Perahu-perahu itu segera berlayar. Jaring-jaring itu segera disebar. Namun, “hantu-hantu” laut telah menunggu di tengah. Tak ada pilihan selain berlabuh atau mengeluh.
Suasana laut Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang begitu panas kala itu. Selain garangnya panas matahari yang tampak abadi di Pantura, emosi Kurnadi juga sedang tinggi-tingginya. Tidak satu-dua kali kapal tongkang pembawa batubara menabrak jaring-jaring ikan miliknya. Padahal, ia sudah memberi “pelampung jaring” sebagai penanda agar jaring itu tidak diterjang. Sudah tak mendapat ikan, jaring-jaring itu robek dan harus dibeli baru.
Hari itu, jaring Kurnadi kembali dihajar kapal tongkang untuk kesekian kalinya. Ia telah mengambil keputusan. Dengan cara apa pun, ia harus bertemu langsung dengan si nahkoda kapal tongkang. “Hari itu, aku coba minta [uang-red] tebusan di tengah laut,” cerita Kurnadi.
Tanpa perlu pikir panjang, ia langsung menghentikan laju kapal tongkang tersebut dengan menabrakkan kapal miliknya. Kedua pelaut itu kemudian saling bertatapan. Suasana hening, menyisakan decit badan kapal yang bergesekan.
Nakhoda kapal tongkang itu lalu meminta bukti atas apa yang Kurnadi perkarakan. “Sebentar, saya coba tarik dahulu jaringnya,” Kurnadi membalas. Selang satu jam, ia berhasil membuktikan gugatannya. Nakhoda kapal tongkang melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri, bahwa jaring-jaring ikan itu telah robek berkat ulahnya.
Kurnadi lalu meminta ganti rugi sebesar lima ratus ribu rupiah. Nominal tersebut ditolak mentah-mentah oleh pihak kapal tongkang. Selepas bernegosiasi setengah mati, ia hanya dapat ganti rugi setengahnya. Kurnadi pulang dengan kecewa, membawa kerugian tanpa membawa ikan. “Kalau dipikir-pikir, itu duluan kita, kan kita duluan yang buang jaring dan kapal tongkang itu baru keluar. Tapi, kalau disalahkan, tidak mau,” keluhnya.
Dikangkang Kapal Tongkang
Setelah beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sluke di pesisir Lasem, Kabupaten Rembang pada 2010, aktivitas mencari ikan tak lagi sama bagi para nelayan. Sebisa mungkin, Kurnadi dan nelayan lain selalu menghindari melaut berdekatan dengan PLTU. “Di deket sana itu, sebenarnya ikannya banyak, tetapi dihindari saja. Takut kalau tersangkut, jadi buang-buang biaya,” ujar Kurnadi.
Apabila sudah musimnya kapal tongkang berdatangan, biasanya Kurnadi hanya bisa mengambil ikan di kawasan yang lebih jauh. Menurutnya, lebih baik solar habis lebih banyak daripada berhadapan dengan kapal-kapal tongkang yang susahnya minta ampun. “Musuh [semacam-red] orang seperti itu kan sulit; kalau tidak punya ‘orang dalam’, susah,” sadarnya.
Perkara kapal tongkang tak berhenti pada persoalan tabrak-menabrak jaring. Ayunan-ayunan ombak laut membuat kapal tongkang ikut tergoyang. Batubara yang dibawa menjadi berjatuhan berulang kali. “Nah, batubara itu punya serpihan yang tajam; kalau jatuh ke laut, ya udah, hancur itu semua jaring jadinya,” ujar Kurnadi. Masuknya batubara juga berpotensi mengancam ekosistem laut dengan senyawa logam berat yang dimilikinya.
Selain memiliki lintasan yang sama, waktu operasional kapal tongkang juga berdempetan dengan aktivitas melaut para nelayan. “Masalahnya, masuknya [kapal tongkang rata-rata-red] malam, sedangkan mayoritas nelayan sini kerjanya malam. Harusnya itu pagi, kalau malam kan ndak tau diri,” ujar Ngatmin. Sebagai ketua kelompok nelayan Pandangan, keluh kesah nelayan atas PLTU nyaring di telinganya.
Bahkan, Ngatmin pernah datang langsung ke PLTU menuntut ganti rugi atas kerusakan jaring nelayan. Tidak hanya satu, total sudah ada tujuh jaring nelayan, termasuk miliknya, yang ia urus. Pengalamannya sama dengan Kurnadi, biaya ganti rugi dengan kerugian sebenarnya tidak serasi. “Jaring itu, satu, harganya lima jutaan. Gantinya, cuma dua jutaan,” ujarnya. Bagi para nelayan, sisa uang yang harus ditombok dari uang mengganti jaring yang rusak begitu besar jika mengukur dengan sistem pendapatan nelayan secara harian.
Kedalaman jaring yang hampir sama dengan kedalaman badan kapal tongkang membuat kejadian penabrakan jaring sering terjadi. “Kedalaman jaring itu cuma 9 meter, kapal tongkang itu kan dalamnya hampir 8 meter. Pasti kena, sudah disenter-senter, juga tetap nekat nabrak,” keluh Ngatmin.
Matinya lampu rambu lalu lintas laut juga menjadi alasan jaring-jaring nelayan kerap tertabrak kapal tongkang. Rambu tersebut menjadi penanda kapal tongkang bersandar. Ngatmin mengeluh, sudah berbulan-bulan lampu rambu warna merah dan kuning mati dan hanya lampu hijau yang masih menyala. “Seharusnya, kalau [lampu rambu lalu lintas laut-red] mati sehari, [seharusnya-red] sudah hidup. Ini sampai satu bulan dua bulan. Ada laporan dulu, baru hidup,” keluhnya.
Namun, di tengah keluh-kesahnya, Ngatmin menyayangkan kesadaran masyarakat area PLTU Sluke tidak seperti di daerah lain. Masyarakat Kabupaten Rembang, menurutnya, terlalu “baik” di tengah kondisi-kondisi yang jelas merampas hak-hak mereka. “PLTU ini dampaknya besar, di [PLTU-red] Jepara saja demo semua. Tapi, orang di sini mungkin pada baik, enggak ada demo,” ujar Ngatmin.
“Ikan-Ikan Modyar Kabeh”
Hanya beberapa meter dari sisi barat PLTU Sluke, berdiri sebuah pos nelayan. Semua orang di sana tampak sibuk. Mulai dari mengecek mesin kapal, mengisi solar, sampai menyiapkan es sebagai pengawet ikan yang berhasil disambar. Matahari yang mulai turun menunjukkan sudah waktunya untuk melaut. Namun, tidak dengan Turmundi. Ia hanya duduk sembari menatap dermaga jetty PLTU.
“Mulai dari sini ke timur sampai pangkalan sana itu karang. Sekarang, sudah ditutup bebatuan, ulam-ulam ‘ikan-ikan’ yang sembunyi di karang sekarang hilang,” ucapnya sambil menunjuk dermaga. Dahulu, area sekitar PLTU Sluke menjadi rumah bagi ikan belanak. Saat ini, wilayah karang tersebut ditimbun bebatuan guna pembuatan dermaga PLTU. Turmundi memperkirakan area karang yang ditutupi bebatuan untuk dermaga oleh PLTU memiliki kedalaman sekitar 8 meter.
Sekarang, Turmundi sudah tidak lagi berlayar. Lautan luas itu sekarang jadi urusan anaknya. Namun, apabila dibandingkan, ia merasa bahwa pekerjaan seorang nelayan dahulu tidak sesusah sekarang. “Belum ada PLTU itu hasilnya masih banyak. Kalau sekarang, ibarat buat makan saja kurang,” ujarnya.
Turmundi tahu betul latar belakang macetnya pendapatan para nelayan di sekitar PLTU Sluke. Pasalnya, untuk mencuci mesin dan menghasilkan uap, PLTU butuh air dalam jumlah besar. Yang jadi nahas, air-air tersebut diambil dari laut melalui mekanisme penyedotan bertekanan tinggi. Semuanya ikut tersedot, dan jelas ikan-ikan juga termasuk.
“Bahkan, setiap angin [muson-red] barat, [saat ada aktivitas mesin-red], masyaallah, tersedot itu ikan berkwintal-kwintal. Malah, berton-ton,” ucap Turmundi. Masalahnya, saat angin muson barat datang, ombak sedang kencang-kencangnya. Nelayan libur melaut karena ombak begitu besar.
Selain penyedotan, limbah PLTU Sluke juga amat merugikan nelayan. Pengalaman ini datang dari Sambel, ketua pos nelayan tempat Turmundi biasa duduk. Air hasil penyedotan, setelah ditampung dan disaring, limbahnya kembali dibuang ke laut. “Lah itu kalau limbahnya dibuang, ikan-ikan kecil pada mati, wes modyar kabeh ‘udah mati semua’,” jelas Sambel.
Ikan-ikan yang masih hidup pun, apabila terkena limbah, sudah turun secara kualitas. “Itu kelihatan, [dari-red] segi rasa udah beda,” ucap Sambel. Yang jadi persoalan, air-air limbah sisa penyaringan itu berwarna putih kecoklatan dan berbusa. Tak jarang, limbah-limbah itu terbawa sampai kawasan sandaran kapal nelayan bila terjadi air pasang.
Dahulunya pun, PLTU Sluke juga belum memiliki tembok penutup gerbang untuk debu batu bara. Debu-debu dari batubara begitu leluasa menghampiri kesana kemari. “Kalau belum ada gerbang itu, rumah-rumah, kaki, sampai baju yang sudah dilipat terkena debu,” ingat Sambel. Penutup gerbang itu baru ada setelah warga berbondong-bondong melayangkan protes. “Sambil bawa bendo (sabit) itu, Mas. Hahaha,” ucapnya mengingat kejadian itu.
Namun, konsolidasi dari nelayan Rembang kian pasang surut layaknya air laut. Contohnya permasalahan tongkang yang kerap didengar juga oleh Sambel. Di daerah PLTU pesisir utara Jawa lain, seperti Tuban dan Jepara, kapal tongkang pembawa batubara tidak bisa parkir langsung begitu saja di dermaga. Ada peraturan sekian mill dari area PLTU. “Kapten tongkangnya sendiri yang bilang, di sini udah paling enak. Bisa langsung dekat sama PLTU,” tutur Sambel.
Langkah Semu Pemensiunan PLTU
Sebagai Manajer Advokasi Masyarakat Pesisir Walhi, Parid begitu akrab dengan keluhan-keluhan Kurnadi, Sambel, dan nelayan lain yang berhadapan dengan PLTU. Dalam pemantauannya, batubara pasti akan selalu merusak, mulai dari hulu sampai hilirnya. “Dari penambangannya sudah menghancurkan sekitarnya. Dalam proses pendistribusiannya itu menghancurkan sungai sampai laut, pun juga menghancurkan ekosistem dan pendapatan nelayan,” terang pria bernama lengkap Parid Ridwanuddin tersebut.
Dalam konteks laut, Parid menekankan pentingnya pengarusutamaan hak nelayan tradisional dibanding proyek-proyek eksploitatif macam aktivitas PLTU. “Wilayah tangkapan nelayan itu tidak boleh dicampuradukkan dengan wilayah lain, seperti wilayah bongkar muat batubara,” jelasnya. Ia menegaskan area tangkapan nelayan adalah area wilayah tangkapan yang harus dilindungi.
“Tidak boleh menjadikan laut itu sebagai ruang terbuka untuk bersaing,” lanjut Parid. Menurutnya, semua termaktub dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Semua regulasi yang mengakomodasi hak nelayan tertera di sana. Konsekuensinya, nelayan-nelayan yang dirugikan seharusnya berhak mendapat ganti rugi dari negara.
Tidak hanya PLTU Sluke, pola-pola aktivitas PLTU yang merentankan masyarakat sekitarnya selalu terjadi di daerah lain. Contohnya saja nelayan di sekitar PLTU Paiton yang melayangkan protes imbas dari turunnya jumlah ikan. Atau, nelayan Desa Sumarejo yang juga bersitegang dengan kapal tongkang pemasok batubara di PLTU Pacitan.
Di samping merentankan kehidupan masyarakat sekitarnya, aktivitas pembangkit listrik berbasis energi fosil seperti PLTU juga menjadi dalang utama dalam peningkatan ekstrem laju pemanasan global. Bahan bakar fosil, seperti batubara dan minyak, menyumbang lebih dari 75 persen emisi gas rumah kaca global dan hampir 90 persen dari seluruh emisi karbon dioksida. Oleh karena itu, menurut Amalya Oktaviani, Manajer Kampanye Trend Asia, pemerintah harus segera memensiunkan PLTU, baik pensiun alami maupun pensiunan dini. “PLTU Sluke menjadi salah satu dari daftar pemensiunan dini menurut Kementerian ESDM,” jelas Amalya.
Musim kemarau yang berkepanjangan menjadi duka tersendiri bagi nelayan. Delapan tahun menjadi nelayan, Kurnadi merasakan kejanggalan. “Wayah ngene ‘musim seperti ini’ biasanya angin kencang dan ombak besar,” ungkapnya. Namun, ia melihat saat ini di laut ombak terlalu kecil. Kondisi ombak yang kecil menyebabkan hasil tangkap ikan Kurnadi minim.
Keresahan yang sama juga dirasakan Turmundi. Kekayaan laut menurutnya sudah berkurang. Ia menunjuk rumah penampungan udang rebon yang sepi, tertutup rapat tanpa ada hasil yang didapat. Turmundi bingung, akhir-akhir ini sudah tidak ada lagi udang rebon. “Biasanya saat musim seperti ini ada rebon-rebon, tapi, ini sama sekali tidak ada,” jelasnya.
Keresahan Kurnadi dan Turmundi merupakan konsekuensi dari masalah lebih besar yang sedang muncul: krisis iklim. Amalya berpendapat, kesulitan semacam ini dipicu oleh masifnya eksploitasi industri ekstraktif dan emisi yang dihasilkan oleh industri energi listrik semacam PLTU. Tidak hanya dilanda cuaca ekstrem, krisis iklim menurutnya akan lebih banyak lagi memicu berbagai krisis lingkungan lain seperti kekeringan dan bencana-bencana hidrologis. “Dan pada akhirnya dampaknya ya ke komunitas masyarakat,” sambung Amalya.
Namun, Amalya belum melihat keseriusan pemerintah dalam memensiunkan PLTU serta beralih kepada energi alternatif. “Mereka itu [PLTU-red] harusnya pensiun, harusnya sudah mulai step-by-step ke arah sana, tetapi malah melakukan co-firing,” sambungnya. Co-firing yang dimaksud, merupakan suatu metode mengganti 5-10 persen pasokan batubara dengan tanaman-tanaman biomassa di PLTU.
PT PLN mengklaim, metode ini adalah salah satu upaya transisi energi ke sumber energi terbarukan. PLTU Sluke mulai menerapkan metode co-firing tersebut pada 2021 lalu. “PLTU yang seharusnya pensiun, dengan menerapkan co-firing ini, malah memperpanjang usia PLTU itu. Ini solusi palsu yang seharusnya dilawan,” ujar Amalya.
Amalya melanjutkan, taktik co-firing ini hanyalah sebuah alibi untuk mempertahankan bisnis batubara para oligarki. Ujung-ujungnya, dengan makin panjangnya umur PLTU lewat implementasi co-firing, terus memperpanjang perampasan ruang hidup nelayan dan petani sekitar. “Ini menghambat transisi energi terbarukan yang sebenarnya. Ini greenwashing,” sambung Amalya.
Penulis: M. Fahrul Muharman
Penyunting: Ilham Maulana
Fotografer: M. Fahrul Muharman
Liputan ini merupakan hasil program fellowship: “Energi vs Pangan” bersama Trend Asia.