Pemerintah Indonesia kerap kali mengeluarkan pernyataan keberhasilannya dalam penanganan krisis iklim. Bahkan, dalam World Climate Action Conference of the Parties (COP) ke-28, Presiden Jokowi mengemis dana lingkungan hidup ke negara lain dengan dalih Indonesia sangat andal menangani perubahan iklim. Hal ini berkebalikan dengan fakta di lapangan. Kerap kali, gugatan litigasi perubahan iklim yang diupayakan aktivis lingkungan dan masyarakat terdampak mengalami kegagalan. Di samping itu, litigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh negara, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia, hampir selalu menang. Padahal, tidak ada satu pun restorasi ekologis yang dilakukan KLHK setelah memenangkan gugatan.
Untuk lebih memahami permasalahan ini, pada Jumat (01-12), BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Agung Wardana, dosen Hukum Lingkungan UGM yang mengawal beberapa kasus litigasi perubahan iklim di Indonesia, seperti Warga Celukan Bawang vs PLTU Celukan Bawang dan Warga Pulau Pari vs PT Holcim di Swiss. Proses advokasinya tersebut, ia rangkum dalam artikelnya yang berjudul āGoverning Through Courts? Law and the Political-Economy of Climate Change Litigation in Indonesiaā. Berikut wawancara selengkapnya.
Dalam artikel terbaru Anda, litigasi perubahan iklim dianggap sebagai konsen utama, apa hal yang melandasi ini?
Iya, yang terbaru itu sebenarnya undangan dari temen-temen di Jerman yang berbasis di Berlin yang melihat ada kecenderungan bahwa litigasi perubahan iklim itu didominasi oleh negara-negara global north (GN). Kalau Mas Vigo lihat, sebagian besar litigasi perubahan iklim mayoritas itu di GN, seperti Amerika Serikat (AS), Australia, dan sebagainya.
Lantas pertanyaannya, mengapa mereka yang jauh lebih rentan tidak muncul gerakan yang di mana menggunakan pengadilan sebagai sarana untuk membela hak-hak mereka dan kemudian menuntut negara untuk melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim?
Nah, kemudian temen–temen dari Berlin ini mengundang temen–temen dari global south (GS) untuk menulis kemudian dipublikasikan. Ceritanya sebenarnya, lebih kepada bagaimana sih warga di Indonesia yang terkena dampak perubahan iklim termasuk juga NGO (organisasi nonpemerintahan) yang melihat isu perubahan iklim belum jadi kebijakan publik mainstream di Indonesia.
Nah, kalau kita lihat di tingkat internasional, kenapa litigasi perubahan iklim jadi sebuah strategi enggak bisa dilepaskan dari nature, dari Paris Agreement (PA). Lewat PA, secara prosedural, tiap negara diwajibkan membuat NDC (nationally determined contribution) sebagai bentuk komitmen negara tersebut untuk menurunkan emisi, itu legally binding. Tapi, kalau kita lihat lebih dalam, substansinya itu enggak binding. Karena, tiap negara bisa dengan bebas mendeklarasikan komitmen mereka, mereka mau turunkan berapa [emisinya-red]. Dan di tengah perjalanan, mereka bisa menurunkan.Ā
Jadi, nature dari PA ini enggak kayak Kyoto Protocol yang secara prosedur dan substansi itu legally binding. Padahal Kyoto Protocol pasca-2012, mulai dari 2015, semestinya diperpanjang untuk membuat yang namanya periode kedua (second commitment). Tapi negara-negara maju reluctant (enggan) untuk melanjutkan Kyoto Protocol. Menurut mereka, negara yang tidak masuk ke dalam Annex-1 (negara berkembang) menyumbang sama besarnya dengan negara maju. Misalnya, Cina tidak masuk ke dalam Annex-1, padahal menurut AS harusnya Cina masuk. Australia juga menggunakan argumen yang sama.Ā
Lahirlah kemudian PA, yang meminta semua negara wajib menurunkan emisi. Cuman secara substansi, berapa penurunan emisinya itu tergantung negaranya, berdasarkan hitung-hitungannya sendiri. Nah, Indonesia sebagai salah satu negara yang terikat dengan PA, ia akan menurunkan emisi sebanyak 29% dan dengan bantuan internasional 41%.
Karena isinya tidak binding, yang terjadi adalah terjadi kesenjangan [praktik pengurangan emisi-red] antara komitmen di tingkat internasional dengan realitas pada ranah domestik. Bahkan, kalau kita lihat di NDC Indonesia, tidak ada wajah manusia sama sekali. Jadi, di Indonesia, permasalahan climate change (perubahan iklim) hanya sebatas masalah pelepasan karbon. Tidak ada cerita bahwa manusia terkena dampak dari perubahan iklim. Tidak ada cerita bagaimana pemerintah akan membantu mereka yang terdampak climate change dengan adaptasi atau mitigasi.Ā
Gap ini yang kemudian membuat aktivis dan masyarakat terkena dampak untuk menggunakan pengadilan. Karena selama ini, saat melihat perubahan iklim, kita akan melihat ke eksekutif, karena kebijakan dibuat oleh eksekutif. Nah, melalui litigasi perubahan iklim, yudikatif dipaksa untuk masuk dan memikirkan, karena bagaimanapun, ini permasalahan paling besar yang dialami manusia dalam lingkungan. Dalam banyak kasus, justru banyak optimisme di situ. Contohnya, di Australia, ada penolakan terhadap pertambangan batu bara dengan argumentasi āwrong activity at the wrong timeā. Di Belanda juga banyak, misalnya, Milieudefensie v Royal Dutch Shell.
Nah, ada optimisme-optimisme di situ. Dan dalam konteks Indonesia, ini juga memberikan inspirasi. Mulai dari Samarinda Menggugat, di mana pertambangan batu bara dianggap telah menyebabkan perubahan iklim, masyarakat menderita akibat perubahan iklim itu, dan meminta negara untuk melakukan penataan ulang atas izin pertambangan. Walaupun di tingkat pertama menang, tapi kemudian dianulir di tingkat-tingkat berikutnya. Kemudian, diikuti dengan gugatan-gugatan di konteks PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), udara bersih, dan sebagainya.Ā
Saya kira menarik karena litigasi perubahan iklim dianggap sebagai alat klaim untuk meminta pertanggungjawaban negara. Selama ini kan kalau kita menggugat perusahaan, kita hanya berangkat dari Amdal [analisis mengenai dampak atas lingkungan-red] saja.Ā
Lantas, bagaimana praktik litigasi perubahan iklim ini di Indonesia?
Kalau kita lihat petanya di Indonesia, dari segi aktor, ada dua. Yang pertama, pemerintah atau negara. Pemerintah juga menggunakan argumentasi meminta pertanggungjawaban perdata ataupun pidana dari perusahaan pembakar gambut ataupun pembakar hutan. Di sisi lain, ada aktivis atau masyarakat terdampak, atau NGO juga, menggunakan mekanisme yang sama. Dari dua aktor tersebut, hasilnya apa? Yang menarik adalah, temuan saya, ketika kita bicara aktor penggugatnya adalah negara, pengadilan seperti mengafirmasi klaim-klaim dari penggugat. Ketika penggugatnya negara, pengadilan seperti aktivis.Ā
Di sisi yang lain, ketika yang menggugat adalah masyarakat atau NGO, hasilnya justru memprihatinkan. Di sini, pengadilan bertindak layaknya climate denials. Misalnya di Celukan Bawang, hakim dengan gampang menolak gugatan karena dampaknya belum kelihatan, jadi belum ada legal standing. Padahal, kalau kita lihat dari mekanisme gugatan yang dipakai, yakni Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau gugatan administratif, justru gugatan itu untuk mencegah dampaknya muncul.
Yang kedua, argumentasinya adalah dampak yang disebabkan oleh pembakaran batu bara itu hanya probabilitas dan itu bisa diatasi dengan teknologi. Selain itu, yang ketiga adalah klaim dari penggugat tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah. Padahal, sudah banyak kajian yang menyebutkan salah satu kontributor emisi gas rumah kaca terbesar adalah PLTU.Ā
Bahkan, dalam proses pengadilan, Greenpeace bersama warga mau menghadirkan saksi ahli dari AS; datang khusus untuk menjadi saksi ahli; tapi ketika memberi kesaksian, ditolak oleh hakim. āIni orang asing datang ke Indonesia, memberikan kesaksian, tapi kemudian visanya adalah on arrival, sehingga visanya bisa ditolak karena ia melanggar ketentuan keimigrasian,ā kata hakim. Nah, artinya ketika orang asing ingin memberikan keterangan ahli di Indonesia, karena dia dibayar, maka dia harus punya izin tinggal dan izin bekerja di Indonesia. Jadi, sebenarnya yang gagal membuktikan perubahan iklim bukan penggugat, tapi hakim sendiri karena menolak saksi ahli itu untuk memberikan keterangan ilmiah.
Apakah proses litigasi perubahan iklim mengalami masalah karena instrumen hukumnya sendiri tidak kuat?
Kalau kita lihat, memang ada instrumen, [dan-red] yang dipakai adalah gugatan administratif atau melalui PTUN. Yang dijadikan objek adalah izin lingkungan. Tapi, selain mekanisme administrasi, ada juga gugatan perubahan iklim melalui perbuatan melawan hukum (PMH) atau melalui gugatan perdata. Misal Samarinda Menggugat, kebakaran hutan di Palangkaraya, atau udara bersih di Jakarta, karena dia class action, yang digunakan adalah Pasal 1365 KUHPerdata. Kalau kita lihat, ada hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.Ā
Artinya, dalam konteks perubahan iklim, kita harus bisa membuktikan kita mengalami kerugian dan kerugian itu disebabkan oleh [pihak-red] tergugat. Ini kemudian yang sangat menantang. Bagaimana mengaitkan tindakan tergugat dengan perubahan iklim? Misalnya begini, bagaimana kita membangun hubungan [ketika-red] Samarinda mengalami banjir itu disebabkan oleh pemerintah yang tidak menertibkan izin pertambangan batu bara? Jadi, kan agak panjang ceritanya untuk membangun hubungan kausalitas itu.
Pertama, kita harus membuktikan kewenangan mengeluarkan izin pertambangan itu memang dikeluarkan oleh pemerintah. Dan kemudian, pemerintah harus mengawasi izin pertambangan yang ia berikan itu. Dan, praktik-praktik pertambangan batu bara harus tunduk pada good mining practices. Kalau ini tidak dilakukan negara, maka praktik pertambangan bisa merusak lingkungan dan kemudian menimbulkan banjir.Ā
Ini cara membangun narasi dan kemudian sering di-counter. Karena nature dari perubahan iklim skalanya itu global dan dia sifatnya kumulatif. Jadi, kemudian yang mengemisi gas rumah kaca enggak cuman perusahaan batu bara, tapi bisa pabrik yang ada di Karawang, pabrik yang ada di luar negeri, dan lain-lain.
Ini yang agak sulit untuk di-capture menggunakan PMH yang terdapat di KUHPerdata. Harus jelas ada perbuatan, dampak, dan kausalitas. Belum lagi, kalau kita bicara kerugian warga, apakah memang dampak dari perubahan iklim atau dari adanya gorong-gorong di pemukiman mereka? Atau [malah-red], disebabkan oleh rusaknya kawasan hulu di pertambangan?
Apakah memang Undang-Undang (UU) yang dipakai di Indonesia tidak mendukung aktivis atau masyarakat terdampak masalah lingkungan?
Kalau itu, saya sorry agak skeptis, Mas. Berangkat dari kenyataan litigasi, iklim yang diajukan masyarakat dan aktivis itu sering kali gagal. Terutama, instrumen hukum [yang-red] belum memiliki visi menyelesaikan masalah lingkungan.Ā
Contoh konkretnya, Amdal kita hari ini yang merupakan instrumen saintifik, tidak mewajibkan proyek untuk melakukan analisis perubahan iklim. Yang ada, Amdal kita hanya didesain sangat sempit dan sangat teknokratik. Tidak ada yang spesifik mengatakan bahwa analisis lingkungan itu juga harus mempertimbangkan dampak perubahan iklim. Karena tidak ada kewajiban, penyusun Amdal juga tidak pernah mempertimbangkan perubahan iklim.
Kalau Mas Vigo ngikutin kasus Suku Awyu di Papua yang menggugat perkebunan kelapa sawit yang masuk ke ulayat mereka, Suku Awyu menggugat bahwa pembukaan perkebunan ini akan melepaskan emisi gas rumah kaca. Gugatan warga ditolak karena tidak ada kewajiban bagi proyek untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim.Ā
Yang menarik itu di Tanjung Jati. Itu digugat oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat dan kawan-kawan karena PLTU ini dianggap akan berkontribusi besar terhadap pelepasan emisi gas rumah kaca. Walaupun di Amdal tidak ada kewajiban untuk memperhatikan dampak gas rumah kaca, hakim justru mengafirmasi argumentasi dari para penggugat bahwa sudah saatnya Amdal di Indonesia memasukkan analisis dampak perubahan iklim. Karena itu bagian dari upaya memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan juga merupakan tanggung jawab negara
Pengadilan setuju dengan argumentasi itu dan mengatakan bahwa izin lingkungan dari PLTU itu ditolak karena Amdal-nya tidak memasukkan isu perubahan iklim untuk mengatakan izin lingkungan itu tidak valid. Hal ini kan berimplikasi ke komitmen internasional di tingkat internasional.Ā
Yang selama ini terjadi adalah Indonesia memberikan komitmen di tingkat internasional, tapi perusahaan yang anti–climate terus diberikan izin. Jangan-jangan, klaim Indonesia yang bisa menurunkan emisi tidak didukung dengan data yang valid.
Negara-negara di GN berkontribusi lebih besar terhadap perubahan iklim. Kalau kita melihat masalah yang lebih besar, seharusnya kita menuntut ada perubahan paradigma hukum internasional. Di samping itu, pemerintah kita juga sudah terlalu banyak membangun. Jadi, apa yang harus kita lakukan?
Kalau kita bicara perubahan iklim, perubahan iklim kan narasi yang totalizing bahwa betul dampak perubahan iklim dirasakan di semua pelosok. Tapi, kita juga mesti hati-hati karena kalau kita bermain atau menggunakan narasi perubahan iklim ini mungkin saja kita berpihak pada kubu yang salah.
Siapa yang paling diuntungkan dari narasi perubahan iklim ini? Yang paling diuntungkan adalah pengambil kebijakan di level lokal. Mereka, melalui diskursus perubahan iklim, memberikan ruang bagi mereka untuk lepas tangan terkait pembangunan atau proses pembangunan yang terjadi di level lokal.
Misalnya, banjir besar di Kalimantan. Kata gubernurnya, āIni dampak perubahan iklim.ā Atau di Jakarta, āIni dampak perubahan iklimā. Di Semarang juga, āIni dampak perubahan iklim.ā Padahal, kalau kita cek, misalnya, penyebab banjir utama di Jakarta atau di Semarang itu karena land subsidence [penurunan muka tanah-red] yang disebabkan oleh pengambilan air tanah yang berlebihan. Jadi, tidak semata-mata bisa dihubungkan dengan perubahan iklim di tingkat global.
Nah, litigasi perubahan iklim membantu kita untuk menghubungkan dampak dari perubahan lingkungan global dengan praktik-praktik pembangunan lokal. Karena, di Indonesia, litigasi perubahan iklim kan mempertanyakan praktik-praktik perubahan lingkungan itu. Jadi, litigasi perubahan iklim tidak saja menjadikan perubahan iklim sebagai klaim untuk membuat pemerintah mengubah kebijakan, tetapi juga menunjukkan bagaimana pemerintah memperparah kemampuan warga untuk beradaptasi. Ini harus disambungkan. Kalau tidak, kita hanya berbicara tentang aspek globalnya.Ā
Dan yang kadang menjadi salah, misalnya temen–temen Greenpeace, ketika melihat kawasan laut Utara di Jawa Tengah [dan menyatakan-red] bahwa ini hanya dampak perubahan iklim, [yang-red] membuat pemerintahnya menjadi senang karena mereka merasa ini bukan salah mereka. Ketika kerentanan lokal bertemu dengan dampak global, yang terjadi adalah dampak yang semakin besar.Ā
Yang menarik dari sini juga, ada kasus unik [saat-red] saya sedang melakukan penelitian di Pulau Pari. Ada empat warga yang mengajukan gugatan melawan PT Holcim di Swiss karena ceritanya bahwa Pulau Pari ini adalah pulau kecil. Akibat keberadaan [PT-red] Holcim, kawasan Pulau Pari ini mengalami penggerusan. Mulailah mereka bersama teman-teman pendamping mencari siapa yang harus dijadikan tergugat. Karena dalam litigasi perubahan iklim, sering kali perhatian kita tertuju pada perusahaan fossil fuel sebagai carbon major.Ā
Melalui litigasi yang dilakukan Pulau Pari ini, mereka melihat bukan perusahaan minyak, tapi perusahaan semen. Oleh karena itu, perusahaan semen juga harus dibawa ke spotlight. Mereka gugat [PT-red] Holcim sebagai perusahaan semen terbesar di dunia dan bermarkas di Swiss. Yang menarik dari gugatan ini adalah mereka lompat skala. Dampak perubahan iklim yang mereka rasakan semestinya mereka gugat pemerintah. Toh, menurut mereka, justru pemerintah adalah bagian dari masalah. Sudah banyak upaya meminta pertanggungjawaban pemerintah, tapi justru mental. Negara tidak memberikan upaya-upaya yang dibutuhkan warga.Ā
Di diskusi perubahan iklim, Indonesia selalu bicara bahwa Indonesia memiliki tutupan hutan yang luas atau blue carbon. Tujuannya apa? Untuk mengatakan kepada komunitas internasional, āEh kami butuh uangmu, sehingga kami bisa menjaga hutan dan mangrove kami agar bisa menyerap emisi karbon.ā Bahkan, hari ini di COP 28, narasi itu masih berulang. Indonesia, di tingkat internasional, justru mencari dana iklim internasional dengan dalih mereka akan memelihara hutan dan mangrove-nya.
Dan banyak program-program seperti REDD+, yang di mana baik melalui mekanisme bilateral ataupun multilateral, memberi akses pendanaan yang banyak bagi Indonesia. Banyak dana yang masuk, bahkan Indonesia sudah membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.Ā
Dengan adanya litigasi perubahan iklim dari Pulau Pari ini, justru menunjukkan kebiasaan Indonesia meminta dana di internasional, [yang-red] justru enggak nyambung dengan kenyataan yang ada di Indonesia. Pulau Pari yang jaraknya enggak jauh dari Jakarta bahkan enggak ada perhatian sama sekali untuk menyelamatkan mereka yang [terancam-red] tenggelam. Di Kepulauan Seribu, sudah ada enam pulau yang tenggelam. Justru dengan menggugat di internasional, mereka mau menunjukkan bahwa yang dilakukan pemerintah Indonesia itu tidak nyambung. Selain itu juga, tuntutan warga [juga terjadi dengan-red] meminta kompensasi dari [PT-red] Holcim. Pilar litigasi perubahan iklim itu ada: adaptasi, mitigasi, dan loss and damage.Ā
Di adaptasi ada, ada kasus-kasus soal itu. Nah, litigasi di Pulau Pari memasukkan konteks loss and damage ini, bahwa di Pulau Pari sudah merasakan perubahan iklim dan merasakan kehilangan, seperti ikan [dan-red] pekerjaan yang layak. Itu menarik, karena sedikit dari litigasi perubahan iklim yang memasukkan konteks loss and damage.Ā
Apakah hukum sendiri sudah menjadi penyakit norma di Indonesia?Ā
Kalau itu kita bicara filsafat hukum ya. Apakah hukum lingkungan sudah sedemikian bobrok sehingga tidak bisa menjadi sarana mengatasi permasalahan lingkungan? Mungkin, kita musti berangkat dari proposisi ini. Kalau dalam konteks ini, saya setuju dengan Marx bahwa āsocial norm in society is the norm of the ruling elitesā. Oleh karena itu, apa yang diatur [dan-red] apa yang tidak diatur akan sangat tergantung terhadap kepentingan dari ruling elites itu. Hukum lingkungan di Indonesia itu tidak bisa dilepaskan dari konteks perkembangan ekonomi. Betul, di era Kolonial ada hukum lingkungan, tapi kebijakan konservasi yang dibentuk oleh kolonial itu menggunakan perspektif instrumentalis. Mereka menjaga agar ada yang bisa dieksploitasi kemudian.
Hukum Indonesia juga bergerak pada paradigma yang sama, ketika tahun 1982 misalnya. Indonesia [saat itu-red] membuat UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, itu perspektifnya untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi itu sesuai dengan agenda internasional. Karena pada saat itu, Indonesia ingin menarik investasi dari luar. Investasi itu masuk tentu saja mereka mensyaratkan ada safeguard lingkungan. Karena pada 1980 melalui Pertemuan Montenegro, negara-negara diminta untuk mengembangkan hukum lingkungannya, untuk memberikan sinyal kepada dunia internasional bahwa, āKami juga concern ke isu lingkunganā. Jadi, ya semacam lip service aja.Ā
Yang kedua, hukum lingkungan itu dibuat untuk menguatkan birokrasi saja. Karena dengan dalih lingkungan, birokrasi itu menjadi sangat kuat untuk menolak atau mempermudah investasi. Jadi ya tujuannya memperkuat birokrasi ketika berhadapan dengan market. Karena, melalui hukum lingkungan, intervensi market itu dimungkinkan.Ā
Nah, UU hukum lingkungan selalu mencoba untuk memberikan jalan yang clear and clean bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Oleh sebab itu, paradigma hukum lingkungan di Indonesia masih saja paradigma pembangunan. Jadi, ada hukum lingkungan tapi safeguard-nya dibuat sangat fleksibel.Ā
Jadi, karena hukum lingkungan memiliki posisi penting dalam konteks Indonesia, maka hukum lingkungan itu akan selalu menjadi perebutan. Jadi, siapa yang memiliki akses terhadap hukum lingkungan ini, ya kelompok dominan, baik yang ada di DPR ataupun menggunakan kedekatan dia dengan birokrasi.
Misalnya di Omnibus Law. Alih-alih menghukum mereka yang mencaplok kawasan hutan secara ilegal, mereka justru diputihkan dengan dalih mereka telah berinvestasi dan berkontribusi bagi pembukaan lapangan pekerjaan. Jadi, penggunaan kawasan hutan itu diperbolehkan agar mereka mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan.Ā
Nah, ini yang kita sebut sebagai regulatory capture. Hukum lingkungan ini akan sangat penting bagi korporasi, tapi kemudian standarnya berbasis pada kemampuan dari market. Itu yang saya pikir jadi akar permasalahan kita.Ā
Penulis: Vigo Joshua
Penyunting: Fahrul Muharman
Ilustrator: Parama Bisatya