Selasa (24-10), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengadakan konferensi pers “7 Tahun Buruh PT. Maya Muncar Mencari Keadilan: Praperadilan Ditempuh!”. Konferensi tersebut dilaksanakan secara luring di Gedung YLBHI Jakarta Pusat dan daring melalui YouTube. Adapun yang hadir dalam konferensi ini ialah Ami, perwakilan buruh PT Maya Muncar Banyuwangi dan Roni sebagai kuasa hukum buruh PT Maya Muncar Banyuwangi. Selain itu, konferensi ini juga menghadirkan Andi Kristiantono, Sekjen Federasi Serikat Buruh Kerakyatan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia; Hamid Estahori, anggota Building and Wood Workers’ International Global Union; dan Zainal, perwakilan dari YLBHI. Melalui konferensi pers tersebut, buruh PT Maya Muncar Banyuwangi menyampaikan tuntutan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) terkait masalah pengupahan dan pengeluaran Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Pertama-tama, Ami menyampaikan tuntutan dari para buruh PT Maya Muncar. Ia mengatakan bahwa para buruh menuntut gaji yang seharusnya berhak mereka terima sebagai buruh PT Maya Muncar setelah diliburkan sejak tahun 2010. Alasan penuntutan tersebut adalah mereka tidak diberi kejelasan waktu untuk bekerja kembali. “Saya bertanya pada bagian personalia, tetapi mereka menunggu keputusan dari Dinas Tenaga Kerja Banyuwangi,” ungkap Ami. Kemudian pada 2015, lanjutnya, buruh PT Maya Muncar mengajukan penyidikan atas kasus tersebut kepada Kemnaker.
Ami lalu menerangkan tentang SP3 yang dikeluarkan oleh Kemnaker pada tahun 2023. Melalui SP3 tersebut, pihak Kemnaker menyampaikan bahwa kasus PT Maya Muncar tidak termasuk dalam kategori pidana tanpa disertakan alasannya. Selain itu, lanjut Ami, surat tersebut dikeluarkan secara tiba-tiba saat penyidikan masih berlangsung sehingga penyidikan harus terhenti. “Kami bertanya-bertanya mengapa kami mendapatkan SP3 tanpa alasan yang jelas,” tambahnya.
Menambahkan Ami, Andi menyatakan bahwa SP3 telah menghentikan perjuangan para buruh PT Maya Muncar untuk memperoleh hak mereka. Ia meneruskan bahwa SP3 adalah bentuk pengabaian Kemnaker terhadap nasib buruh PT Maya Muncar. Padahal, seharusnya para buruh tersebut tetap diupah apabila tidak dipekerjakan dan tidak diberhentikan. “Ini adalah bentuk penindasan,” tegasnya.
Hamid kemudian menimpali penegasan Andi. SP3 yang dikeluarkan oleh Kemnaker tidak memberikan informasi yang terbuka kepada publik mengenai alasan kasus PT Maya Muncar diberhentikan. Menurut Hamid, tidak seharusnya Kemnaker mengeluarkan putusan tersebut. Ia lalu berupaya untuk terus mengawal para buruh PT Maya Muncar untuk mendapatkan keadilan, bahkan hingga ke ranah internasional. “Saya merasa kasus ini harus terus dikampanyekan karena PT Maya Muncar adalah perusahaan besar, bahkan telah mengirim pangan laut ke Eropa dan Amerika,” jelasnya.
Lebih lanjut, Roni turut mengomentari bahwa di dalam SP3 sama sekali tidak disebutkan alasan kasus PT Maya Muncar tidak dikategorikan sebagai pidana ketenagakerjaan. Padahal menurut Roni, PT Maya Muncar telah melanggar Pasal 93 ayat 2 huruf f dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Apabila mengacu kepada pasal tersebut, buruh PT Maya Muncar masih berhak menerima gaji dari perusahaan karena mereka diliburkan tanpa adanya status PHK. Selain itu, lanjut Roni, dalam hasil nota pemeriksaan tahun 2016, buruh PT Maya Muncar harus dipekerjakan kembali. “Sayangnya, pihak PT Maya Muncar tidak mau melakukan hal tersebut,” ucapnya.
Selain SP3, Roni juga menyampaikan bahwa PPNS Kemnaker telah menunjukkan itikad buruknya. Ia menjelaskan bahwa hal tersebut terlihat ketika PPNS Kemnaker tidak menghadiri undangan praperadilan dan justru mengusulkan untuk menunda persidangan. “Termohon [PPNS Kemnaker-red] semacam mengulur-ulur waktu untuk menunda persidangan. Padahal, pemanggilan termohon sudah sesuai SOP yang berlaku,” terangnya.
Kemudian, Zainal menanggapi sikap PPNS Kemenaker dalam merespons tuntutan buruh PT Maya Muncar. Ia merasa pihak PPNS Kemnaker seharusnya memiliki kapasitas untuk mengetahui detail terkait buruh dan pasal-pasal pidana ketenagakerjaan. Namun, persoalan kapasitas sepertinya bukanlah penyebab dari sikap PPNS Kemnaker yang menelantarkan kasus tersebut. Ia berpendapat bahwa ada penyidik yang “bermain waktu” dalam menangani kasus. “Jangan-jangan ada faktor kesengajaan,” tukasnya.
Pada akhir konferensi, Andi menyebut persoalan yang terjadi di Banyuwangi hanyalah satu dari sekian pengawasan di tempat-tempat yang jangkauannya jauh dari ibu kota provinsi. Menurutnya, permasalahan pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia perlu dibenahi agar para buruh tidak lagi menemui ketidakadilan dalam penuntutan hak-hak mereka. “Permasalahan teman-teman buruh PT Maya Muncar adalah potret kondisi pengawasan ketenagakerjaan di negara kita,” pungkasnya.
Penulis: Aghits Azka Aghnia, Safira Aisyah, dan Wida Nur Pangestuti (Magang)
Penyunting: Alfiana Rosyidah
Foto: Istimewa/Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)