Jumat (29-09), Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengadakan diskusi bertajuk “Refleksi Sejarah Kelam: Sejarah Kegagalan Penegakan HAM di Indonesia” di Taman Pancasila UNY. Diskusi tersebut berusaha mengawal dan meninjau kembali kasus-kasus kegagalan penegakan HAM di Indonesia. Terdapat tiga orang pemantik yang hadir dalam diskusi ini, yaitu Petrik Matanasi selaku penulis di Historia.id, Naysilla Rose selaku aktivis Kamisan, dan Dian Andriasari selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
Petrik memulai diskusi dengan memaparkan kembali kejadian-kejadian pelanggaran HAM pada masa lampau di Indonesia. Ia mengatakan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan sebelumnya hingga saat ini masih belum ada tindak lanjut yang jelas dari pemerintah, misalnya Peristiwa ‘65, Peristiwa Tanjung Priok, dan lainnya. Menurut Petrik, kasus-kasus pelanggaran HAM ini tidak dapat terselesaikan dengan baik karena pendidikan mengenai pelanggaran HAM tidak pernah diberikan secara jelas sedari bangku sekolah. “Saya kira, ini merupakan tugas kalian [mahasiswa-red] yang menjelaskan kepada siswa mengenai kenapa kita tidak boleh melanggar hak orang lain,” ucapnya.
Senada dengan Petrik, Dian juga menambahkan bahwa situasi pendidikan di Indonesia saat ini. “Pertama, kita semua harus jujur bahwa situasi akademik tidak terbuka untuk mengkritik atau menguji sebuah dalil. Kedua, metode pembelajaran yang feodal dan doktriner,” ucapnya. Dian juga mengakui bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih begitu kaku.
Melalui sudut pandang hukum, Naysilla menyampaikan mengenai rekonsiliasi dan penegakan pelanggaran HAM yang masih bermasalah. Ia merasa heran dengan dibuatnya Keputusan Presiden (Keppres) No. 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. “Kenapa gak sekalian bikin yang sempurna aja [dalam bentuk-red] UU? Kenapa masih Keppres?” tanya Naysilla. Menurutnya, akan lebih baik jika dibuat menjadi undang-undang sehingga semakin memperjelas tugas, pokok, dan isinya.
Selain itu, Naysilla juga menyebut bahwa hingga kini masih banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa mahasiswa dan masyarakat perlu mengambil peran dan melakukan aksi nyata sebagai penggerak kesejahteraan dan perjuangan HAM di Indonesia. Salah satu caranya, tambah Naysilla, adalah dengan menyuarakan hal tersebut kepada petinggi negara melalui media sosial atau platform sejenis.
Lebih lanjut, Naysilla memandang bahwa cara menumbuhkan kesadaran kolektif tersebut dapat melalui celah-celah ruang alternatif. Menurutnya, dengan menghadirkan khatib yang progresif atau memulai pembicaraan di lingkungan ibu-ibu PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) dapat menyadarkan masyarakat terkait isu pelanggaran HAM ini. “Kesadaran kolektif bisa dimulai dari ruang yang mungkin tidak pernah kita pikirkan tapi bisa jadi ruang tersebut pada akhirnya dapat menyebarkan kesadaran ke arah yang lebih kritis,” ujar Naysilla.
Sebagai penutup diskusi, Naysilla berpesan bahwa jangan sampai putus harapan dan tak melakukan apa-apa dalam memperjuangkan penegakan HAM di Indonesia. “Perlu bagi kita untuk tergabung dalam ruang-ruang diskusi ataupun ruang-ruang yang dapat membangkitkan keoptimisan kita terhadap bangsa karena harapan baik itu masih ada untuk negara kita,” pungkas Naysilla.
Penulis: Al Amanda Gelar Tasa, Andy Gibran, dan Annisa Dwi Nurhidayati (Magang)
Penyunting: Muhammad Fariz Ardan
Fotografer: Aiken Gimnastiar (Magang)