Turunkan kepala UPT! Turunkan!
Turunkan kepala dinas yang tidak amanah! Turunkan!
Terdengar lantunan lirik oleh Pedagang Kaki Lima Teras Malioboro 2 (PKL TM 2) secara berulang kali saat mendatangi Kantor DPRD Kota Yogyakarta pada Jumat (17-11). Setelah melakukan aksi pada September lalu, PKL TM 2 kembali mengadakan konferensi pers atas masalah validasi yang dilakukan pada Selasa (14-11) lalu. Validasi tersebut berupa penyesuaian data antara nama pemilik lapak yang terdaftar di Unit Pelayanan Teknis (UPT) Kawasan Ca dengan yang berjualan saat ini. Mereka datang untuk meminta keterbukaan dan transparansi dari validasi faktual tersebut.
Di bawah matahari yang cukup terik, Romi, Ketua Paguyuban Tridharma PKL TM 2, mengumpulkan semangat PKL Malioboro untuk menuntut keadilan atas hak lapak mereka. Pukul 13.43 WIB, Romi menyatukan suara PKL Malioboro dan memimpin massa masuk memenuhi pelataran Kantor DPRD Kota Yogyakarta. “Kami datang untuk menuntut bahwa validasi kemarin tidak adil bagi kami,” ucap Romi.
Pukul 13.46 WIB, massa aksi sudah duduk berkumpul di depan pintu Kantor DPRD Yogyakarta dan mulai menyuarakan keluh kesahnya. Pukul 14.04 WIB, Sinta, salah satu pengurus Paguyuban Tridharma PKL TM 2, maju memulai konferensi. Ia memberitakan ketidakpuasan PKL terhadap validasi yang dilakukan oleh Panitia Khusus (Pansus) Pengawasan Relokasi PKL Malioboro. Menurutnya, validasi itu dilakukan secara serampangan. “Kita datang atas keberatan kepada validasi yang awut-awutan, validasi yang tidak transparan, validasi yang ngawur!” ucap Sinta.
Sinta juga menjelaskan bahwa validasi ini merugikan PKL. Ia mengungkapkan bahwa PKL yang mewarisi lapak dari keluarganya dan yang penulisan nama di KTP-nya berbeda tidak tercatat. Sinta menegaskan bahwa validasi ini menyebabkan PKL yang tidak tercatat harus kehilangan hak atas lapaknya. Ia juga menyebutkan bahwa validasi ini malah mencatat lapak-lapak “siluman” yang sebelumnya tidak pernah berdagang di sepanjang Jalan Malioboro dan tiba-tiba mempunyai lapak di TM 2. “Kita harus tetap berjuang, jadi teman-teman (PKL TM 2) jangan pernah takut, nggih,” tutupnya.
Pukul 14.19 WIB, Tim Pansus Pengawasan Relokasi PKL Malioboro akhirnya keluar dari dalam Kantor DPRD Kota Yogyakarta. Upik Supriyati, salah satu pengurus Paguyuban Tridharma, akhirnya mulai membacakan isi dari surat keberatan atas validasi faktual. Ia membacakan tiga poin tuntutan dalam surat tersebut. Pertama, validasi faktual harus dilakukan dengan pencocokan data dari paguyuban pedagang yang sebelumnya berdagang di sepanjang Jalan Malioboro. Kedua, validasi faktual PKL TM harus menambahkan unsur pertanyaan lokasi berjualan sebelumnya, nama paguyuban, dan nomor kelompok. Ketiga, melakukan investigasi, tindak tegas, dan usut tuntas atas lapak yang ditempati oleh orang yang tidak berhak.
Menanggapi surat keberatan ini, Dwi Nur Cahyo, perwakilan Pansus Pengawasan Relokasi PKL Malioboro, angkat suara. Ia memaparkan bahwa Pansus sendiri sudah mengumpulkan data sejumlah 1041 pedagang. Ia juga mengeklaim bahwa sekitar 82% darinya sudah sesuai. Dari angka 1041 itu, Nur Cahyo menyebutkan ada 28 PKL yang meninggal dunia, 55 lapak yang menggunakan surat kuasa, dan 108 yang datanya tidak jelas atau dianggap sebagai “lapak siluman”. “Data yang menurut Anda [PKL TM 2-red] siluman sudah diserahkan kepada kami, sudah dua minggu yang lalu,” jelasnya.
Nur Cahyo juga menjanjikan akan mengadakan validasi ulang pada Jumat pekan depan (24-11). Ia dan Tim Pansus akan melakukan pencocokan data dengan beberapa perwakilan paguyuban. Nur Cahyo meyakinkan bahwa akan ada pengecekan ulang terhadap 108 data yang tidak jelas. “Jika ada lapak siluman lain, silakan dilaporkan kepada kami,” pintanya.
BALAIRUNG melakukan wawancara dengan Upik di akhir konferensi. Upik menyebut bahwa terdapat indikasi premanisme yang mengganggu ketika proses validasi data. Ia menjelaskan bahwa tindakan premanisme tersebut ditujukan kepada PKL Malioboro. Upik bahkan menyebutkan bahwa premanisme ini tidak lagi hanya mengintimidasi, tetapi sudah masuk ke dalam tindakan kekerasan. “Saya sendiri didorong, sampai dagangan di belakang saya ikut terjatuh,” ucapnya.
Fokki Ardiyanto, Ketua Pansus Pengawasan Relokasi PKL Malioboro, turut menanggapi mengenai dugaan adanya premanisme. “Kemarin waktu saya berkunjung, saya tidak ada merasa diintimidasi,” ucapnya. Menurut Fokki, jika memang ada indikasi premanisme ataupun kekerasan, PKL Malioboro bisa melaporkannya kepada pihak yang berwenang selama ada bukti yang kuat.
Tak lupa, Fokki menilai bahwa adanya PKL “siluman” ini karena relokasi yang terburu-buru. Menurutnya, masalah ini membutuhkan pendampingan yang lama karena melibatkan dua institusi pemerintahan, Pemerintah Provinsi Yogyakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta. “Mereka (PKL Malioboro) itu resahkan pemicunya bukan siluman, pemicunya jualan mereka itu nggak laku,” ucapnya.
Upik menilai bahwa jawaban-jawaban yang diberikan oleh Panitia Khusus Pengawasan Relokasi PKL Malioboro hanya sebatas jawaban normatif saja. Ia meninjau bahwa validasi yang dilakukan juga tidak ada persiapan sama sekali, mulai dari surat undangan yang terburu-buru sampai data yang kurang. Upik juga merasa bahwa persoalan ini bukan tentang data saja, melainkan lokasi mereka berjualan dahulu. “Harapannya (kami) bisa kembali ke selasar [sepanjang Jalan Malioboro-red],” tuturnya.
Penulis: Ester Veny
Penyunting: Catharina Maida
Fotografer: Cahya Saputra