“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Begitu bunyi UUD 1945 Pasal 33 ayat 3. Sayangnya, hari-hari ini, pasal tersebut hanya bekerja pada frasa “dikuasai oleh negara”, “kemakmuran rakyat” hanyalah mitos.
Sepanjang umur berdirinya Indonesia, “upaya” mempertahankan lingkungan hidup di negara ini hanya menjadi dalih dari ekspansi dan eksploitasi lingkungan. Kita tidak perlu repot-repot membuka catatan tentang hutan mana “yang rusak” atau laut mana “yang tak lagi ber-ikan” untuk membuktikan Indonesia mengalami krisis iklim (Walhi 2023). Sejatinya, terik panas matahari yang menusuk kulit dan rasa mendidih sepanjang hari sudah memberikan jawabannya. Syahdan, cukong-cukong dan para politisi kompak menawarkan solusi ekonomi hijau seraya mereka mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari ekspansi usaha ataupun eksploitasi lingkungan hidup.
Para cukong dan politisi ini tentunya tidak bekerja sendiri. Lengan keadilan hingga tonggak konstitusi dipreteli satu per satu untuk melanggengkan laku kapitalisasi lingkungan hari ini. Laku kapitalisasi lingkungan ini dapat dilihat mulai dari komitmen di tingkat internasional, yang memberikan ruang bagi sikap diskresi atas kebijakan perlindungan lingkungan, hingga praktik peradilan yang menguntungkan para perusak lingkungan. Namun, ketika lingkungan betul-betul rusak, klaim-klaim serampangan tentang keberhasilan pemerintah Indonesia memulihkan dan melindungi terus-menerus diulang (Wardana 2023).
Pada pidato kenegaraannya dalam Conference of the Parties 28 di Dubai, Jokowi menyatakan bahwa negara-negara di dunia seharusnya tidak hanya meningkatkan ambisi, tetapi juga implementasi penanggulangan krisis iklim. Ia juga menambahkan bahwa Indonesia telah berhasil merehabilitasi 3 juta hektare lahan terdegradasi dan 3 juta hektare lahan gambut. Selanjutnya, Jokowi juga menambahkan bahwa deforestasi Indonesia berkurang 75 persen, terendah dalam 20 tahun terakhir. Menurut Jokowi, upaya penurunan angka deforestasi ini sejalan dengan ambisi mencapai net carbon sink atau penyerapan karbon bersih sektor kehutanan dan lahan di tahun 2030.
Klaim tersebut berseberangan dengan paparan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Menurutnya, “Memaksa Indonesia untuk zero deforestation di 2030 jelas tidak tepat dan tidak adil.” Klaim ini ia lontarkan lantaran, menurutnya, pembangunan di era Jokowi sudah direncanakan secara masif dan, tentunya, tidak bisa ditunda hanya atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi. Oleh karena itu, pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.
Pemerintah Indonesia adalah Wali Lingkungan
Selain klaim dan kebijakan internasional, yang tentunya tidak mewakili warga negara terdampak masalah lingkungan, pemerintah Indonesia juga kerap kali mengajukan gugatan atas kerusakan lingkungan hidup. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah meningkatkan hak gugat pemerintah atas kerusakan lingkungan. Hampir semua gugatan tersebut dimenangkan oleh Menteri LHK.
Pada tahun 2019, tercatat Kementerian LHK telah mengajukan sebanyak 26 gugatan perdata atas kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan. Setidaknya ada 11 gugatan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah). Jumlah ganti rugi yang harus dipenuhi tergugat dalam 11 kasus itu mencapai 19,4 triliun rupiah. Nilai tersebut merupakan nilai putusan perdata terbesar dalam sejarah Indonesia (Jonaidi dan Wibisana 2020).
Hak gugat pemerintah ini didasari oleh beberapa undang-undang perlindungan lingkungan hidup. Gugatan pemerintah atas pencemaran lingkungan telah diatur sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU KPPLH). Pengaturan tersebut dipertegas kembali dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH). Terakhir, hak gugat pemerintah dimuat dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Dasar yuridis hak gugat pemerintah atas kerugian lingkungan di Indonesia: Pertama, Pasal 20 ayat (3) UU KPPLH menentukan bahwa, “Barangsiapa merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup memikul tanggung jawab membayar biaya-biaya pemulihan lingkungan hidup kepada negara.” Kedua Pasal 37 ayat (2) UU PLH menyatakan bahwa, “Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.” Ketiga, Pasal 90 ayat (1) UU PPLH yang berbunyi, “Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.”
Hak Gugat yang Hanya Menguntungkan Pemerintah
Hak gugat pemerintah atas kerusakan lingkungan hidup didasari oleh dua landasan doktriner, yakni (1) doktrin negara mengalami “kerugian negara” dan “kerugian lingkungan”, lalu dipertebal dengan (2) doktrin inanimated object atau doktrin yang menyatakan lingkungan sebagai benda mati dan tak bisa menentukan nasibnya sendiri. Kedua doktrin ini berjalan lunglai bersamaan dengan paradigma antroposentris Pemerintah Indonesia (Jonaidi dan Wibisana 2020; Wardana 2023)
Doktrin pertama tentunya bermasalah karena asumsi bahwa seluruh tempat yang tidak dimiliki privat tidak berarti itu milik pemerintah. Seturut dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, “Negara bukanlah pemilik sumber daya yang bukan milik privat (sungai, hutan lindung, pantai, laut, hewan-hewan di alam liar), melainkan masyarakat Indonesia secara kolektif memilikinya.” Selain itu, dalil “dikuasai oleh negara” dari Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang digunakan pemerintah tidak dapat dimaknai sebagai bukti bahwa pemerintah mempunyai hak kepemilikan atas lingkungan yang bukan milik privat. Oleh karena itu, pembayaran ganti rugi terhadap negara tidaklah sepenuhnya valid (Jonaidi dan Wibisana 2020).
Doktrin kedua juga tak kalah bermasalah. Doktrin ini memosisikan pemerintah Indonesia, dalam gugatan lingkungan hidup, menjadi “wali” lingkungan sebagai suatu subjek hukum. Konsep tersebut diadopsi dari doktrin inanimated theory yang dikenal dalam hukum lingkungan. Dalam hal ini, lingkungan hidup dianggap sebagai subjek hukum yang tidak berjiwa/tidak bernyawa sehingga perlu ditunjuk wali yang dapat bertindak untuk melindungi dan mempertahankan hak-hak dan kepentingan hukumnya secara nyata (Epifanova, Romanenko, dan Shatkovskaya 2019; Jonaidi dan Wibisana 2020).
Kedua doktrin ini disusun, secara sistematis, untuk memenuhi kebutuhan langkah kebijakan lanjutan, bukan untuk melindungi lingkungan. Ambil contoh hukum lingkungan yang disusun oleh pemerintahan Soeharto yang termaktub dalam UU No. 4 Tahun 1982. UU tersebut disusun dengan tujuan memenuhi imbauan internasional yang bersumber agar negara-negara di seluruh dunia segera membentuk kebijakan tentang lingkungan. Implikasinya, eksistensi kebijakan lingkungan betul-betul membuat deras keran investasi asing di Indonesia pada era Soeharto (Ariani 2018; Walhi 2023).
Sama halnya dengan komitmen pemerintah Indonesia hari ini. Kewenangan pemerintah untuk menangani perubahan iklim berimplikasi penerimaan dana lingkungan hidup dari berbagai negara, seperti Norwegia yang memberikan 156 Juta USD melalui COP 28 dan dana sebesar 103,65 juta dolar dari AS melalui Global Environment Facility. Tak tanggung-tanggung, pemerintahan Jokowi menyatakan bahwa Indonesia mampu menurunkan ± 20% emisinya dan dengan bantuan dana global Indonesia berkomitmen menurunkan sampai ± 40%. Namun, dana tersebut masih tidak cukup. “Indonesia butuh investasi lebih dari US$1 triliun, untuk (mencapai) net zero emission 2060,” kata Jokowi.
Wali Lingkungan dan Rapor Merahnya
Keterlibatan pemerintah Indonesia, dalam pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup, melalui instrumen hukum dan penguatan institusi kelingkungan di Indonesia masih jauh panggang dari api. Dari 11 gugatan tentang lingkungan yang diajukan pemerintah, belum ada tindakan pemulihan apa pun yang dilaksanakan. Hal ini disebabkan ganti rugi yang harus dibayarkan oleh tergugat, disalurkan langsung kepada kas negara. Ahli penghitungan kerugian lingkungan hidup pemerintah, Bambang Hero Saharjo, menyebut bahwa uang ganti rugi atas kerugian ekologis dan ekonomis adalah hak negara. Menurutnya,“Karena kerusakan terjadi di atas lahan milik negara sehingga tepat jika dua komponen kerugian tersebut masuk sebagai penerimaan ke kas negara” (Jonaidi dan Wibisana 2021)
Hal ini didasari dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Dalam Permen LHK tersebut, yang disusun secara diskresi oleh Kementerian LHK sendiri, kerugian ekologis adalah kerugian negara karena hilangnya komponen ekosistem yang hilang atau musnah. Semua kerugian tersebut harus disetor ke negara dan tidak kembali ke lingkungan yang rusak (Jonaidi dan Wibisana 2021).
Masalah-masalah di ataslah yang menimbulkan penanganan kerusakan lingkungan terus-menerus mengalami kemandekan. Pemerintah Indonesia, secara sadar, menciptakan proses berbelit untuk menangani permasalahan lingkungan di Indonesia. Dengan mendalilkan birokrasi (baca: bureaucratic rationality) sebagai dasar pembentukan kebijakan, cukong dan politisi perusak lingkungan bebas melenggang atas kehancuran yang diperbuatnya. Tak heran jika kebijakan penanaman modal asing era Soeharto hingga pidato memohon pendanaan lingkungan dari asing oleh Jokowi terus-menerus dilakukan (Fiorino 2006; Wibisana, 2017)
Lebih parah lagi, Para cukong dan politisi itu akan selalu aman. Hukum yang seharusnya bisa menjerat kejahatan mereka, berbalik menyediakan sajian baru lingkungan “yang bisa dieksploitasi”. Saat ini, mainan hukum lingkungan baru sudah diciptakan bagi para cukong dan politisi itu. Hukum itu adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cilaka). Dengan adanya UU Cilaka, UU PPLH juga mengalami pelemahan (FH UGM 2020). Melalui UU Cilaka, pertanggungjawaban terhadap lingkungan hidup bukanlah hal penting. UU Omnibus (baca: aturan percepatan kapitalisasi) ini yang diklaim Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, sangat bermanfaat bagi rakyat itu sejatinya problematik bagi lingkungan yang dihidupi rakyat dan tentunya bagi rakyat itu sendiri.
Dalam UU Cilaka, sejumlah persoalan lingkungan hidup patut mendapat perhatian Salah satu permasalahan utama adalah ditinggalkannya prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang sebelumnya menjadi pedoman utama dalam pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan hidup. Dalam konteks yang berubah ini, istilah “izin lingkungan” diganti dengan “persetujuan lingkungan hidup”, tetapi konsep persetujuan lingkungan hidup belum dijelaskan secara jelas bahkan tata cara administrasi pengurusan izin ini juga dihilangkan (FH UGM 2020).
Selain itu masalah lainnya juga muncul dari konsep izin berbasis risiko. Konsep izin berbasis risiko dimasukkan dalam UU Cilaka tanpa memberikan penjelasan rinci dan detail bagian mana saja yang diatur. Kemudian, definisi tanggung jawab mutlak (strict liability) terhadap lingkungan untuk perusahaan mengalami perubahan yang dapat mengurangi akses masyarakat terhadap keadilan. Lebih-lebih, akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan menjadi terbatas. Misalnya, dalam penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), cakupan masyarakat di UU Cilaka dibatasi hanya pada “masyarakat yang terdampak langsung,” sementara kelompok eksternal, seperti perguruan tinggi dan organisasi nonpemerintahan yang turut berkepentingan terhadap lingkungan, dihapuskan dari proses ini (FH UGM 2020).
Intervensi pemerintahan dalam kontrol lingkungan sudah betul-betul berlebihan. Tidak adanya pengawasan terhadap pemerintah, pelemahan masyarakat sipil, hingga sistem hukum yang terus-menerus dipreteli mensyaratkan perlunya perubahan. Walaupun tampak muskil, satu hal yang bisa dicoba adalah berhenti percaya pada pemerintah. Seperti yang dikatakan oleh Garret Hardin (2003), “If men were angels, no Government would be necessary. That is, if all men were angels. But in a world in which all resources are limited, a single nonangel in the commons spoils the environment for all.”
Penulis: Vigo Joshua
Penyunting: Albertus Arioseto
Ilustrator: Rizky Aisyah
Daftar Pustaka
antaranews.com. 2023. “Indonesia raih dana lingkungan 103,65 juta dolar AS.” Antara News. 16 Januari 2023. https://www.antaranews.com/berita/3351891/indonesia-raih-dana-lingkungan-10365-juta-dolar-as.
Ariani, Deniza. 2018. “The effectiveness of climate change litigation as a venue to uphold state climate change obligations in Indonesia.” Indonesian J. Int’l L. 16: 210.
“Di COP28, Jokowi Akui Indonesia Butuh Investasi Lebih dari US$1 Triliun untuk Capai Nol Emisi Karbon.” t.t. Diakses 13 Desember 2023. https://www.voaindonesia.com/a/di-cop28-jokowi-akui-indonesia-butuh-investasi-lebih-dari-us-1-triliun-untuk-capai-nol-emisi-karbon/7381488.html.
Epifanova, TV, NG Romanenko, dan TV Shatkovskaya. 2019. “Plants as objects of civil law.” Dalam IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 392:012065. IOP Publishing.
Fiorino, Daniel J. 2006. The new environmental regulation. Cambridge, Mass: MIT Press.
“Gallery Dokumentasi – JDIH KLHK.” t.t. Diakses 13 Desember 2023. https://jdih.menlhk.go.id/new2/home/portfolioDetails/7/2014/9.
Jonaidi, Dona Pratama, dan Andri G Wibisana. 2020. “Landasan Doktriner Hak Gugat Pemerintah Terhadap Kerugian Lingkungan Hidup Di Indonesia.” Jurnal Bina Mulia Hukum 5 (1): 156–75.
Jonaidi, Dona, dan Andri Wibisana. 2021. “KONSEP GUGATAN PEMERINTAH ATAS PENCEMARAN LINGKUNGAN: KOMPARASI ANTARA INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT.” Arena Hukum 14 (2): 268–92. https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2021.01402.4.
“Menteri LHK: FoLU Net Carbon Sink Tidak Sama dengan Zero Deforestation.” t.t. Diakses 13 Desember 2023. https://mediaindonesia.com/humaniora/444344/menteri-lhk-folu-net-carbon-sink-tidak-sama-dengan-zero-deforestation.
“Omnibus Law: ‘Kalau menunggu semua setuju, kita tidak akan pernah membuat UU’, kata Mahfud MD dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia – BBC News Indonesia.” t.t. Diakses 13 Desember 2023. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52279090.
Secunda, Seravin. 2023. “Keblinger Kapitalisme Hijau.” Balairungpress (blog). 19 September 2023. https://www.balairungpress.com/2023/09/keblinger-kapitalisme-hijau/.
Sutrisno, Elvan Dany. t.t. “Leading By Example, Ini Upaya Indonesia Ajak Dunia Jaga Lingkungan.” detiknews. Diakses 13 Desember 2023. https://news.detik.com/berita/d-7062219/leading-by-example-ini-upaya-indonesia-ajak-dunia-jaga-lingkungan.
“UU No. 4 Tahun 1982.” t.t. Database Peraturan | JDIH BPK. Diakses 13 Desember 2023. http://peraturan.bpk.go.id/Details/46998/uu-no-4-tahun-1982.
“UU No. 6 Tahun 2023.” t.t. Database Peraturan | JDIH BPK. Diakses 13 Desember 2023. http://peraturan.bpk.go.id/Details/246523/uu-no-6-tahun-2023.
“UU No. 23 Tahun 1997.” t.t. Database Peraturan | JDIH BPK. Diakses 13 Desember 2023. http://peraturan.bpk.go.id/Details/46018/uu-no-23-tahun-1997.
“UU No. 32 Tahun 2009.” t.t. Database Peraturan | JDIH BPK. Diakses 13 Desember 2023. http://peraturan.bpk.go.id/Details/38771/uu-no-32-tahun-2009.
Wardana, Agung. 2023a. “A quest for agency in the Anthropocene: Law and environmental movements in Southeast Asia.” Review of European, Comparative & International Environmental Law 32 (1): 57–66.
⸻. 2023b. “Governing Through Courts? Law and the Political-Economy of Climate Change Litigation in Indonesia.” VRÜ Verfassung und Recht in Übersee 56 (2): 351–70.
Wibisana, Andri G. 2017. “Campur Tangan Pemerintah dalam Pengelolaan Lingkungan: Sebuah Penelusuran Teoretis Berdasarkan Analisis Ekonomi atas Hukum (Economic Analysis of Law).” Jurnal Hukum & Pembangunan 47 (2): 151–82.
WIT. t.t. “Program Pertumbuhan Ekonomi Hijau (Green Growth Program) Mendukung Indonesia Dalam Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Yang Dapat Mengurangi Kemiskinan Serta Memastikan Inklusi Sosial, Kelestarian Lingkungan Dan Efisiensi Sumber Daya.” Green Growth. Diakses 13 Desember 2023. http://greengrowth.bappenas.go.id/.