Jumat (10-11), World March of Women Indonesia menggandeng beberapa organisasi untuk mengadakan seminar bertajuk “Merajut Kekuatan Kolektif Perempuan”. Seminar yang diadakan secara daring ini membahas kondisi perempuan yang masih ditindas budaya patriarki dan kebijakan pembangunan yang tidak ramah terhadap perempuan. Diskusi ini dimoderatori oleh Dewi Rana, direktur Lingkar Belajar untuk Perempuan Palu Sulawesi Tengah. Selain itu, diskusi ini diisi oleh tiga pembicara utama, yaitu Soka Handinah, senior officer Humanitarian Action and Resilience; Susan Herawati, sekretaris jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan; dan Masnuah, sekretaris jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI).
Pembahasan dimulai dari Masnuah dengan membagikan kisahnya sebagai nelayan perempuan. Selama menjadi nelayan, ia seringkali mendapatkan hambatan mulai dari perampasan ruang, diskriminasi, hingga intervensi. “Perempuan-perempuan ini bertarung, bahkan rela menaruh tubuhnya di bawah alat berat untuk mempertahankan ruang hidupnya,” ucap Masnuah.
Masnuah juga turut memaparkan tentang perempuan yang dimiskinkan serta mendapatkan kekerasan akibat perampasan ruang. Menanggapi hal tersebut, ia bersama PPNI mencoba menanganinya dengan sistem ekonomi mandiri. “Dengan kuatnya ekonomi perempuan, mereka bisa mempertahankan ruang hidupnya, tidak mudah diiming-imingi proyek dan mereka kuat untuk berani melawan,” ujarnya.
Kemudian, diskusi dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Susan terkait sistem MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang tidak jelas. Ia memandang MP3EI mengandung pola pembangunan yang eksploitatif. Bagi Susan, para pemangku kebijakan terlalu dangkal dalam menanggapi pelestarian lingkungan di dalam pembangunan. “MP3EI ini menjadi grand design yang di dalamnya ternyata menyimpan pola pembangunan yang eksploitatif dan ekstraktif, dan tentu ini berdampak kepada perempuan.” tambahnya.
Susan menambahkan bahwa perempuan pada dasarnya memiliki pengetahuan yang luar biasa sehingga penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri mereka. Terlebih lagi, tambahnya, di tengah-tengah budaya patriarki dan kapitalisme yang menyebabkan perempuan selalu ditempatkan menjadi pilihan kedua. “Marching atau membuat barisan dan membangun solidaritas itu adalah kunci hari ini,” ucap Susan. Ia juga melihat bahwa gerakan solidaritas perempuan bukan hanya sekadar gerakan solidaritas belaka, melainkan cara untuk mengokupasi ruang lewat melaut, menanam, dan bertani.
Diskusi dilanjutkan dengan penjelasan Handinah mengenai ranah politik yang tidak berporos dan berperspektif gerakan perempuan akar rumput. Baginya, adanya segudang persyaratan akuntabilitas seringkali mempersulit organisasi-organisasi buruh yang ada. Ia menjelaskan gerakan perempuan mengalami hal serupa, kemudian terkooptasi akibat kepentingan-kepentingan partai dan elite politik. “Kekuatan modal sangat besar, sedangkan kekuatan masyarakat sipil melemah saat berhadapan dengan berbagai kebijakan donor yang sangat ketat,” tuturnya.
Handinah menambahkan, banyaknya isu yang disebabkan politik elektoral semacam ini dapat memecah gerakan perempuan. Ia menekankan perlunya gerakan holistik secara global dan analisis agar dapat melakukan perlawanan. “Kalau kita tenggelam dalam isu tersebut, maka itu akan berbahaya, karena kita akan tercerabut dari permasalahan yang sesungguhnya,” lugasnya.
Pada penghujung diskusi, Handinah menambahkan sistem developmentalisme yang terjadi dalam sistem kapitalisme menjadikan orang-orang merasa terasingkan. Ia berpendapat bahwa sistem tersebut menyebabkan orang-orang diasingkan dari produksi pengetahuan, isu sosial, dan aksi sosial. “Sistem developmentalisme itu kemudian berhasil untuk mengalienasi kita sebagai orang-orang yang bergiat di dalamnya,” tegasnya.
Menutup diskusi, Dewi menjelaskan bahwa seminar seperti ini penting agar masyarakat bisa kritis dalam melihat interseksionalitas akar permasalahan. Ia menjelaskan bahwa seminar ini akan membuka peluang-peluang baru untuk mewujudkan solidaritas dalam melawan penindasan. “Harap nanti ada forum-forum yang lebih banyak lagi seperti ini, kita bisa menemukan peluang-peluang ke depan, mana yang bisa dikolaborasikan,” tutupnya.
Penulis: Abel Alma, Aisyah Ghulam Al Wutsqo, dan Galih Akhdi Winata (Magang)
Penyunting: Ester Veny
Visual: Alika Bettyno Sastro
1 komentar
Bagaimana merajut kekuatan solidaritas antara perempuan dapat mempengaruhi perubahan dalam dinamika penindasan yang kompleks?