Tak selamanya digitalisasi membawa keberkahan. Peralihan karya tugas akhir ke dunia digital seharusnya mempermudah segalanya. Kenyataannya, kesulitan akses membuat peneliti menderita.
Grace Wangge, peneliti Monash University Indonesia, suatu ketika tengah melakukan penelitian kusta di Indonesia. Setelah menyelami beraneka ragam literatur layaknya peneliti, tibalah ia ke salah satu karya dari Universitas Airlangga (Unair). Nahas baginya, karya itu tak bisa diakses. Tak patah arang, ia pun menghubungi Ilham Akhsanul, rekannya sekaligus dosen di Unair, dengan harapan bisa membantu memecahkan persoalannya. Sayang, jalan Grace tetap buntu, lantaran karya itu memang tak bisa diakses tak terkecuali bagi Ilham. Peristiwa ini baru satu dari sekian banyak persoalan ihwal akses karya-karya akademik yang terhalang tembok aturan yang pelik.
Awal Mula Digitalisasi
Skripsi, tesis, dan disertasi atau karya tugas akhir di perguruan tinggi saat ini berada di sebuah tempat yang bernama repositori institusi. Repositori institusi ditafsirkan sebagai kumpulan arsip digital dari produk intelektual yang dihasilkan oleh para akademisi, baik dosen, mahasiswa, tenaga pendidik, maupun peneliti dari sebuah institusi. Tujuannya jelas, agar produk intelektual dapat diakses dengan mudah oleh khalayak umum, baik pihak internal atau eksternal sebuah institusi (Crow 2002). Dari sini, repositorilah yang menjadi tempat bernaungnya skripsi, tesis, dan disertasi.
Karya tugas akhir sendiri termasuk bagian dari grey literature ‘literatur abu-abu’. Grey literature, menilik hasil konferensi di Luksemburg, merupakan literatur yang diproduksi oleh semua lini institusi dari mulai pemerintahan, akademisi, bisnis, dan industri baik format cetak atau elektronik. Dalam proses produksinya, grey literature tidak dikontrol oleh penerbit komersial. Dari pengertian ini, grey literature setidaknya mencakup tiga kategori dokumen, yakni prosiding, laporan penelitian, dan karya tugas akhir (Farace dan Schöpfel 2010). Kemudian, karya tugas akhir ini yang semula media cetak dialihkan ke media elektronik dinamai dengan Electronic Theses and Dissertations (ETD) karena konteks awalnya berupa karya tesis dan disertasi (Sengupta 2014).
Berawal dari sebuah lokakarya pada musim gugur tahun 1987 di Ann Arbor, Michigan, ETD pun lahir. Dipimpin oleh Nick Altair dari University Microfilms International, pertemuan itu melibatkan perwakilan dari Virginia Tech, ArborText, SoftQuad, dan University of Michigan. Pertemuan tersebut fokus pada pendekatan terbaru untuk mengalihwahanakan disertasi mahasiswa dari versi cetak ke versi elektronik (McMillan dkk. 2009). Sempat terhenti hingga tahun 1991, pengembangan ETD kembali berlanjut dengan dibiayai oleh Gary Hooper, dekan Virginia Tech. Melalui kerja sama dengan Adobe, sebuah tim pun telah terbentuk untuk meluncurkan versi prarilis software ‘perangkat lunak’ ETD. Setelahnya, terbentuk koalisi yang terdiri dari perwakilan berbagai perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Kanada. Mereka melakukan diskusi mengenai peran ETD dalam pendidikan dan perpustakaan (Sengupta 2014).
Barangkali harus ditambahkan, muncul berbagai inisiatif untuk melestarikan ETD lebih jauh, salah satunya, Networked Digital Library of Theses and Dissertations (NDLTD). Berdiri pada tahun 1996, NDLTD merupakan organisasi internasional yang bergerak untuk mendorong penggunaan, pembuatan, pemanfaatan, dan pelestarian karya tugas akhir agar tersedia dalam wujud elektronik. Situs lamannya sendiri berisi informasi ihwal cara mengatur, membuat, dan menemukan ETD serta penelitian terkini di perpustakaan digital lainnya (Južnič 2010).
Dari keberadaannya yang demikian, ETD memiliki berbagai macam tujuan. Tak hanya sebatas karya tulis, ia bisa menjadi perangkat lunak yang memuat fail audio-visual, gambar, lembar kerja (spreadsheet), grafik, bahkan animasi. Dengan begitu, peneliti bisa mengekspresikan ide dengan lebih variatif, yang sebelumnya tak bisa dilakukan dalam versi cetak (Sengupta 2014). ETD juga menampung penyebaran hasil penelitian ke penjuru dunia dengan kecepatan dan akses yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Selain membantu meningkatkan jumlah kutipan peneliti, ETD juga meningkatkan mutu pendidikan institusi (Sengupta 2014).
Selain dua hal itu, ETD juga bertujuan untuk memberikan kontrol kepada peneliti terhadap hasil penelitiannya sendiri. Kontrol tersebut berupa kebebasan peneliti untuk menutup akses dalam jangka waktu tertentu atau membuka akses secara full-text. Bagi perpustakaan, ETD pun menjadi solusi paling ekonomis karena mengurangi biaya pengarsipan dan kebutuhan ruang di dalam perpustakaan. Di sisi lain, peneliti dapat menghemat biaya percetakan jika tesis atau disertasi diserahkan dalam bentuk elektronik (Sengupta 2014).
Permasalahan yang Terjadi
Lantas, apakah proyek ETD telah membawa keberkahan? Terang saja, akses dalam karya-karya tugas akhir masih bermasalah. Pada tahun 2010-an, masalah akses sering kali terjadi karena sistem embargo, sebuah aturan yang menunda publikasi dalam jangka waktu tertentu atau setelah kondisi tertentu terpenuhi. Penundaan ini tak hanya dari penerbit, tetapi bisa saja dari fakultas, penulis, atau kesepakatan dari keduanya. Pada mayoritas kasus yang terjadi, jangka waktu embargo terlalu panjang sehingga akses literatur pun menjadi sulit (Schöpfel dan Prost 2013). Selain masalah embargo, beberapa negara seperti Italia merasa literatur ilmiah elektronik yang bisa diakses gratis dapat menimbulkan pelbagai masalah, seperti hak cipta yang pelik, plagiarisme, potensi pelanggaran privasi, penemuan yang dapat dipatenkan, atau publikasi data yang berkelanjutan (Arabito dkk. 2008).
Beda halnya dengan Indonesia. Masalah repositori bukan hanya berada pada tataran aturan embargo atau tetek bengek sistem repositori lainnya, melainkan pada pengadaan repositori itu sendiri. Di Indonesia, repositori baru menyeruak ketika repositori menjadi parameter pemeringkatan sebuah institusi. Webometrics, nama pemeringkatan itu, adalah suatu sistem yang memberikan penilaian kepada seluruh perguruan tinggi di dunia. Penilaian tersebut berpijak pada publikasi karya dan penyebarannya melalui situs web setiap perguruan tinggi. perguruan tinggi di Indonesia berlomba-lomba untuk mengembangkan repositori mereka agar peringkatnya terus naik (Irawati dkk. 2015). Kompetisi Webometrics inilah yang menciptakan isi koleksi repositori berbeda-beda. Beberapa perguruan tinggi menyatukan koleksi karya tugas akhir, artikel, dan laporan penelitian dalam satu repositori. Ada juga beberapa perguruan tinggi yang repositorinya hanya karya tugas akhir atau artikel dan laporan penelitian saja (Irawati dkk. 2015).
Meskipun misi Webometrics, sebenarnya, adalah penyebaran misinya menyebarkan karya ilmiah secara luas, pada kenyataannya repositori di Indonesia menerapkan kebijakan yang awut-awutan. Repositori hanya digunakan sebagai alat kompetisi. Repositori ETD Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya. Pengguna hanya bisa mengakses karya secara penuh lewat komputer yang disediakan perpustakaan pusat UGM, yakni di ruang ETD atau perpustakaan-perpustakaan fakultas. Selain itu, pengguna hanya diperkenankan untuk membaca di tempat, tanpa bisa diunduh atau disalin. Sedangkan di laman digital, pengguna hanya bisa mengakses cuplikan karya saja, seperti judul, abstrak, pendahuluan, dan bibliografi (Rifauddin dan Halida 2018).
Lain halnya dengan UGM, Universitas Negeri Malang (UM) telah menerapkan akses terbuka dalam repositori. Sayangnya, tidak semua pemangku kebijakan UM sependapat dengan keterbukaan ilmu pengetahuan. Sebagian orang merasa kebijakan akses terbuka akan menyuburkan plagiasi. Mereka juga menganggap masih banyak karya mahasiswa dan dosen yang belum memenuhi standar kualitas karya akademik. Pun begitu berbagai macam alasan mereka kemukakan, antara lain administrasi birokrasi penelitian yang panjang, tak adanya pedoman penelitian, dan keraguan terhadap orisinalitas karya-karya tersebut (Ernaningsih 2017).
Sedikit mirip UM, Unair juga telah menerapkan kebijakan akses terbuka terhadap karya akademiknya. Karya-karya mereka bisa diakses melalui laman lib.unair.ac.id atau repository.unair.ac.id. Akses terbuka yang dimaksud di sini adalah akses yang bebas tanpa harus login atau memasukan nama pengguna dan kata sandi. Lagi-lagi, tak semua karya bisa diakses secara terbuka. Koleksi karya di Unair yang bisa diakses secara terbuka terbatas pada koleksi yang terbit sebelum tahun 2007, sedangkan karya yang diterbitkan dari tahun 2008 hingga sekarang masih memerlukan persetujuan dari fakultas terkait untuk dapat diakses. Pada akhirnya, perguruan tinggi di Indonesia tak paham akan konsep akses terbuka itu sendiri.
Suara untuk Akses Terbuka
Berangkat dari proses penelitian yang lama, cakupan pengetahuan yang sempit dan adanya jurang pemisah akses literatur bagi yang kaya dan miskin, maka akses terbukalah yang jadi solusi terbaik. Gerakan akses terbuka dicetuskan dalam sebuah pertemuan di Santa Fe pada bulan Oktober 1999. Diprakarsai oleh Herbert Van de Sompel, Paul Ginsparg, dan Rick Luce, pertemuan ini melahirkan sebuah metode yang memungkinan server e-print mengekspos metadata satu sama lain (Guédon 2017). Selang tiga tahun, Budapest menjadi saksi bisu kelahiran manifesto akses terbuka. Akses terbuka, merujuk manifesto Budapest, dipahami sebagai ketersediaan literatur secara gratis di internet yang setiap penggunanya bisa bebas membaca, mengunduh, menyalin, menyebarkan, mencetak, mencari, atau menggunakannya untuk tujuan sah lainnya. Inilah gerakan yang akan memengaruhi akses ETD di kemudian hari.
Adalah Peter Suber, salah satu penggerak akses terbuka dari Harvard University, orang pertama yang menyuarakan akses terbuka ke ETD. Ia sangat yakin bahwa akses terbuka adalah salah satu pilihan terbaik untuk meningkatkan visibilitas. Baginya, ada beberapa alasan utama untuk menyediakan akses terbuka ini. Pertama, sebagian besar karya tugas akhir lahir dalam bentuk digital. Kedua, karya tugas akhir adalah karya literatur penelitian tahap awal yang bebas royalti. Penulis tak akan kehilangan pendapatan dengan menyetujui akses terbuka. Ketiga, ETD tidak diterbitkan secara formal. Oleh sebab itu, tidak ada penerbit yang akan menolak atau menentang akses terbuka. Keempat, akses terbuka memecahkan masalah ETD yang sukar ditemukan. Tak hanya dapat dicari lewat mesin pencarian di repositori; ia juga bisa dicari langsung melalui Google, Yahoo, dan Microsoft. (Suber 2006).
Secara gamblang, Suber juga telah memprediksi setidaknya ada tiga permasalahan yang akan terjadi saat penerapan akses terbuka nanti. Pertama, mahasiswa enggan memublikasikan karyanya secara cuma-cuma lantaran takut karyanya tak bisa dimuat di jurnal ilmiah. Hal ini berdasarkan aturan jurnal ilmiah yang tidak menerima karya yang sudah pernah diedarkan. Kedua, mahasiswa takut tidak memperoleh hak paten atas namanya sendiri sehingga banyak mahasiswa yang condong menunda akses karyanya. Ketiga, kekhawatiran mahasiswa akan karya mereka mengandung unsur plagiat (Suber 2006).
Sebagaimana permasalahan Indonesia, kebijakan akses ETD yang beragam memunculkan persepsi yang berbeda-beda. Di UGM, sebagian mahasiswa merasa bahwa akses terbuka itu perlu dan semua informasi yang terdapat di ruang ETD bisa disalin, tetapi sebagian lainnya menyatakan tidak perlu disalin dengan dalih akan menimbulkan plagiarisme (Rifauddin dan Halida 2018). Sementara itu di UM, perbedaan persepsi pemangku kebijakan terhadap akses terbuka telah membuat akses terhadap karya ilmiah berjalan hanya setengah-setengah (Ernaningsih 2017).
Sejatinya perguruan tinggi perlu menyadari nilai potensial dari ETD yang dapat diakses karena karya tugas akhir mencerminkan kemampuan institusi dalam mendidik mahasiswa dan mendukung karya yang orisinal. Ketika karya-karya itu berada di tempat yang mudah diakses, mahasiswa dan staf pengajar akan menilai kualitas suatu perguruan tinggi dengan meninjau perpustakaan digitalnya (Južnič 2010). Sayangnya hingga kini, perguruan tinggi belum menyadari hal tersebut.
Penulis: Ahmad Arinal Haq
Penyunting: Ratu Mutiara Kalbu
Ilustrator: M. Rafi Pahrezi
Daftar Pustaka
“AIILIS.” Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Diakses 24 September 2023. https://fh.unair.ac.id/perpustakaan/aiilis/.
Arabito, Stefania, Daniela Cermesoni, Paola Galimberti, dan Marialaura Vignocchi. “Time to Harvest: Electronic Doctoral Theses in Italy,” 2008.
Crow, Raym. “The Case for Institutional Repositories: A SPARC Position Paper.” Scholarly Publishing, January 2002, 1–37.
Ernaningsih, Dwi Novita. “Institutional Repository Access Policy: A Case Study in State University of Malang Library.” Record and Library Journal 3, no. 1 (January 9, 2018): 25. https://doi.org/10.20473/rlj.v3-i1.2017.25-37.
Farace, Dominic, dan Joachim Schöpfel. Grey Literature in Library and Information Studies. Walter de Gruyter, 2010.
Guédon, Jean-Claude. “Open Access: Toward the Internet of the Mind.”Budapest open access initiative, 23 February 2017. https://www.budapestopenaccessinitiative.org/boai15/open-access-toward-the-internet-of-the-mind/.
Harliansyah, Faizuddin, dan Ilham A. Ridlo. 2023. “Skripsi, tesis, dan disertasi terkunci di repositori universitas: minimnya akses karya ilmiah mahasiswa hambat iklim riset di Indonesia.” The Conversation. https://theconversation.com/skripsi-tesis-dan-disertasi-terkunci-di-repositori-universitas-minimnya-akses-karya-ilmiah-mahasiswa-hambat-iklim-riset-di-indonesia-197073.
Irawati, Ina, Pudji Muljono, dan Firman Ardiansyah. “KESIAPAN REPOSITORI INSTITUSI DI INDONESIA DALAM PRESERVASI DIGITAL.” Jurnal Perpustakaan Pertanian 24, no. 1 (March 16, 2016): 1. doi.org/10.21082/jpp.v24n1.2015.p1-7.
Južnič, Primož. “Grey Literature Produced and Published by Universities: A Case for ETDs.” In Grey Literature in Library and Information Studies. Walter de Gruyter, 2010.
McMillan, Gail, Edward A Fox, dan Venkat Srinivasan. “Electronic Theses and Dissertations: Progress, Issues, and Prospects.” Center for Digital Discourse and Culture, Virginia Tech, 2009.
Prasetyawan, Yanuar Yoga. “Perkembangan Open Access Dan Kontribusinya Bagi Komunikasi Ilmiah Di Indonesia.” Anuva 1, no. 2 (December 7, 2017): 93. https://doi.org/10.14710/anuva.1.2.93-100.
“Read the Declaration – Budapest Open Access Initiative.” n.d. Budapest Open Access Initiative. Diakses 26 September 2023.. https://www.budapestopenaccessinitiative.org/read/.
Rifauddin, Machsun, dan Arfin Nurma Halida. “Persepsi Mahasiswa Terhadap Sistem Unggah Mandiri Dan Akses ETD Repositori Di Perpustakaan UGM Yogyakarta.” Pustabiblia: Journal of Library and Information Science 2, no. 2 (December 19, 2018): 195. https://doi.org/10.18326/pustabiblia.v2i2.195-211.
Schöpfel, Joachim, dan Hélène Prost. “Secret et Libre Accès: Le Cas Des Thèses Numériques.” ESSACHESS – Journal for Communication Studies 6, no. 2 (2013): 65–86.
Sengupta, Shantashree Sameerkumar. “E-Thesis Repositories in the World: A Critical Analysis.” Savitribai Phule Pune University India, 2014.
Suber, Peter. “Open Access to Electronic Theses and Dissertations (ETDs),” 2006. https://dash.harvard.edu/bitstream/handle/1/4727443/suber_theses.htm?sequence=1.