Dalam kajian pascakolonial, konstruksi gender ditinjau berdasarkan relasi kuasa Barat yang mendominasi pengetahuan lokal negara-negara bekas jajahan. Topik ini lantas menjadi pusat penelitian Katrin Bandel, seorang dosen pascasarjana Program Magister Kajian Budaya serta Program Doktoral Seni dan Masyarakat Universitas Sanata Dharma. Pada bukunya yang bertajuk Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial, ia membahas isu gender dan seksualitas di berbagai wilayah pascakolonial, seperti India dan Indonesia.
Untuk lebih menyelami alam pikir Katrin dalam buku tersebut, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarainya pada Jumat (09-06). Saat berbincang, Katrin menyayangkan kajian gender yang masih berorientasi pada standar negara-negara Barat, termasuk mengenai definisi keperempuanan yang disamaratakan di seluruh dunia. Padahal, menurutnya, setiap wilayah di berbagai belahan dunia memiliki ciri pengetahuan lokal yang latar historis dan budayanya berbeda-beda. Berikut wawancara selengkapnya.
Pada bagian pertama buku, definisi “perempuan” disebutkan sebagai akar permasalahan dari kajian gender pascakolonial. Lantas, mengapa bisa demikian terjadi?
Oh ya ya, itu memang saya sebut di esai pertama buku ini, dan itu sebenarnya merujuk antara lain ke tulisan seorang pemikir dari India, Chandra Talpade Mohanty. Di situ, dia membahas bagaimana ada semacam asumsi yang seakan-akan perempuan itu sudah jelas apa itu “perempuan” [secara definisi-red].
Kemudian, perempuan yang diasumsikan sudah jelas identitasnya itu seakan-akan masuk ke budaya yang beragam. Sehingga, [lazimlah-red] muncul, mungkin, judul-judul [penelitian-red] yang bagi di pandangan pertama kita tidak terkesan aneh. Misalnya, Pengaruh Budaya Sunda terhadap Perempuan atau Pengaruh Islam terhadap Situasi Perempuan. Walaupun tidak terkesan aneh saat memandangnya pertama kali, tetapi judul tersebut seakan-akan menjelaskan bahwa perempuan mengalami penindasan, diskriminasi, dan sebagainya oleh budaya tadi.
Persoalan yang diangkat oleh Mohanty ini lantas saya paparkan dan lanjutkan ke dalam buku. Sebab, hal ini merupakan persoalan inti yang dibahas di kajian gender tentang bagaimana gender menjadi konstruksi sosial. Dengan kata lain, gender ini sangat kontekstual dan akan terus-menerus direkonstruksi sepanjang hidup, sehingga tidak ada perempuan yang seakan-akan sudah terdefinisi, bahkan sesuai dengan sebuah standar.
Dengan demikian, ketika berbicara tentang definisi perempuan, kita harus berangkat dari pemahaman tentang konstruksi perempuan di tempat masing-masing. Bukan dari standar mereka [Barat-red], yang menganggap bahwa semua perempuan itu sama dengan perempuan di Amerika Serikat.
Lalu, bagaimana cara untuk memperjuangkan perempuan apabila tidak ada definisi “perempuan” yang berlaku umum?
Ya, itu pertanyaan penting, dan itu memang rumit ya. Ada satu konsep yang berasal dari [Gayatri Chakravorty-red] Spivak yang banyak dia sebut sebagai “esensialisme strategis”. Jadi kadang-kadang, untuk strategi ya, misalnya untuk pergerakan, dibutuhkan semacam esensialisme. Artinya, di momen tertentu, misalnya untuk bergerak, kita harus berasumsi bahwa kita semua perempuan: kita sama dan kita satu tujuan. Lalu, di momen itu sangat masuk akal [kalau berasumsi bahwa kita semua perempuan-red]. Tapi, itu hanya strategi.
Selain itu, hal yang sangat rumit dilakukan, tapi tidak boleh dilupakan, adalah untuk selalu mengingat bahwa hal ini memang [sekadar-red] esensialisme, dan esensialisme itu bukan hal yang positif gitu. Artinya, di momen itu dipakai sebagai strategi, tapi jangan sampai kemudian kita melupakan bahwa sebetulnya tidak ada definisi universal tentang perempuan. Nah, hal lain mungkin terkait itu juga kan yang menjadi persoalan. Bukan hanya apakah ada definisi universal atau tidak, tapi kemudian siapa yang berhak menentukan definisi ini merujuk kemana.
Menurut Anda, bagaimana situasi gender di wilayah masyarakat pascakolonial, contohnya Indonesia?
Ya, karena kita melihat konstruksi gender selalu sangat kontekstual, itu justru juga tidak bisa digeneralisasikan. Indonesia saja sangat beragam [situasi gendernya-red], apalagi di berbagai masyarakat pascakolonial di seluruh dunia. Nah, yang bisa kita kaji dari perspektif ini adalah bagaimana konstruksi gender itu selalu kontekstual.
Kontekstual itu termasuk segala dinamika global dan nasional yang ada di dalamnya. Misalnya, perempuan Jawa dikonstruksi oleh pemahaman Jawa yang ada pada saat ini. Kemudian dalam konteks global, misalnya muncul pemikiran, “Saya pengen maju seperti orang Barat”, maka ia juga menjadi bagian dari konstruksi gendernya.
Selanjutnya, bagaimana kajian gender khususnya melalui konteks pascakolonial di negara-negara wilayah tersebut berjalan, contohnya Indonesia?
Nah, kalau kita melihat tadi yang saya sebut, yang dikritik oleh Mohanty, itu kan perspektif yang terlalu universalis atau menggeneralisasi dari perspektif kacamata Barat ke negara-negara pascakolonial. Hal serupa sebenarnya juga sering terulang di negara pascakolonial sendiri. Misalnya, dari elite ke orang pinggiran atau orang dari kelas sosial yang berbeda. Jadi, tidak menutup kemungkinan orang dari dunia pascakolonial juga melakukan hal yang sama terhadap orangnya sendiri.
Jadi, [situasi-red] itu memang selalu perlu dikoreksi dan diwaspadai. Dan saya rasa, itu yang sering menjadi perjuangan dalam membangun bidang kajian gender, baik aktivisme feminis, aktivisme gender, maupun akademisi, bagaimana sih sebenarnya konteks khusus pascakolonial ini bisa dipahami dan bagaimana caranya supaya tidak mengulang kesalahan yang sama yang dilakukan oleh perspektif orang Barat. Misalnya, contoh riilnya, mungkin ketika kita memandang perempuan yang kita anggap berada dalam kelompok yang lebih tertutup [adalah mereka-red] yang lebih tertindas. Kemudian, menganggap perempuan ini sebenarnya ingin hidup seperti kita orang kota. Kita tidak melihat dari perspektif dia sendiri; sebenarnya seperti apa hidupnya, seperti apa kebutuhannya, keinginannya; tapi kita mengasumsikan, “Oh, dia ingin seperti kita”.
Hal itu sangat mudah terjadi dan saya rasa, termasuk saya sendiri, kita semua yang bergerak di kajian gender mudah terjebak di situ. Di satu sisi, kita butuh simpati kepada sesama, peka terhadap penindasan. Tapi di sisi lain, bagaimana supaya kita tidak membawa standar kita dan mengasumsikan apa yang dibutuhkan orang lain. Nah, ini perjuangan yang saya rasa tidak mudah.
Bagaimana pengaruh kolonialisme terhadap pandangan gender di Indonesia?
Saya tidak pernah melakukan penelitian khusus tentang budaya tertentu di Indonesia, dan itu [pengaruh kolonialisme terhadap gender-red] tentu juga tidak bisa digeneralisasi karena di setiap daerah dan setiap kelompok lain beda lagi pengaruhnya. Beberapa pengaruhnya terhadap tatanan gender masyarakat; misalnya, yang pernah diamati [oleh saya-red], ada yang namanya housewifization, yakni semacam [fenomena-red] “pengiburumahtanggaan” . Jadi, konsep keluarga ini adalah di mana laki-laki keluar ke kantor dengan pekerjaan ala Barat, yang ada jam-jam kerja tertentu dan yang teratur. Kemudian, istrinya di rumah dan mengurus rumah. Itu kan dibawa oleh Eropa, oleh penjajah Eropa kemana-mana gitu.
Sebelumnya, tidak ada konsep yang seperti itu sebetulnya [di Indonesia-red]. Jadi sering kali, mungkin kita lupa hal itu. Seakan-akan, itu kolot dan orang lokal yang punya konsep seperti itu. Tapi, itu kan pengaruh ya dari sistem kerja kapitalisme Barat yang membutuhkan keluarga seperti itu di saat itu. Supaya si laki-laki ini bisa dipekerjakan, misalnya dalam administrasi kolonial dan tidak terganggu oleh hal lain, harus ada istrinya yang kemudian mengurus rumah.
Misalnya juga soal maskulinitas, tentu dipengaruhi oleh konsep maskulinitas Barat yang dalam konteks kolonial menjadi sangat agresif yang kemudian mempengaruhi maskulinitas di negara-negara pascakolonial lain. [Hal ini-red] pernah di India diteliti dengan menarik oleh seorang pemikir kajian pascakolonial yang bernama Ashis Nandy, yang dia menggambarkan bagaimana orang Inggris menjadi lebih agresif maskulinitasnya karena mereka menjajah, kemudian orang India sendiri yang terjajah sendiri meniru itu.
Jadi, tadinya maskulinitas [di India-red] yang lebih cenderung lembut, feminin, yang ada dalam agama Hindu gitu kan, yang sama dengan tradisi yang ada di Jawa. Maskulinitas ala Kresna misalnya, itu menjadi dipinggirkan dan maskulinitas yang mengemuka adalah yang menandingi agresivitas Barat ini gitu. Jadi, ya hal seperti itu kan ada banyak perubahan yang sangat kompleks, seperti itu. Jadi, kadang meniru Barat, kadang menandingi Barat, kadang mencoba berbeda, jadi sangat kontekstual gitu kan. Tapi, semuanya terjadi sebagai reaksi terhadap penjajahan itu sendiri.
Pada saat ini, banyak wacana feminisme Barat yang mengalami fenomena Islamofobia. Bagaimana Anda mengontekstualisasikan hal tersebut dengan kondisi gender saat ini di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam?
Memang salah satu lanjutan dari wacana kolonial masa kini yang paling mengemuka adalah Islamofobia. Jadi, bukan seperti masa lalu yang memandang orang lain berdasarkan rasnya kemudian memandang sesuatu dengan primitif. Tapi, rasismenya datang lebih halus. Karena kalau secara terbuka, sekarang sudah sulit diterima, kecuali di kalangan tertentu yang sangat terbatas. Tapi, Islamofobia menjadi sangat diterima di wacana mainstream. Praktik-praktik tertentu dalam Islam dinilai sangat seksis dan [itu telah-red] menjadi pendapat yang umum oleh masyarakat Barat atau secara internasional. Ini memang menjadi kesulitan yang kita hadapi, bagaimana Islam dipandang mungkin [sebagai-red] salah satu agama paling seksis sedunia.
Dilema yang akan selalu muncul, di mana di satu sisi orang yang berpikiran kritis di negara-negara bermayoritas muslim tentu akan melihat ada masalah dengan gender dan ada masalah keadilan di sini yang perlu dikritik. Tapi, bagaimana caranya untuk tetap tidak membenarkan islamofobia dari luar ini memang sulit. Dan saya rasa, sangat kompleks untuk melihat wacana yang ada.
Kemudian, muncul gerakan feminis Indonesia yang masuk dari kalangan muslim dengan Kongres Ulama Perempuan di mana itu berangkat dari Islam sendiri. Ada intervensi [dari dalam Islam-red]. Sehingga, itu bisa dilihat sebagai cara untuk mengatasi dilema ini, yakni berangkat dari Islam sendiri.
Tapi, memang situasinya kompleks. Dan saya rasa, itu memang persoalan yang kita lihat dan muncul dalam Islamofobia. Misalnya lagi, dari perspektif Barat. Jilbab, misalnya, menjadi salah satu fokus yang selalu dilihat sebagai penindasan. Dan saya rasa, dari masyarakat Indonesia sendiri, ini tidak bisa diterima karena perempuan muslim sendiri yang mungkin mayoritas berjilbab, dan memang kadang dipaksakan. Tapi pada umumnya, argumen yang sangat sederhana dari Barat ini yang menganggap kalau jilbab itu penindasan dan jilbab pasti dipaksakan, bagi kita disini tidak relevan dan tidak masuk akal.
Sebagai penutup, menurut Anda bagaimana permasalahan gender pascakolonial ke depannya? Apakah konstruksi gender di Indonesia akan bisa lepas dari wacana kolonial?
Kalau lepas, ya tidak mungkin karena memang lepas itu hanya relevan dan bisa kalau itu [relasi dengan wacana kolonial-red] berakhir. Dan relasi ini kan masih berlangsung; dalam arti, lanjutan dari kolonialisme yang ada sekarang, dalam bentuk relasi kuasa global yang masih berlanjut. Otomatis, itu pasti akan memengaruhi. [Namun-red], “Pengaruh itu dikelola seperti apa?”, itu kan pertanyaannya.
Jadi disadari atau enggak, ada relasi kuasa global. Seperti, misalnya, dalam lingkup pengetahuan, banyak teori feminis yang biasa kita pakai berasal dari konteks Barat. Ini bukan hal yang pada dasarnya negatif gitu ya, tapi kemudian apakah ada kesadaran seperti apa gitu ketika itu dipakai. Apakah sekadar melihat, “Oh, ini bagus untuk dipakai,” atau, “Ini lebih baik dari yang kita produksi sendiri,” sehingga kemudian dipakai begitu saja. Atau, ada kesadaran kritis tertentu dalam membacanya.
Nah, itu kemudian persoalan yang menentukan saya rasa untuk ke depannya. Jadi, bukan meninggalkan persoalan kolonialisme karena itu akan tetap berlanjut dan tidak akan bisa kita akhiri dengan kajian kritis seperti ini. Namun, yang bisa kita lakukan adalah berusaha untuk lebih memahami apa yang sedang terjadi dan pentingnya kajian pascakolonial. Dalam arti, bahwa ternyata kolonialisme dan relasi kuasa global sampai sekarang punya implikasi yang begitu kompleks terhadap pengalaman manusia, bukan hanya secara fisik.
Penulis: Alfiana Rosyidah, Anindya Verawati, dan Gayuh Hana Waskito
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Ilustrator: Sekar Aji Ningsih