Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Badan Kerjasama Organisasi Wanita Jawa Tengah mengadakan Kongres Perempuan Nasional di Semarang. Kongres ini memantik gerakan perempuan. Bukan dari dalam gedung tempat kongres itu diselenggarakan, ia justru muncul dari luar.
Di tengah riuh rendah orang yang berlalu lalang, Bundaran Universitas Diponegoro tampak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Pada 24 Agustus lalu, Martha Kumala Dewi dan teman-teman seperjuangannya tidak lekas menurunkan poster yang mereka bentangkan. Meski siang itu panas matahari mencoba menembus kulit, mereka tidak menyerah sampai suara mereka terdengar.
Hal serupa juga dilakukan oleh Mega Diah Wati. Di dalam ruangan Auditorium Profesor Sudarto, Universitas Diponegoro, poster berbunyi “Wadas belum selesai #SAVEWADAS” dibentangkan. Sayangnya, Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah saat itu, tidak menggubris mereka dan justru sibuk berfoto dengan ibu-ibu yang hadir di sana.
Sampai aksi selesai, semangat peserta aksi tidak lekas padam. Mereka memanggil dirinya Jaringan Perempuan Akar Rumput. Jaringan ini menyatukan perempuan-perempuan dari berbagai organisasi dan individu yang fokus dengan isu keperempuanan. Seperti namanya, mereka berfokus pada masalah-masalah yang sebenarnya dialami perempuan, tetapi tak pernah dibawa naik ke permukaan oleh para elite yang berada di dalam gedung. Di dalam sana, orang-orang sedang melakukan pagelaran yang diberi nama Kongres Perempuan Nasional (KPN).
Kongres Perempuan Nasional
KPN diadakan oleh Pemerintah Daerah Jawa Tengah dan Badan Kerjasama Organisasi Wanita Jawa Tengah. Kongres ini diadakan di Auditorium Profesor Sudarto, Universitas Diponegoro, Semarang pada 24–26 Agustus 2023. Bertema “Demokrasi dan Kepemimpinan Perempuan Menuju Satu Abad Indonesia”, KPN mengundang 1000 partisipan dari berbagai daerah.
“Jadi sebenarnya tuh kongres sudah pernah dilakukan di tahun 2019,” ujar Mila Karmila, Ketua 1 KPN. Kongres yang dimaksud Mila adalah Kongres Perempuan Jawa Tengah. Setelah kongres 2019 itu, KPN diagendakan terlaksana pada 2021. Namun, Mila menjelaskan bahwa KPN terpaksa mundur dua kali: pertama karena pandemi Covid-19 pada 2021 dan kedua karena Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang diadakan juga di Jawa Tengah pada 2022. Akhirnya, KPN baru dapat terlaksana pada tahun ini.
KPN memiliki tiga rangkaian acara utama, yakni Studium General, Sidang Komisi, dan Pleno. Sidang Komisi yang merupakan turunan dari tema besar kongres terbagi menjadi lima yang dilakukan pada pukul bersamaan dengan ruangan berbeda:
- Sidang Komisi I “Peluang dan Tantangan Kepemimpinan Perempuan dalam Tata Kelola Pemerintahan”,
- Sidang Komisi II “Peluang dan Tantangan Kepemimpinan Perempuan dalam Mendorong dan Memperkuat Kedaulatan Pangan”,
- Sidang Komisi III “Peluang dan Tantangan Kepemimpinan Perempuan untuk Mewujudkan Kebijakan Adil Gender dan Anti Kekerasan terhadap Perempuan”,
- Sidang Komisi IV “Peran dan Tantangan Kepemimpinan Perempuan dalam Mewujudkan Energi Bersih serta Responsif pada Isu Lingkungan”, serta
- Sidang Komisi V “Peluang dan Tantangan Kepemimpinan Perempuan dalam Memperkuat/Mewujudkan Kebudayaan dan Media yang Ramah Perempuan”.
Berbeda dengan kongres pada 2019 lalu yang diadakan setelah Pemilu, KPN tahun ini justru diadakan sebelum Pemilu. Mila berharap kongres ini dapat menjaring lagi aspirasi-aspirasi teman-teman yang akan mencalonkan diri di Pemilu 2024. “Jadi, kita memperkuat posisi perempuan yang akan menjadi calon legislatif,” jelasnya.
Tidak untuk Semua Perempuan
Tanggal 9 Agustus lalu, Yuri Etika Ayu Muktia, yang tergabung dalam Jaringan Perempuan Akar Rumput, menerima undangan KPN tersebut. Undangan itu ia terima dari salah satu teman yang juga terlibat dalam salah satu organisasi perjuangan perempuan. Tak ada kecurigaan di awal. “Pasti ini diinisiasi oleh teman-teman jaringan masyarakat sipil di Semarang,” duganya.
Namun, ia terkejut setelah dua matanya tertuju pada bagian Kerangka Acuan Kerja (KAK) kongres tersebut. Logo Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang terpampang menyadarkannya bahwa acara ini diinisiasi oleh pemerintah. Kekecewaan Yuri memuncak saat mengetahui beberapa nama yang mengisi acara justru adalah mereka yang berkontribusi dalam kekerasan negara terhadap perempuan. Contoh gamblangnya adalah Ganjar Pranowo yang memberikan izin atas tambang-tambang di Jawa Tengah, tetapi malah diberikan kursi pertama untuk memberi sambutan dalam kongres tersebut. “Kok Ganjar diberi waktu. Padahal, Ganjar terlibat dalam kekerasan yang dialami ibu-ibu di Wadas,” ujarnya.
Yuri mulai merasa skeptis akan pelaksanaan kongres tersebut. Sekilas, elite politik memberi ruang dan peduli kepada isu-isu perempuan. Namun kenyataannya, menurut Yuri, ruang yang mereka sediakan itu meminggirkan isu-isu yang menurut mereka tidak menguntungkan secara ekonomis. “Setelah berdiskusi dengan temanku yang ikut, kongres ini sudah kebaca arahnya, yaitu mencari suara perempuan sebagai gerbong massa. Supaya nanti, mereka tuh memperoleh suara dari perempuan ketika nanti di Pemilu (2024),” respons Yuri. Argumennya juga diperkuat oleh wara-wirinya orang-orang partai di dalam kongres.
Menolak hanya membawa agenda-agenda politik, Mila berdalih bahwa dalam setiap Sidang Komisi KPN menyertakan narasumber dari masyarakat sipil. Kehadiran masyarakat sipil ini, menurutnya, akan menjadi pemecah persoalan atas besarnya celah antara pemangku kebijakan dengan target kebijakan itu sendiri. “Harapannya, gap-gap yang harusnya bisa diselesaikan itu benar-benar dapat terwakili,” ucapnya.
Klaim pelibatan masyarakat sipil itu ditolak mentah-mentah oleh Mega. Dalam pengamatannya, demokrasi dan kepemimpinan perempuan yang dibahas dalam kongres tidak mewadahi keluh kesah para perempuan yang benar-benar berjuang. Ia memberikan contoh mengenai orasi Wakil Gubernur Jawa Tengah serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada kongres. Kedua pihak tersebut tidak memasukkan perjuangan perempuan pekerja rumah tangga dalam mendesak disahkannya RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang selama 19 tahun ini. “Beliau hanya fokus pada pelibatan perempuan dalam politik dan demokrasi tanpa melihat situasi konkret, secara akar rumput” ucapnya.
Kritik dari Mega juga berlandaskan pada KAK kongres yang ia terima. Berdasarkan KAK tersebut, ia menyebut bahwa salah satu masyarakat yang tidak dilibatkan dalam kongres adalah perempuan yang mengalami konflik berkelanjutan. “Seperti perempuan masyarakat sipil kota, perempuan Wadas, perempuan korban pelanggaran HAM berat, dan perempuan-perempuan rentan lainnya,” ucap Mega miris.
Contoh lain mengenai kurangnya keterlibatan masyarakat juga dilimpahkan oleh Yuri. Ia menyoroti pembahasan dalam Sidang Komisi II yang membahas kepemimpinan perempuan dalam mendorong kedaulatan pangan. “Nah, di sini bahkan jelas-jelas ngomongin kedaulatan pangan, tetapi tidak ada satu pun perwakilan petani ataupun nelayan perempuan,” ungkapnya. Padahal, menurut Yuri, merekalah yang selama ini mempertahankan kedaulatan pangan itu sendiri.
Namun menurut Mila, perempuan-perempuan terdampak yang merasa tidak dilibatkan, seperti perempuan Wadas dan Kendeng, bisa saja langsung datang ke kongres. Mila mengaku kelompok-kelompok perempuan rentan tersebut tetap bisa menyampaikan aspirasinya dalam kongres. “Itu kemarin kalau misalnya dianggap penting, ya kan bisa hadir supaya juga didengarkan. Itu tidak hadir,” ujar Mila.
Selain kurangnya pelibatan masyarakat sipil dalam kongres, jalannya Sidang Komisi juga tidak inklusif. Mega sempat mengikuti jalannya kongres pada hari pertama. Ia menyaksikan sendiri jalannya sidang yang terbatas pada presentasi-presentasi dari narasumber. “Kongres ini tidak ramah terhadap perempuan dengan minim pendidikan karena bahasa yang digunakan sangat ilmiah. Sangat membosankan,” keluh Mega.
Dari awal, menurut Martha, orang-orang dalam Jaringan Perempuan Akar Rumput tidak mempermasalahkan siapa pun yang mengadakan forum atas nama perempuan. Namun, embel-embel nasional harus bisa mempertanggungjawabkan narasi yang dibawakan. “Partisipasinya juga harus secara nasional, bukan hanya perwakilan yang menjadi sok juru bicara,” jelas Martha.
Ujung-ujungnya, kongres itu menyisakan lubang lain bagi para perempuan. Yuri amat menyayangkan bahwa pemerintah sebagai penyelenggara KPN malah menjadi dalang atas terpecah belahnya gerakan perempuan. Negara lewat alat kekuasaannya justru membentuk kongres yang tidak mengakomodasi seluruh suara perempuan Indonesia. Namun, Yuri tak ingin para perempuan berlarut dalam perpecahan yang dibuat negara ini. “Terkait Kongres Perempuan Nasional ini mungkin kita akan ya … ya udah gitu karena dia udah berjalan. Kita fokus kepada agenda selanjutnya yang bisa kita lakukan bersama,” kata Yuri.
Ruang Alternatif Perempuan Marginal
Berangkat dari kurang dilibatkannya perempuan terdampak di KPN, Jaringan Perempuan Akar Rumput pun tumbuh. “Kami dari temen–temen Jaringan Perempuan Akar Rumput itu menginginkan bahwasanya ada pengetahuan tandingan yang berbasis dari perempuan terdampak,” jelas Martha. Dari sana, para perempuan terdampak menginisiasi ruang alternatif bernama Kongres Perempuan Akar Rumput, yang bersamaan dengan KPN.
Kongres Perempuan Akar Rumput bertemakan “Perempuan dan Ruang Hidup: Ketimpangan, Penindasan, dan Pemiskinan”. Kongres ini dimulai dari Diskusi Menuju Kongres pada 23 Agustus 2023 dengan tema “Puan, Seni, dan Ruang Hidup”. Setelah pelaksanaan diskusi itulah aksi oleh Jaringan Perempuan Akar Rumput dilakukan di tengah-tengah kongres buatan pemerintah.
Selesai aksi, Sidang Rakyat dilangsungkan melalui media daring pada 25–26 Agustus 2023 dengan pembahasan tiga kluster isu:
- Sidang Rakyat I: Kluster I “Kekerasan Berbasis Gender dalam Ruang Hidup” dan Kluster II “Ketimpangan Perempuan dalam Pusaran Ekonomi Politik” serta
- Sidang Rakyat II: Kluster Isu III “Perempuan, Politik, dan Demokrasi”.
Berbeda dengan KPN, Sidang Rakyat memberi ruang bagi perempuan terdampak untuk bercerita tentang pengalaman mereka. Dalam Sidang Rakyat, perempuan-perempuan terdampak itu menceritakan sendiri apa yang mereka alami dan menyebutkan hak-hak mereka yang harus dipenuhi oleh pemerintah. “Jadi, dalam Sidang Rakyat, diadakan sistem keluhan yang muncul langsung dari mulut para korban,” tambah Mega.
Salah satu cerita dalam Sidang Rakyat datang dari Asmania, perwakilan nelayan perempuan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Aas, sapaan akrabnya, menceritakan ancaman-ancaman yang mereka hadapi meski berada di pulau sendiri. Perusahaan yang datang merusak tanaman hutan bakau, terumbu karang, dan ikan-ikan kerapu. “Kami ingin melaut dengan bebas setelah penghasilan kami menurun oleh adanya pencemaran sampah dan reklamasi,” ungkapnya. Air mata Aas mengalir di tengah-tengah sidang saat mengingat represi dan kriminalisasi yang mereka alami dari pihak kepolisian Kepulauan Seribu.
Cerita pilu lainnya datang dari Svetlana Dayani, seorang perempuan penyintas tragedi ‘65. Sebagai keturunan PKI, stigma masyarakat begitu abadi lekat menghantui dirinya. Hingga kini pun, hak-hak Svetlana bersama para penyintas tragedi ‘65 tidak utuh seperti warga negara lainnya. Sebagai contoh, ia dipersulit menjadi pegawai negeri sipil dan dipojokkan saat mendaftar beasiswa.
Pemerintah malah tidak membantu dalam mengurangi kesakitan yang Svetlana rasakan. Ia pernah berharap pemerintah dapat mengikis sedikit saja stigma-stigma itu. Namun, “Saya sudah tidak ingin menuntut apa-apa. Saya sudah sampai di titik malas untuk menuntut macam-macam,” ungkapnya lesu.
Tak ingin berhenti di aksi dan berbagi cerita, Yuri menegaskan bahwa Jaringan Perempuan Akar Rumput akan mengajak lebih banyak lagi organisasi perempuan di Indonesia. Harapannya, isu-isu perempuan akar rumput di Indonesia akan terus tersuarakan. “Mungkin nanti akan ada konsolidasi lanjutan yang akan melibatkan lebih banyak lagi teman-teman di daerah di Indonesia,” ucap Yuri.
Namun, Yuri juga mengamini bahwa gerakan perempuan akar rumput juga mengenal keterbatasan. Dengan sistem kerja kolektif, ia memahami jika gerakan ini memiliki masalah dalam sumber daya manusia. Salah satunya adalah beban berlapis yang dialami teman-teman pergerakan. Sebut saja beban ibu-ibu Kendeng yang satu tangannya harus tetap bertani sembari tangan yang lain mengadvokasi diri. Akan tetapi, keterbatasan semacam itu tak membuat semangat surut. “Di tengah keterbatasan beban berlapis yang melekat pada perempuan itu sendiri, kita masih bisa berkolektif, kita masih bisa berjejaring,” ujar Yuri dengan tegar.
Martha menanam angan-angannya pada Jaringan Perempuan Akar Rumput, agar para perempuan dapat meningkatkan kapasitas dalam mengadvokasi dirinya. Martha berharap, ketakutan-ketakutan itu hilang; rasa ketidakamanan itu sirna. “Ini menjadi titik balik bagi kami untuk merajut kembali perjuangan itu,” pungkasnya.
Penulis: Alfiana Rosyidah dan Ester Veny
Penyunting: Ryzal Catur
Ilustrator: Nabillah Faisal Azzahra