Sore itu, segerombolan tukik (anak penyu) berbondong-bondong berusaha menggapai ombak lautan lepas. Kaki-kaki mungil itu bergerak kian jauh dari orang-orang yang menuntun mereka dari kolam penangkaran ke bibir pantai. Inilah peristiwa yang rutin terjadi di suatu konservasi Desa Perancak, Kabupaten Jembrana, setiap kali ada tukik yang siap dilepas. Siapa sangka, di tempat yang sama puluhan tahun lalu, para penyu justru diburu habis-habisan.
“Ayah saya dan teman-temannya itu adalah mantan-mantan pemburu penyu,” cerita I Wayan Anom Astika, ketua Kelompok Pelestari Penyu (KKP) Kurma Asih. Dengan area tangkapan dari Perancak sampai Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, kelompok ayah Anom begitu eksis dalam kancah perburuan penyu Bali periode ‘50 hingga ‘90-an.
Mereka hanya butuh sebuah tombak untuk dapat melancarkan aksi perburuan. “Mereka dapat penyu sekalian telurnya. Penyu kawin pun dihajar, enggak ada ampun,” ujar Anom mengingat kembali masa-masa itu.
Watak profesi ini telah mengalir turun-temurun dalam keluarga Anom. “Dari ayah, kakek, sampai buyut, keluarga kami memang spesialis pemburu penyu,” kata I Komang Gunawan, saudara Anom yang juga anggota KKP Kurma Asih.
Sesekali, hasil tangkapan itu dimakan sendiri. Dagingnya dikeringkan, lalu diolah menjadi dendeng. Bila bosan dengan sate lilit, sate penyu jadi opsi kala itu. “Kayak narkoba, kita pengedar sekaligus pemakai,” sambung Gunawan.
Pada tahun-tahun ketika ayah Anom dan Gunawan aktif memburu penyu, sekitar tahun ‘90-an, masyarakat internasional serempak mengerutkan dahi kepada Bali. Bagaimana tidak, citra elok pariwisata yang telah dibangun ternyata menyimpan sisi gelap. Bali saat itu menjadi wilayah sentra pembantaian dan perdagangan hewan yang terancam punah ini. Pesisir Perancak, area tangkapan kelompok ayah Anom dan Gunawan, merupakan salah satu pemasok penyu terbesar yang hilirnya diperdagangkan di Denpasar.
Sepak terjang ayah Anom dan Gunawan sebagai pemburu penyu membuat ia dan kelompoknya sering kucing-kucingan dengan kepolisian. Saat dalam perjalanan ke Denpasar, ayahnya pernah disergap lengkap dengan hasil tangkapan. Penyu memberikan rezeki sekaligus jeruji bagi mereka.
“Itu kalau kita tidak mengambil tindakan, ia bisa kena lima tahun penjara,” ujar Anom sembari mengingat kembali kejadian itu. Beruntung, ayahnya hanya ditahan beberapa hari. Perburuan penyu mulai dinilai sebagai tindakan ilegal di Indonesia setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Misi Penebusan Dosa
Sebagai reaksi dari gugatan dunia internasional, pemerintah setempat bersama organisasi-organisasi lingkungan gencar menabur sosialisasi. Daerah-daerah utama pemasok penyu, seperti Desa Perancak, menjadi target sasaran utama. Sosialisasi yang mulai dilakukan pada April 1997 itu berusaha menyadarkan masyarakat bahwa populasi penyu sedang di ambang krisis, bahkan terancam punah. Misi itu dibarengi dengan polisi yang makin marak wara-wiri berpatroli.
Setelah sosialisasi demi sosialisasi, razia demi razia, I Wayan Tirta, ayah dari Anom, mulai merasa bersalah atas pekerjaannya. Ini berkaitan erat dengan konsep ajaran karma yang ia anut Ia pun bersama kelompok pemburu penyunya mengambil langkah “penebusan dosa”. Pada 11 Juni 1997, KKP Kurma Asih pun lahir dari misi mulia itu. “Ayah saya merasa bersalah. Selain itu juga, kita ingin mengembalikan nama baik Bali,” ucap Anom.
Gunawan ingat betul betapa sulitnya kondisi KKP Kurma Asih pada masa awal berdirinya. Keputusan beralih dari pemburu menjadi penyelamat ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Selain mata pencaharian yang hilang, masyarakat sekitar yang juga sesama pemburu ikut menentang. “Coba bayangkan, itu kan sumber penghasilan keluarga. Kalau ingin mengubah itu, mereka jadi tidak punya penghasilan,” ujar Gunawan.
Namun, semangat pelestarian itu selalu dipupuk hari demi hari. Pada bulan Juni di tahun yang sama, sarang penyu pertama berhasil ditemukan. Gunawan muda saat itu ditugaskan oleh ayahnya untuk menghubungi World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, organisasi penyelamat lingkungan yang turut membersamai kelahiran Kurma Asih. “Waktu itu saya yang paling muda, orang tua mana bisa pakai telepon waktu itu kan. Hahaha,” kenang Gunawan saat itu.
Sebelumnya, pihak WWF Indonesia cabang Bali memang memberi arahan kepada KKP Kurma Asih untuk menghubungi kantor bila sarang penyu sudah ditemukan. Dengan sigap, Gunawan muda langsung mencari telepon umum terdekat. Arahan dari WWF menjadi pedoman awal bagi KKP Kurma Asih yang masih minim pengetahuan konservasi kala itu. “Dengan arahan itu, kita lingkari sarang penyu itu dengan jaring, biar nanti dia enggak lari saat keluar. Semalaman kita terus jaga,” ucap Gunawan.
Hari itu menjadi momentum awal bagi perjalanan panjang pelestarian penyu KKP Kurma Asih, yang sampai tahun ini telah melepasliarkan kurang lebih 500 ribu tukik. Perlahan-lahan, kelompok nelayan pemburu penyu itu mulai meninggalkan profesi lamanya. Laut tetap menjadi sumber hidup, tetapi tangkapan diganti kepiting ataupun udang.
“Setelah beberapa pendekatan, imbauan dari mulut ke mulut, perburuan penyu mulai tidak seterang-terangan dulu,” terang Gunawan. Meski perburuan saat itu masih terjadi, tindakan tersebut telah dianggap sebagai tindakan kriminal.
Karena Konservasi Bukanlah Bisnis
KKP Kurma Asih lahir secara swadaya dari para mantan pemburu penyu. Kelahirannya bukan hasil dari arahan kebijakan langsung dari dinas pemerintahan tertentu. Dengan sebab itu, pendanaannya juga diupayakan secara swadaya oleh masyarakat lokal secara rutin sejak pendiriannya. Kini, pengunjung dan satu-dua lembaga juga dapat berkontribusi ke pendanaan KKP Kurma Asih lewat mekanisme donasi.
Bantuan donasi itulah yang nantinya membantu KKP Kurma Asih untuk terus bertahan. Donasi tersebut menambal biaya-biaya operasional agar konservasi tetap eksis. Contohnya saja, ketika ada penyu yang terluka sehingga mengharuskan penanganan dokter hewan. “Kita coba datangkan dokter hewan. Kalau [lukanya-red] serius, kita bawa ke Denpasar. Semua itu tentunya berkat donasi-donasi yang diberikan,” jelas Anom.
Selain biaya penanganan medis, donasi juga dialirkan untuk apresiasi keterlibatan masyarakat lokal. Tak jarang ketika tengah malam, masyarakat mendatangi konservasi untuk mengantarkan telur penyu. “Masyarakat itu jauh-jauh datang ke sini, pada saat kita sedang tertidur, hanya untuk menyelamatkan seekor penyu,” ujar Anom. Menurutnya, tindakan itu tidak cukup hanya dihadiahi ucapan terima kasih. Sebisa mungkin, KKP Kurma Asih memberikan apresiasi berupa uang agar masyarakat konsisten melakukannya. “Minimal, dia punya uang bensin untuk transportasi karena telah jauh-jauh mengantar ke konservasi,” sambung Anom.
Dalam sepak terjangnya, pendanaan KKP Kurma Asih sempat mengalami beberapa masalah. Anggota awal yang berjumlah sekitar 16-an orang, satu per satu mulai keluar lantaran kendala finansial. Beberapa mencoba peruntungan lain, seperti beralih profesi menjadi nelayan ikan, lobster, dan udang. “Kelompok konservasi lain yang terbentuk karena arahan pemerintah biasanya mendapat pendanaan. Kalau kita tidak, makanya sering terkendala pendanaan,” jelas Anom.
Selain itu, KKP Kurma Asih dibayang-bayangi ancaman komersialisasi. Satu-dua kali, Anom pernah diberi tawaran oleh para pengunjung yang datang. “Saya ingin melepas tukik, satu ekornya berapa?” ujar tamu tersebut. Dengan tegas, ia menolak permintaan tersebut. “Waduh, bapak berdonasi saja. Tidak nyumbang juga tidak apa-apa,” ujarnya.
Ketika sudah musimnya penyu bersarang dan bertelur, KKP Kurma Asih selalu melepas tukik-tukik yang telah menetas ke laut secepat mungkin tanpa harus menunggu datangnya pengunjung. “Kenapa? Karena kalau anak-anak penyu terlalu lama di daratan, instingnya akan menurun,” terang Anom.
Berhadapan dengan ancaman komersialisasi tersebut, Anom selalu memegang dua prinsip awal berdirinya KKP Kurma Asih. Pertama, misi penebusan dosa. Kedua, misi penyelamatan penyu. Semangat awal pendirian KKP Kurma Asih menjadi pegangan Anom untuk terus mendahulukan kepentingan pelestarian penyu alih-alih keuntungan uang semata.
Anom juga dengan kukuh menegaskan bahwa konservasi bukanlah suatu yang sifatnya transaksional. “Ibarat berada di sebuah persimpangan jalan, memang penggiat konservasi selalu dekat dengan kondisi-kondisi dilematis,” ujarnya. Di satu sisi, konservasi harus teguh dan konsisten dengan misi lingkungannya. Namun di sisi lain, konservasi juga butuh biaya operasional.
“Saya salut kepada orang tua saya, beliau kuat mempertahankan agar Kurma Asih tetap ada. Walaupun, dia juga perlu hidup, perlu makan,” sambung Gunawan. Ia menyadari ini semua adalah konsekuensi dari semangat pelestarian itu. Rasa hormat pada prinsip ayahnya membuat Gunawan konsisten untuk bertahan menyelamatkan penyu selama 25 tahun di KKP Kurma Asih.
Konservasi Kritis karena Iklim Krisis
Di tengah ceritanya, sorot mata Gunawan bergulir ke arah laut. “Semakin lama, air laut itu semakin ke arah sini,” ujarnya sembari menunjuk. Selama 20 tahun terakhir, garis Pantai Perancak telah terkikis oleh abrasi sepanjang 8 meter. “Dahulu, lokasi konservasi tidak di sini. Abrasi membuat kita berpindah lokasi tiga kali,” sambung Gunawan.
Karena pengikisan pantai ini, penyu kesulitan mencari lokasi bertelur ketika menepi ke pesisir. Telur-telur itu rentan terendam air laut yang meningkatkan potensi kegagalan dalam penetasan. “Di Pesisir Perancak ini, dari yang dahulunya ada sekitar 80 persen habitat peneluran, sekarang paling hanya [tersisa-red] 20 persen,” jelas Anom. Semakin dekatnya garis pantai ke daratan juga mendekatkan lokasi peneluran dengan pemukiman. Hal itu jelas berbahaya bagi hewan sensitif seperti penyu.
Mau tidak mau, sarang-sarang itu harus direlokasi ke wilayah yang lebih aman. “Kalau dulu, sangat diusahakan campur tangan kita itu seminim mungkin. Semua dilakukan si induk agar proses reproduksinya masih alami,” kata Anom. Kondisi perubahan iklim ini memberi dilema bagi konservasi penyu. Metode konservasi yang awalnya alami mulai diintervensi demi tujuan agar telur-telur itu dapat menetas jadi penyu seutuhnya.
“Ancaman terhadap penyu saat ini tidak hanya datang dari perdagangan ilegal, tetapi juga datang dari ancaman alami berupa krisis iklim,” jelas Yuliana Syamsuni, peneliti dari Leibniz Centre for Tropical Marine Research, Jerman. Yuliana melanjutkan bahwa penyu merupakan hewan sensitif sehingga harus bertelur di pasir yang tidak banyak gangguan. Hewan ini juga sangat sensitif terhadap cahaya dan suara. Garis pantai yang semakin dekat dengan permukiman karena abrasi membuat penyu rentan akan gangguan manusia.
Krisis iklim juga mengakibatkan penyu dalam bayang-bayang ketidakseimbangan proporsi kelamin. “Penentuan kelamin penyu itu tergantung suhu di sekitar sarang. Suhu yang lebih rendah cenderung jantan, suhu yang lebih hangat cenderung betina,” jelas Yuliana. Pemanasan global membuat penyu mengalami disrupsi reproduksi, rasio betina lebih banyak daripada jantan.
Mengenai beberapa tantangan konservasi saat ini, Gunawan berpandangan bahwa sudah saatnya penjagaan lingkungan harus menjadi tanggung jawab semua pihak. “Apalah artinya Kurma Asih tanpa kalian, tanpa banyak orang yang mendukung,” jelasnya. Masalah selalu datang dan pergi dalam dinamika KKP Kurma Asih. Namun, semua masalah dilalui sesuai prinsip yang dipegang sejak kelahirannya. Sesuai arti dari nama mereka, kurma yang maknanya penyu, dan asih yang artinya sayang. Semua dilakukan untuk penyu tersayang agar tetap ada.
Penulis: M. Fahrul Muharman
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: M. Fahrul Muharman