Menanggapi polemik keanggotaan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Serikat Pekerja Kampus (SPK), Serikat Pekerja Fisipol (SPF) menyelenggarakan acara “Diskusi Sejarah ASN Dilarang Berserikat dan Bedah Buku Workers and Democracy: The Indonesian Labour Movement oleh John Ingleson”. Diskusi yang bertempat di Selasar Barat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM pada Rabu (08-11) tersebut merupakan agenda perdana dalam serial kegiatan bulanan SPF Vergadering. Acara ini dipandu oleh Amalinda Savirani, ketua SPF selaku narasumber, serta Devy Dhian Cahyati, staf Divisi Pendidikan dan Riset SPF, selaku moderator.
Dalam diskusi ini, Amalinda berulang kali menyuarakan bahwa tidak ada pembatasan bagi warga negara, termasuk ASN, untuk berserikat. “Secara prinsip, undang-undang dan konstitusi kita, yang Pasal 28 [UUD 1945-red], menjamin kebebasan, berpendapat, dan berserikat,” ucapnya. Terlebih dalam sejarahnya, lanjut Amalinda, ASN juga tidak bisa lepas dari berserikat.
Amalinda menambahkan bahwa sejarah titik mula perserikatan ASN dan akar pengorganisasian pekerja bersumber dari Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Sebagaimana dipaparkan Amalinda bahwa SOBSI mengorganisasikan pekerja di semua sektor, baik publik maupun swasta. Dari titik tersebut, lalu muncul Serikat Buruh Pemerintah Daerah (SEPDA). “SEPDA itu didirikan di Yogyakarta. Yogyakarta menjadi sangat penting karena SEPDA itu anggotanya banyak [dari kota ini-red],” tambahnya.
Amalinda mengakui, SEPDA sangat terorganisasi dan memiliki kekuatan pengaruh yang signifikan terhadap pemerintah daerah. Dengan demikian, akan menjadi sangat ironis jika ASN dilarang untuk berserikat. “Itu lucu banget [jika ASN tidak boleh berserikat-red]. Karena dari dulu pun semuanya berserikat,” imbuh Amalinda. Menurut Amalinda, ada fokus yang hendak dicapai oleh ASN melalui berserikat, yakni memperbaiki haknya dengan mengupayakan peningkatan upah.
Namun, Amalinda kemudian menyebutkan bahwa ASN berserikat ini tidak bertahan lama; cepat “mati muda”. Ia menyebutkan bahwa hal tersebut bermula dari komentar Menteri Keuangan, Jusuf Wibisono, pada tahun 1951. “Dia berkeberatan PNS memiliki hubungan serikat dan berkeberatan menyebut PNS sebagai buruh,” jelas Amalinda.
Di tahun yang sama, komentar Jusuf tersebut semakin dipertebal oleh tanggapan Menteri Perburuhan, Tedjakusuma. Menurutnya, dikutip oleh Amalinda, ASN bukanlah pekerja biasa. “Jadi ada perspektif yang mirip sekarang: elitis terhadap ASN,” tambahnya. Pada tahap itu, Amalinda menilai bahwa muncul peyorasi yang terstruktur terhadap istilah buruh dan memperluas jurang status kelas antara ASN dan buruh.
Persepsi elitis tersebut menjadi sangat dominan ketika Orde Baru muncul di tahun 1966. Pada masa itu, larangan ASN berserikat dan depolitisasi gerakan buruh semakin dijustifikasi. “Tenaga kerja atau serikat hanya boleh satu, dikontrol oleh pemerintah, dipilih oleh pemerintah, digaji oleh pemerintah, dengan balasan kesetiaan,” imbuh Amalinda.
Gunawan, salah satu audiens diskusi, berkomentar bahwa masih terdapat inkonsistensi arah gerak dalam dinamika pengorganisasian ASN muda. Tak semua, ia mencontohkan, merasa bisa turut bergerak dalam serikat pekerja di luar Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) ataupun punya daya tawar lebih dalam merespons masalah yang ada. “Harapannya, organisasinya harus lebih searah,” sebut Gunawan.
Sementara itu, audiens lain, Ardiman, memaparkan posisi konteks kedaerahan yang kadang menyulitkan perwujudan serikat pekerja ASN. “Penting juga untuk memikirkan format pengorganisasian yang sesuai dengan kondisi sosial masing-masing daerah,” usulnya, menilik segmentasi dalam ASN Maluku imbas sejarah konflik antaragama.
Menanggapi Ardiman, Amalinda juga menyebutkan pentingnya mencari titik temu yang dapat menyatukan ASN dengan identitas beragam. “Sebagai pekerja, haknya dilanggar; sebagai pekerja, upahnya di bawah standar,” tegasnya, mengacu pada persamaan yang dapat menjadi titik temu. Amalinda lalu menegaskan ketika kolektivitas terbentuk atas dasar persamaan tersebut, barulah kemudian keberhasilan pengorganisasian pekerja untuk bergerak dimungkinkan.
Selanjutnya, Muchtar Habibi selaku sekretaris SPF turut bertanya mengenai strategi gerakan buruh zaman dulu, khususnya di kalangan buruh ASN. Amalinda mengungkap bahwa strategi yang diambil sangat tergantung pada sektor masing-masing. “Buruh di sektor publik seperti ASN memiliki kecenderungan menggunakan strategi yang lebih kalem, seperti melakukan lobi. Sementara sektor strategis seperti perkebunan cenderung memilih mogok,” jelasnya.
Penulis: Alvino Kusumabrata, Defindra Hafara, dan Dimas Setiawan (Magang)
Penyunting: Anindya Verawati
Fotografer: M. Rafi Pahrezi