Jumat siang (16-11), puluhan massa aksi berkumpul di depan gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Yogyakarta sembari membentangkan poster bergambar wajah Fatia-Haris dan kutipan aktivisme. Tujuan dari massa aksi berhimpun adalah menyuarakan penolakan terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang mereka anggap keliru. Aksi yang diinisiasi oleh Aksi Kamisan Yogyakarta dan Social Movement Institute ini merupakan respons atas kriminalisasi aktivis HAM Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar.
Aksi dibuka dengan teater yang dilakukan oleh Mahameru, salah seorang peserta aksi di depan gerbang Kejati Yogyakarta. Dengan menggunakan dupa dan kembang, ia merapal doa-doa dan menusuk boneka yang merupakan representasi dari jaksa yang dianggap tak adil dalam memberikan tuntutan. “Katakanlah doa tersebut diyakini untuk dipakai dalam keadan apapun, salah satunya untuk melakukan penyerangan atau mensucikan gedung ini dan orang-orang di dalamnya,” ujar Mahameru. Bagi Mahameru, teater tersebut merupakan aksi simbolik dalam menunjukkan penolakan sekaligus perlawanan.
Setelah Mahameru melaksanakan teaternya, Naysilla sebagai salah satu peserta aksi memberikan orasi. Dalam orasinya, Naysilla menyatakan kekecewaan serta kemarahannya terhadap tuntutan jaksa. Ia menyayangkan tuntutan yang tidak mempertimbangkan peran Fatia dan Haris dalam memperjuangkan demokrasi. “Kami, yang berdiri di sini, mengecam praktik penuntutan hukum jaksa yang tidak mengindahkan prinsip etis dan nilai keadilan!” ucap Naysilla dengan lantang.
Lebih lanjut, Naysilla mengatakan bahwa tuntutan yang ada tidak didasari oleh nilai-nilai HAM dan demokrasi. Ia mengandaikan putusan jaksa yang menghukum Fatia dan Haris seperti hendak menguburkan barisan mayat korban pemerintahan Orde Baru yang dahulu dikuburkan mahasiswa. “Kami meminta hakim untuk mengabaikan tuntutan jaksa dan membebaskan Fatia dan Haris sesegera mungkin, hukuman terhadap Fatia dan Haris hanya akan membenarkan pandangan bahwa hukum bisa dibeli!” ujar Naysilla. Ia juga mengatakan bahwa jaksa telah menghidupkan lagi peran jaksa penuntut umum di masa kolonial yang ingin membungkam hak kebebasan berbicara dan berpendapat.
Senada dengan Naysilla, Paul sebagai salah satu peserta aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua juga turut angkat suara. Ia sebagai rakyat Papua merasa kecewa dengan putusan yang diberikan jaksa penuntut umum kepada Fatia-Haris. “Untuk hari ini, kami juga datang karena terpanggil. Sebuah ketidakadilan terjadi dan seharusnya lembaga itu (kejaksaan-red) yang seharusnya menegakkan keadilan,” tutur Paul. Ia berharap Fatia dan Haris dibebaskan tanpa syarat dan pada persidangan selanjutnya pertimbangan yang ada haruslah jujur dan adil.
Selepas aksi, BALAIRUNG mewawancarai Ida selaku massa aksi sekaligus perwakilan dari Social Movement Institute ihwal tuntutan dan fokus aksi tersebut. Ia mengatakan bahwa tuntutan utama dari aksi ini adalah merespons secara langsung tuntutan kepada jaksa penuntut umum. Ida melanjutkan bahwa pembelaan terhadap kasus kriminalisasi harus dibela dengan kesadaran semua orang dan solidaritas. “Orang seperti Fatia-Haris aja yang punya rekam jejak aktivisme untuk membela hak asasi manusia dituntutnya maksimal, (lantas-red) gimana kita yang orang awam?” ujar Ida.
Ida juga menerangkan bahwa aksi serupa turut terjadi di berbagai daerah di Indonesia, seperti di Kalimantan Timur, Kediri, dan Jakarta. Terkait lokasi Kejati Yogyakarta yang dipilih sebagai lokasi aksi, Ida menerangkan bahwa hal tersebut merupakan sebuah bentuk kekuatan perlawanan simbolik. Ia mempertanyakan bahwa jika bukan masyarakat yang membela Fatia-Haris, lalu siapa lagi. “Kita punya idealisme bahwa lembaga negara berpihak kepada masyarakat, tapi kenyataannya sangat terbalik,” pungkas Ida.
Penulis: Muhammad Fariz Ardan
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: Cahya Saputra