dan alat kelaminnya dirusak. “Pelaku berbuat seperti itu untuk mempermalukan perempuan,” tegas Siti.
Sebagai tanggapan atas pernyataan Siti, Vinaa menambahkan pembunuhan terhadap transpuan biasanya dilakukan dengan lebih sadis. Jasad korban transpuan kerap dipertontonkan di depan publik. “Ada banyak saksi, tapi mereka hanya menonton,” ujar Vinaa.
Tak hanya para pelaku saja yang merendahkan martabat korban, tetapi media-media yang meliput femisida juga kerap melakukan hal serupa. Hal ini diungkapkan oleh Naila yang kemudian juga menyatakan bahwa alih-alih fokus kepada tindakan keji yang dilakukan pelaku, media malah mengobjektifikasi para korban. Salah satu contoh yang dikutip Naila adalah berita bertajuk “Ditolak Nikah, Janda Cantik Tewas Dibunuh Secara Sadis di Tengah Hutan”.. “Media melakukan hiperbola untuk mencari sensasi supaya orang membaca berita itu,” tutur Naila.
Selain itu, Naila menambahkan bahwa media juga kerap menggunakan penyebutan yang salah dalam pemberitaan femisida yang terjadi pada transpuan. Hal ini berimbas pada sulitnya pemantauan kasus. “Komunitas transpuan menyatakan pembunuhan terhadap transpuan lebih banyak daripada yang ditangkap media,” ujar Naila.
Senada dengan Naila, Vinaa membenarkan adanya permasalahan tersebut. Ia menceritakan kasus pembunuhan seorang transpuan yang ditemukan mati telanjang di bundaran kota. Media yang memberitakan pembunuhan itu menyebut korban sebagai pria yang berpenampilan seperti perempuan. “Setelah kami telusuri, pemberitaan media memang jarang menggunakan istilah transpuan,” ujar Vinaa.
Bukan cuma pihak media yang tidak berpihak pada korban femisida, Nana menyebutkan bahwa aparat penegak hukum juga sama sekali tidak memahami istilah femisida. Nana mengeluhkan Polda DIY bahkan tak mengerti isi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). “Kami harus jelaskan dulu UU TPKS ke mereka,” ujar Nana.
Berdasarkan pengalamannya mendampingi kasus kekerasan seksual, Nana menemukan betapa cacatnya implementasi UU TPKS. Ia pernah menjadi penasihat hukum bagi korban kekerasan seksual yang malah dipenjara karena membuang anak hasil dari pemerkosaan yang ia alami. “Apakah kasus pemerkosaannya diadili? Tidak, yang diurus hanya kasus pembuangan anaknya,” kata Nana.
Di akhir acara, Naila menyampaikan sejumlah rekomendasi bagi pemerintah, media, dan aparat penegak hukum yang dihimpun oleh Jakarta Feminist. Ia menuntut pemerintah untuk mencabut peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan. Ia juga mengharapkan institusi penegak hukum untuk memberikan pendidikan dan pelatihan gender bagi calon aparat. “Sedangkan untuk media, Dewan Pers, dan aliansi jurnalis, kami meminta kalian untuk menyusun panduan penulisan kasus femisida secara khusus yang berpihak pada korban,” pungkasnya.
Reporter: Andreas Hanchel Parlindungan Sihombing
Penulis: Sidney Alvionita Saputra
Penyunting: Catharina Maida
Fotografer: Catharina Maida