Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang melindungi pekerja dari diskriminasi dan kerentanan masih menjadi sebuah barang langka bagi para pekerja informal di Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI) mengadakan diskusi bertajuk “Diskusi Diskriminasi di Dunia Kerja: Dari KTP Asli Jogja Sampai Busana” pada Sabtu (25-11). Diskusi ini menghadirkan tiga pembicara, yakni Ikhsan Raharjo, Majelis Pertimbangan SINDIKASI; Mario Prajna Pratama (Tama), perwakilan Transmen Indonesia; serta Luthfi Asep Irfandana, perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Yogyakarta.
Ikhsan menjelaskan bahwa PKB dapat menjadi opsi bagi pekerja lepas industri kreatif dalam menjamin kondisi kerja yang layak. Ia menyebutkan bahwa pembuatan PKB biasanya dilakukan melalui perundingan bersama oleh serikat pekerja dengan pihak perusahaan. Namun, Ikhsan menyayangkan jarangnya pembicaraan mengenai PKB serta serikat pekerja dalam hubungan industri media dan kreatif. “Sektor industri media dan kreatif mempekerjakan pekerja berstatus tetap itu kecil sekali, lebih banyak statusnya pekerja lepas,” ucapnya.
Senada dengan Ikhsan, Tama menilai PKB menjadi penting terutama untuk para pekerja yang teridentifikasi dalam kelompok Orientasi Seksual, Ekspresi dan Identitas Gender, serta Karakteristik Seks (SOGIESC). Ia menyebutkan bahwa teman-teman SOGIESC banyak yang tidak memiliki jaminan sosial serta rentan menerima kekerasan seksual dan perundungan. “Ada prasangka bahwa industri kreatif lebih terbuka sama teman-teman yang punya ekspresi berbeda. Ekspresi iya, tapi bukan berarti di dalamnya enggak ada kekerasan,” ujar Tama.
Lebih lanjut, Ikhsan menjabarkan mengenai masalah-masalah yang dihadapi para pekerja lepas di industri kreatif dan media sehari-hari. Berdasarkan penelitian yang diterbitkan oleh SINDIKASI pada tahun 2021, Ikhsan menyebutkan bahwa para pekerja lepas di industri kreatif dan media cenderung mengalami sebuah kondisi eksploitasi khusus yang disebut sebagai “flexploitaiton”. Menurutnya, eksploitasi tersebut hadir dalam bentuk jam kerja yang sangat panjang, nihilnya jaminan sosial, serta masalah pengupahan. “Ini masalah-masalah yang ditemukan teman-teman SINDIKASI selama tujuh tahun terakhir,” ujar Ikhsan.
Melanjutkan pemaparannya, Ikhsan menyebutkan isu-isu yang tercantum di dalam PKB model SINDIKASI. PKB tersebut telah meliputi jaminan sosial, pengupahan, jam kerja, masalah alat kerja, hak reproduktif, dan juga antidiskriminasi. Ia mengungkapkan bahwa perancangan PKB merupakan hasil diskusi bersama para pekerja informal lintas sektor industri. “Kami bawa ini untuk dikonsultasikan termasuk kepada teman-teman yang punya latar belakang disabilitas, karena di sini juga ada pasal tentang disabilitas,” ungkap Ikhsan.
Terkait PKB, Ikhsan melaporkan bahwa SINDIKASI telah berhasil menyepakati PKB dengan perusahaan media Project Multatuli pada 2022 lalu. Namun, ia menggarisbawahi bahwa PKB yang disepakati dengan Project Multatuli hanya menyoal jaminan sosial dan belum mengenai permasalahan kompleks seperti yang ada pada model PKB sekarang. Ke depannya, Ikhsan membayangkan rancangan PKB yang memuat isu-isu kompleks dapat disepakati oleh asosiasi-asosiasi lain dalam sektor industri kreatif. “Tentunya sektor kita sangat banyak, mungkin tidak akan sama antara PKB sektor tertentu. Tapi yang jelas PKB seperti ini bisa menjadi template awal,” ujar Ikhsan.
Menanggapi adanya PKB, Luthfi menilai PKB sebagai perjanjian kerja yang bisa digunakan oleh para pekerja lepas di industri kreatif dan media. Ia mengonfirmasi bahwa memang perjanjian kerja datang dari serikat pekerja, serikat buruh, dan perusahaan. “Kalau ini [perjanjian kerja-red] memang mau PKB, perlu dibicarakan lebih lanjut lagi dengan unsur pemerintah,” jelas Luthfi. Ia menilai bahwa PKB juga perlu ditinjau dari sudut perundang-undangan yang mengaturnya.
Salah satu peserta diskusi, Dishab, menilai bahwa undang-undang yang mengatur para pekerja lepas di industri kreatif dan media menjadi hambatan untuk berserikat. Salah satunya adalah UU No. 11 tahun 2020 atau UU Cipta Kerja. Dishab melihat bahwa undang-undang yang mengatur serikat pekerja bertolak belakang dengan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. “PKB ini nantinya akan susah untuk digunakan karena berasal dari serikat yang di luar perusahaan,” tuturnya.
Menutup diskusi kali ini, Ikhsan menekankan pentingnya berserikat bagi pekerja lepas di industri kreatif dan media. Ia berharap diskusi ini bisa menjadi langkah awal dalam menciptakan ekosistem kerja yang manusiawi. Ikhsan menyadari bahwa memang banyak inisiatif yang dapat dilakukan dalam mewujudkan tujuan-tujuan tadi, salah satunya adalah serikat pekerja. “Dan ini [serikat kerja-red] adalah kendaraan yang terbuka bagi semua pekerja, karena kita semua setara,” tutupnya.
Penulis: Catharina Maida dan Ester Veny
Penyunting: M. Fahrul Muharman
Ilustrator: Dina Rahayu