Fisipol Corner UGM mengadakan diskusi publik dengan topik “Proyek Strategis Nasional: Demi Kepentingan Rakyat atau Kelas Penguasa?” pada Kamis (26-10). Diskusi yang berlangsung di Taman Sansiro Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM ini melibatkan tiga pemantik, yakni Rizky Abiyoga dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta, Laksmi Savitri dari Samdhana Institute, dan Feri dari Kesatuan Perjuangan Rakyat. Diskusi tersebut membahas mengenai polemik program pembangunan proyek strategis nasional (PSN) yang dinilai telah memicu konflik sosial di masyarakat, seperti penggusuran paksa, kerusakan alam, dan kerugian sosial-ekonomi lainnya. Selain itu, melalui diskusi ini para pemantik mengevaluasi realisasi program PSN, dampak, dan kesesuaian proyek yang sudah berjalan dengan tujuan awal.
Mengutip siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Laksmi menjelaskan bahwa keberadaan PSN adalah upaya perwujudan pemerintah dalam mengatasi defisit infrastruktur dan penurunan investasi yang dimulai sejak 2016. “Jadi disini sangat gamblang dan jelas bahwa logika dasar dari PSN itu adalah logika pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya. Ia kemudian menambahkan bahwa tujuan awal PSN adalah untuk menunjang konektivitas, mendorong hilirisasi, meningkatkan daya saing kawasan, serta meningkatkan ketahanan energi dan pangan nasional. Hal itu dilakukan salah satunya dengan mengadakan infrastruktur seluas-luasnya dan menjangkau tempat-tempat paling ekonomis di Indonesia, seperti Pulau Jawa dan Sumatera.
Melanjutkan Laksmi, Rizky mengungkapkan bahwa dengan adanya sentralisasi di Pulau Jawa dan Sumatera, dampak ekologis yang diberikan kepada warga setempat juga signifikan. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan PSN dirasa kurang memerhatikan aspek sosial dan ekologis yang ditimbulkannya. “Pulau Jawa mengalami kebangkrutan ekologis selama hampir 60 tahun ke belakang,” terang Rizky. Ia pun menyimpulkan bahwa proyek PSN ini dinilai merugikan masyarakat dan lingkungan setempat apalagi dengan adanya regulasi yang mendesak PSN lebih cepat terlaksana.
Mengenai kerugian yang dirasakan masyarakat, Feri menceritakan pengalaman advokasinya terhadap kasus Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) dan Wadas. Ia mengatakan bahwa sumber daya dan pasokan makanan di Wadas pada 2017–2018 masih di atas kata cukup. Namun, ia mengungkapkan bahwa lama-kelamaan sumber daya masyarakat Wadas pun habis seiring dengan PSN yang dibiarkan lama tidak tereksekusi. Menurutnya, ini berdampak signifikan kepada melemahnya perlawanan masyarakat dalam menentang proyek itu. “Apa yang terjadi sih di masyarakat sehingga perlawanan itu melemah? Ya sumber daya atau sumber penghidupan mereka itu yang diputus,” jelasnya.
Tidak hanya itu, PSN juga dinilai mereduksi daya dukung lingkungan di daerah-daerah sasarannya. Hal ini disampaikan oleh Rizky, dengan memberikan contoh kasus Wadas yang lingkungannya “dikeroposi” karena penambangan terus-menerus. Dari pembiaran itu, Rizky menilai bahwasanya kepentingan PSN memang berfokus kepada modal yang diterapkan di belakang. “Ini bukan soal paradigma antroposen lagi tetapi kapitalosen. Itulah yang kemudian kita lihat dari praktik-praktik PSN yang ada di Indonesia hari ini,” ujarnya.
Menyetujui hal itu, Laksmi juga menilai bahwa tujuan PSN ini sangat jelas berorientasi kapitalis dan didominasi kepentingan penguasa elit serta pemilik modal. “PSN adalah praktik neoliberal yang dijalankan secara otoriter dengan dukungan aparat keamanan. Perundangan digunakan untuk melegalisasi pembangunan sehingga perampasan tanah seolah dilegalkan,” jelasnya. Laksmi mempertegas dengan menyebut riset YLBHI yang menyatakan bahwa PSN menjadi episentrum kekerasan karena telah memicu ribuan konflik agraria antara rakyat dan pihak swasta. Menurutnya, dengan menunda undang-undang perlindungan dan menggantinya dengan undang-undang baru, negara sama saja memberi karpet merah kepada para pemilik modal.
Di sisi lain, Feri mengungkapkan bahwa masyarakat perlu satu gerakan kolektif nasional untuk menyelesaikan polemik PSN. Menurutnya, walaupun beberapa orang sudah mulai ragu dengan gerakan ini, tetap akan ada orang-orang baru yang akan menggantikan perjuangan perlawanan. Di samping itu, ia berpendapat bahwa diskusi-diskusi politik juga harus mulai dilakukan oleh warga. “Kepemimpinan gerakan itu ada di warga-warga yang terdampak. Bukan di aktivis-aktivis maupun NGO [Lembaga Swadaya Masyarakat-red],” pungkasnya.
Penulis: Indira Zahra, Khalimatu Rofiah, dan Satya Grandia Armadana (Magang)
Penyunting: Imtiyaz Putri Hanifa
Fotografer: Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati