Ujian Akhir Semester sesi kedua di Fakultas Teknik (FT) baru saja usai pada hari Kamis (14-12). Kertas-kertas berisi jawaban sudah ditutup. Dua orang tenaga akademik memungut satu per satu kertas jawaban dari meja. Sedangkan para mahasiswa sudah mulai berbondong-bondong meninggalkan ruang ujian.
Di luar ruangan, mahasiswa-mahasiswa itu menghidupkan ponsel mereka yang harus dimatikan selama ujian berlangsung. Ting! Ponsel mereka berdering. Rupanya salah seorang admin program studi baru saja mengirimkan dokumen elektronik bertajuk “Surat Edaran Dekan Fakultas Teknik UGM tentang Larangan LGBT Di Lingkungan Fakultas Teknik.” Seorang mahasiswa langsung bersorak kegirangan ketika membaca judul surat edaran itu. “Hore! Bagus! Bagus!” serunya sembari tertawa gembira.
Surat edaran itu menyebutkan bahwa FT UGM menolak segala macam aktivitas yang berhubungan dengan penyebarluasan LGBT. Tak hanya itu, mereka juga menodongkan ancaman berupa sanksi maksimal kepada dosen, mahasiswa, maupun tenaga kependidikan yang ketahuan menyebarluaskan dan mendukung LGBT. “Fakultas Teknik UGM menolak dan melarang aktivitas penyebarluasan LGBT karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan norma yang berlaku di Indonesia,” tulis FT di surat edaran itu.
Berdasarkan pemaparan Selo, dekan FT, norma umum menjadi acuan yang digunakan untuk merancang kebijakan ini. Dalam pemahamannya, norma umum di Indonesia hanya mengakui dua jenis gender. Selo tidak mengakui keberadaan gender selain laki-laki dan perempuan dengan mengambil jenis-jenis toilet yang ada di UGM sebagai contoh. “Misalnya, di lingkungan UGM kan tidak ada toilet gender netral ya. Itu norma umumnya begitu,” ujarnya.
Namun, alasan Selo ditentang oleh Andreas Harsono, peneliti di Human Rights Watch. Di Indonesia, papar Andreas, ada banyak budaya yang tak biner. Andreas menyebutkan Suku Bugis sebagai contoh. Suku Bugis mengenal lima kata untuk seksualitas, yakni makkunrai, oroane, calalai, calabai, dan bissu. Selain itu, Andreas juga menyinggung adanya budaya warok dan gemblak di Jawa. “Semua itu ada di Indonesia. Jadi, norma umum apa yang dia maksud?” ujar Andreas.
Pertentangan lain datang dari Yulida Pangastuti, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM. Yulida menilai perumusan surat edaran larangan LGBT di FT bersifat terlalu disederhanakan. “Tentu saja juga dilatarbelakangi oleh unsur homofobia,” katanya.
Dalam pengamatan Yulida, surat edaran itu juga bersifat diskriminatif. Yulida mengingatkan bahwa hak atas pendidikan bukan sekadar terdaftar sebagai mahasiswa saja. Ia menganggap surat edaran tersebut telah melanggar hak mahasiswa untuk belajar dengan kondisi yang nyaman. “Akses terhadap pendidikan tinggi sudah mahal, kok malah nambah-nambahin layer yang membatasi mahasiswa,” ujar Yulida.
Selain diskriminatif, Yulida menganggap adanya eksploitasi hukuman kuasa dalam surat edaran larangan LGBT di FT. Yulida menggarisbawahi ketidakseimbangan kuasa yang dimanfaatkan oleh pihak dekanat. “Yang mengeluarkan itu kan dekan, seorang pemimpin, dan diberlakukan bagi mahasiswa yang secara power pasti lebih lemah,” jelasnya.
Yulida juga menyoroti pemilihan kata-kata yang tercantum dalam surat edaran. Kata-kata yang dimaksud Yulida adalah butir pertama surat edaran yang berbunyi “menolak dan melarang aktivitas dan penyebarluasan LGBT”. “Bahasa itu mengingatkan saya pada kepemimpinan yang fasis seperti orde baru,” keluh Yulida.
Kendati tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, nyatanya surat edaran ini menegasikan asas lex superior derogate legi inferiori. Menurut Ignatius Loyola, Wakil Direktur HopeHelps 2021-2023, asas tersebut mengisyaratkan bahwa peraturan yang mempunyai derajat lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Ignatius menjelaskan bahwa Permendikbudriset Nomor 30 Tahun 2021 telah mengisyaratkan larangan diskriminasi berbasis gender. “Surat edaran itu dapat dikategorikan sebagai diskriminasi berbasis gender,” lanjutnya. Bagi Ignatius, surat edaran seharusnya tidak dapat memberikan sanksi karena sifatnya hanya pemberitahuan. Ditambah, menurut Ignas surat edaran tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Menanggapi Pancasila sebagai alasan justifikasi untuk melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok LGBT, Diantika Rindam, dosen Fakultas Hukum UGM, menyebutkan bahwa kita kadang melupakan sila kedua, yakni “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Menurut Dian, seharusnya kita tidak meninggalkan tugas kita untuk memanusiakan manusia lainnya. Tugas tersebut, bagi Dian, seharusnya melampaui perbedaan ras, agama, apalagi preferensi seksualitas. “Terkadang kita lupa bahwa sila-sila dalam Pancasila itu tidak berdiri sendiri,” ucap Dian.
Dian pun meresahkan salah satu klausul dalam surat edaran yang menyatakan pelarangan terhadap pemikiran yang mendukung LGBT. Bagi Dian, sanksi hanya dapat diberikan pada tindakan yang konkret. Oleh sebab itu, Dian menyatakan bahwa pemikiran tidak dapat dikenakan sanksi atau hukuman dalam hukum pidana. “Gak ada tuh ceritanya, orang lagi mikir mau nyolong terus ditangkap,” guyon Dian.
Hadirnya surat edaran yang dikeluarkan oleh FT bagi Dian, semakin memperparah kondisi rentan LGBT di lingkungan kampus dan memungkinkan lahirnya tindakan persekusi. Sebab, secara kebijakan saja, mereka sudah ditolak dan didiskriminasi. Dian pun menyayangkan tindakan FT yang tidak berusaha mencari jalan tengah. “Seharusnya kampus bisa mulai memikirkan untuk mengadakan toilet gender netral guna memenuhi kebutuhan atas ruang aman,” harap Dian.
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya UGM mendiskriminasi kelompok LGBT. Ulya Niami, dosen FISIPOL UGM, menguak jejak-jejak perbuatan diskriminatif yang telah diperbuat oleh perguruan tinggi negeri ini. Ia menceritakan tentang diskusi Himpunan Mahasiswa Gay bersama Unit Penelitian Ilmiah yang dibubarkan secara paksa pada tahun 2016. “Di tahun 2016, rektor UGM yang menjabat pada masa itu melarang adanya kegiatan terkait LGBT di kampus,” katanya.
Di penjabarannya, Ulya menduga adanya hegemoni heteronormativitas yang hanya mengakui gender biner, yakni laki-laki dan perempuan. Hegemoni inilah yang mendukung langgengnya praktik diskriminasi terhadap LGBT oleh UGM. Secara jumlah, orang heteroseksual lebih banyak daripada orang dengan orientasi seks homoseksual. “Tindakan diskriminatif terhadap LGBT merupakan buah dari masyarakat yang tunduk pada hegemoni tertentu,” ungkap Ulya.
Reporter: Gabriel Jovan, Reyhan Maulana Adityawan, Sidney Alvionita, dan Michelle Gabriela
Penulis: Sidney Alvionita dan Michelle Gabriela
Penyunting: Catharina Maida
Ilustrator: Nabillah Faisal Azzahra
Tulisan ini telah mengalami proses penyuntingan ulang dengan mempertimbangkan kode etik jurnalistik dan pedoman media siber.
1 komentar
Apakah ini berarti bahwa UGM mendukung praktik LGBT atas nama Hak Asasi?