Jumat (03-11), 350.org Indonesia bersama Climate Rangers Jogja menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Menuju Energi Bersih yang Adil: Menciptakan Transisi Tanpa Penindasan”. Diskusi ini merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan Power Up yang dilaksanakan sejak 29 Oktober hingga 4 November di berbagai kota di Indonesia. Diskusi yang berlangsung secara daring tersebut bertujuan untuk mengingatkan urgensi revolusi energi terbarukan di tengah desakan perubahan iklim. Nova Ruth, seorang seniman sekaligus penggagas Arka Kinari; Bambang Muryanto, jurnalis The Jakarta Post; dan Silsilia Nurmala, Pimpinan Tim 350.org Indonesia turut hadir dalam diskusi ini.
Diskusi dibuka dengan video profil Arka Kinari sebagai aksi kampanye kesadaran lingkungan yang digagas Nova. Ia menjelaskan bahwa Arka Kinari merupakan sebuah kapal layar yang membawa pesan-pesan perubahan iklim melalui seni. Melalui Arka Kinari, Nova mencoba mengubah pola pikir yang awalnya sebagai korban menjadi sosok yang mengambil peran dalam perubahan. “Kita sudah lihat sendiri kehancuran dunia di sekitar kita. Oleh karena itu, kita harus segera beraksi,” tegasnya.
Bermula dari keresahannya akan lingkungan yang kerap terasa tak nyaman, Nova bersama pasangannya, Grey Filastine, menggagas Arka Kinari pada 2019. Ia menjelaskan bahwa sebagai seorang seniman, seni menjadi barometer sebuah perubahan sosial. Karya menurutnya menjadi satu-satunya media bagi seniman untuk mengekspresikan keresahannya. “Kami sebagai musisi ingin turut serta dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang sudah ada hari ini,” tambah Nova.
Di sisi lain, Bambang menyoroti sulitnya penyebaran informasi mengenai isu-isu lingkungan. Ia melihat isu yang tergolong baru dan kerap bersinggungan dengan bahasa ilmiah menjadi salah satu tantangan akan penyebaran informasi isu lingkungan. Menurut Bambang, isu-isu tersebut masih bersifat elitis sehingga diperlukan upaya-upaya yang lebih serius untuk mewacanakannya. “Ada jarak antara isu lingkungan dengan masyarakat,” jelasnya.
Lebih lanjut, Bambang berpendapat bahwa penyebab terciptanya jarak antara isu lingkungan dengan masyarakat berkaitan dengan peran media massa yang belum konsisten dalam menyuarakannya. Dari kacamata Bambang, berita terkait isu-isu lingkungan hanya bertahan dalam waktu singkat di masyarakat sebelum akhirnya tergerus oleh isu-isu yang lain. “Media massa hanya menulis di momen-momen tertentu seperti komitmen KTT G20 sebelum akhirnya lepas, terlebih lagi mendekati tahun Pemilu,” pungkas Bambang.
Perjuangan diseminasi transisi energi juga ikut diwartakan Silsilia. Dalam sesinya, ia membagikan semboyan Pass The Mic to The Most Impacted sebagai bentuk perhatiannya terhadap kelompok-kelompok yang rentan terdampak dalam transisi energi. Menurutnya, kelompok-kelompok tersebut juga haruslah diberi ruang untuk bersuara mengenai kondisi mereka. “Yang pegang mic harusnya adalah mereka yang mengalami langsung,” ucap Silsilia.
Dengan pemberian ruang-ruang bicara, Silsilia berharap isu-isu ketidakadilan yang acap kali terlupakan dalam transisi energi dapat teratasi. Dalam transisi energi, menurutnya, tak boleh ada kelompok-kelompok yang dikorbankan, terutama kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat adat. “No one is left behind. Tidak boleh ada yang ketinggalan di belakang, semua dari kita adalah bagian penting yang harus dicarikan solusinya,” pungkas Silsilia.
Penulis: Aghli Maula, Fitri Nurita, dan Riendy Tri Putra
Penyunting: Rais Aulia
Ilustrator: Parama Bisatya