“Antrian haji dan umroh membeludak, gereja juga penuh, tapi kemana hati nurani pemimpin kita?” seru Omi Komariah Madjid, istri dari cendekiawan muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur). Ungkapan tersebut ia lontarkan ketika konferensi pers Majelis Permusyawaratan Rembang (MPR) yang dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional yang juga tergabung dalam MPR pada Minggu (12-11). Acara tersebut dilaksanakan secara terbuka dan ditayangkan melalui siaran langsung Youtube. Adapun acara ini merupakan diskusi lanjutan usai para tokoh nasional sowan ke kediaman Achmad Mustofa Bisri (Gus Mus) di Rembang, Jawa Tengah. Pertemuan ini digelar dengan maksud mengungkapkan keprihatinan mereka terhadap kondisi politik di Indonesia.
Goenawan Mohamad, budayawan sekaligus wartawan veteran, meyakini bahwa saat ini kondisi politik Indonesia memang tidak baik-baik saja. Menurutnya, terlalu banyak kebohongan yang diucapkan presiden dan aktor politik Indonesia. Goenawan berpendapat bahwa di zaman sekarang apapun dapat dibeli, termasuk suara, kesetiaan, dan bahkan kedudukan. “Itulah mengapa kepercayaan masyarakat semakin menipis,” tegasnya.
Sepakat dengan Goenawan, Omi pun menyerukan pendapatnya perihal korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang semakin “menggurita” dalam praktik penyelenggaraan negara. Negara yang seharusnya menjadi wadah pengabdian kepada rakyat, justru diselewengkan jauh sebagai ajang KKN. Omi risau melihat nepotisme kekuasaan dipertontonkan seolah-olah itu adalah hal yang wajar. “Kemenangan bukan lagi soal legalitas tetapi soal legitimasi,” ucap Goenawan menambahkan Omi.
Para tokoh MPR lain juga menyinggung mengenai intervensi para tokoh politik dari berbagai lembaga negara yang dinilai akan mengancam demokrasi nasional. Alif Nurlambang selaku koordinator acara memaparkan gambaran situasi demokrasi Indonesia yang terkesan diontang-anting. Kekuasaan terpusat memang dipegang oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Akan tetapi, Majelis Kehormatan MK justru menemukan bukti yang menunjukkan adanya intervensi dari lembaga eksekutif dan yudikatif. “Kita tengah menghadapi satu materi dengan rasa yang berbeda, termasuk materi republik dengan rasa kerajaan,” ujar Alif.
Selanjutnya, Lukman Hakim, mantan Menteri Agama yang juga salah satu tokoh MPR, menilai bahwa penggunaan aparatur negara pada Pemilu 2024 mendatang tidak akan dipercayai oleh masyarakat sebagai pemilu yang jujur dan adil lagi. Kendati demikian, Lukman menganggap perlu dilakukan konfirmasi terlebih dahulu terkait hal tersebut. Jika terkonfirmasi benar, maka harapannya itu bukan merupakan suatu kebijakan institusional. “Netralitas dari aparatur negara tersebut adalah sesuatu yang niscaya,” tambah Lukman.
Alif turut menilai situasi semacam inilah yang akan menjadi ancaman bagi asas jujur dan adil dalam Pemilu 2024 mendatang. Ia menganjurkan agar dilakukan pertemuan-pertemuan untuk memberitahukan kepada masyarakat terkait situasi politik terkini. “Kekecewaan bisa disalurkan melalui saluran-saluran demokratis sehingga sama-sama memperingatkan agar penguasa juga eling (sadar),” ujarnya.
Hakikat budaya sebagai sesuatu yang mengangkat seharusnya dapat menyadarkan dan mengingatkan masyarakat serta seluruh penyelenggara negara untuk kembali kepada moralitas dan nilai luhur dalam berpolitik. Hal tersebut disampaikan oleh Lukman yang menganggap bahwa politik tanpa dilandasi nilai, etika, dan moral hanya akan menjadi alat saling berebut kekuasaan. “Tak hanya perlu digaungkan untuk menggugah kesadaran, namun juga harus diimplementasikan ke dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat,” tegasnya.
Benny Susetyo, pastor sekaligus tokoh lintas agama, turut setuju dengan pendapat Lukman. Ia kembali menekankan bahwa hilangnya keberadaban dalam politik Indonesia akhir-akhir ini sangat membutuhkan kembalinya politik dalam jalan kebudayaan. Benny juga mengimbau masyarakat untuk turut bersama mengawal isu yang ada. “Mengembalikan politik jalan peradaban adalah tanggung jawab semua pihak, termasuk teman-teman media,” tuturnya.
Nong Darol Mahmada, salah satu pendiri Jaringan Islam Liberal, turut menyampaikan amanah Gus Mus pada akhir konferensi. “Semoga kita tidak berhenti untuk terus-menerus mengingatkan, memberikan nasihat, dan memperluas gagasan ini sehingga bisa didengar oleh pemimpin bangsa,” pungkasnya.
Penulis: Felycia Devizca, Fenny Agustin Rahmawati, dan Maylafaizza Nafisha Zifa (Magang)
Penyunting: Titik Nurmalasari
Fotografer: Allief Sony Ramadhan Aktriadi