
©Ferdian/BAL
Hingar-bingar blantika musik populer Indonesia menghiasi perkembangan zaman. Musisi-musisi besar lahir dan mati, silih berganti seperti waktu. Namun, dari kenangan yang tersisa, ingatan bersama menyimpan harta yang berharga di masa sekarang.
Sepanjang zaman melenggang, musik populer diperdengarkan dan dinikmati masyarakat Indonesia. Kenangan dan ingatan dalam lantunan lagu meresap menjadi nilai dan identitas para pendengarnya. Namun, peresapan identitas ini menemukan batasannya. Bagai rantai yang terputus-putus, ingatan antargenerasi tidak saling terhubung. Muda-mudi masa ini ataupun masa lampau tidak saling mengenal perkembangan musik populer satu sama lain. Di titik ini, masyarakat Indonesia tidak mengenal secara utuh identitas musiknya (Sakrie 2015). Hal ini dapat terjadi lantaran praktik mendengar musik tidak berbarengan dengan memperpanjang ingatan. Minimnya kesadaran akan pengarsipan menjadi musabab luputnya pendokumentasian nilai sejarah dan budaya yang terkandung pada musik populer.
Pintu Masuk Musik Populer Indonesia
Lahir dan mengakarnya musik populer di Indonesia dapat dilacak dari kemunculan musik vernakular. Ragam musik vernakular merupakan musik yang lahir dalam lanskap masyarakat kelas bawah sebagai suara bising yang tidak diinginkan dan tidak bernilai bagi tradisi masyarakat aristokrat (Denning 2015). Sebutlah gamelan sebagai permainan musik yang hanya dapat diakses dari balik tembok tinggi Keraton. Maka, musik vernakular melawan pakem Keraton. Jenis musik ini berangkat dari bahan-bahan yang mudah didapat oleh masyarakat kelas bawah seperti bambu. Masyarakat kelas bawah lantas merangkai bambu menjadi calung. Ketukan-ketukan bambu yang dimainkan berasal dari laku kreatif para musisinya (Setyawan 2017). Pada akhirnya, musik vernakular menghasilkan permainan yang unik lagi menarik.
Musik vernakular lantas berubah menjadi musik populer ketika didistribusikan secara meluas ke berbagai lapisan masyarakat melalui label rekaman. Pada akhir abad ke-19, teknologi perekaman masuk ke Hindia Belanda dan mulai didemonstrasikan penggunaannya. Kemudian, di awal abad ke-20, perekaman musik mulai bertransformasi menjadi label rekaman dengan tujuan komersial. Di tahun 1951, label rekaman Irama menjadi label pertama yang dimiliki oleh orang Indonesia. Label ini memiliki semangat yang menggebu dalam memajukan dunia permusikan Indonesia. Irama melahirkan musisi keroncong bersuara merdu, seperti Sam Samiun dan band rock kawakan Koes Bersaudara (Sakrie 2015). Berkat Irama pula, label-label lain seperti Mesra dan Remaco turut meramaikan jagat musik populer Indonesia.
Penyebaran musik semakin intensif berkat pemutaran musik melalui radio. Tonggak awal radio di Indonesia bermula dari Nederlandsch Indische Radio Omroep Mij (NIROM) yang kemudian menjadi Radio Republik Indonesia (RRI). Adanya siaran RRI memberikan akses yang luas bagi masyarakat Indonesia dalam mendengarkan musik. Label-label rekaman pun pergi tur untuk merekam musisi-musisi dari berbagai daerah lalu menyiarkannya di siaran radio berdasarkan minat ataupun permintaan khusus dari pendengar (Adhiyatmaka 2021).
Sikat-sikut Rebut Panggung Musik
Akulturasi budaya Indonesia dengan budaya Barat menciptakan ragam musik populer pasca-Kemerdekaan yang campur aduk. Akibatnya, skema musik populer Indonesia menjadi kategori musik yang dinamis, bahkan cenderung memosisikan diri sebagai sebuah mitos antar kelas sosial dan kuasa negara (Baulch 2010). Hal ini tampak pada perjalanan sejarah musik populer sejak awal Kemerdekaan Indonesia hingga era pasca-Reformasi.
Pada era demokrasi terpimpin, Sukarno yang anti-Barat banyak melakukan pembatasan terhadap budaya luar; termasuk musik populer yang ia anggap kontra revolusioner. Melalui Departemen Penerangan, Sukarno mendirikan label rekaman negara pertama bernama Lokananta pada 1951 di Surakarta. Pendirian Lokananta merupakan upaya membendung imperialisme Barat sekaligus menghidupkan semangat nasionalisme dan jati diri bangsa lewat musik (Departemen Penerangan 1965). Sebagai perwujudan gairah nasionalisme, Lokananta memproduksi berbagai produk kebudayaan yang direkam dalam bentuk auditif, seperti rekaman teater, pertunjukan khas daerah, dan, khususnya, album musik lokal (Yampolsky 1987).
Pertentangan politik Sukarno dengan musik Barat tertuang dalam Manipol USDEK pada 17 Agustus 1959. Dalam pidatonya, ia menyindir habis-habisan kelakuan anak muda yang masih mendengarkan lagu-lagu rock n’ roll yang disebutnya sebagai musik ngak-ngik-ngok. Dampaknya, lahirlah pelarangan musik Barat di tahun 1959–1967 dan berimbas pada drama politik pembubaran band Koes Bersaudara pada tahun 1965 (Pertiwi 2014).
Setelah berakhirnya kekuasaan Sukarno, masa Orde Baru membawa atmosfer baru bagi musik Indonesia. Pandangan masyarakat yang awalnya menganggap musik populer sebatas musik Barat perlahan bergeser semenjak penerimaan dangdut pada awal 1970-an. Rhoma Irama muncul sebagai bintang baru di mata publik lantas mengubah konstelasi musik pada saat itu (Frederick 1982). Rhoma Irama tampil nyentrik dengan gitar elektrik tanpa kepala miliknya. Dangdut yang dibawakan Rhoma Irama merupakan merupakan campuran instrumen musik Arab dan India serta olah vokal yang mendayu ala Melayu.
Masyarakat Indonesia begitu menggandrungi gaya musik yang dibawakan Rhoma Irama, hingga menjadikan dangdut sebagai musik rakyat. Pembentukan term musik rakyat berangkat dari distingsi kelas sosial lantaran pendengar dangdut notabenenya berasal dari masyarakat kelas menengah ke bawah. Media massa menangkap fenomena ini lantas mengasosiasikannya sebagai musik kampungan (Weintraub 2006). Pembagian kelas dalam ranah musik kian kontras jika menilik pendengar musik populer di era awal Kemerdekaan yang didominasi oleh masyarakat gedongan ‘masyarakat kelas atas’. Setelahnya, kancah permusikan Indonesia seolah berada dalam perseteruan antar genre yang tersegmentasi berdasarkan kelas sosial para pendengarnya. Pertarungan musik kampungan vs gedongan pun berlangsung panas dalam kontestasi perebutan panggung musik pop Indonesia.
Namun, persaingan dua genre tersebut pada akhirnya tidak memberikan perubahan sosial-politik apa pun di bawah kuasa absolut rezim Soeharto. Musik pada era ini selalu dimanfaatkan sebagai sarana politik bagi pemerintah untuk kepentingan mobilisasi masyarakat (Mulyadi 1999). Media massa yang dikuasai oleh ABRI memiliki peran vital dalam agenda politis dengan pelarangan terhadap musisi-musisi yang dianggap membahayakan stabilitas kekuasaan Soeharto.
Iwan Fals menjadi salah satu musisi yang menjadi korban. Tepatnya di tahun 1984, ketika Iwan Fals membawakan lagu “Demokrasi Nasi” dan “Mbak Tini”. Dua lagu ini memuat sarat akan kritik yang mengarah pada orang-orang di sekitar Soeharto. “Demokrasi Nasi” mengkritik perilaku onar anak menteri, sedangkan “Mbak Tini” diduga merupakan olok-olok bagi ibu negara, Bu Tien, lantaran kemiripan nama pada lagu ini. Berkat lagu yang dicap sebagai pengaruh buruk bagi stabilitas negara, Iwan Fals harus diinterogasi selama 12 hari (Tempo 1984).
Perkembangan musik populer Indonesia terus berlanjut, pada era pasca-Reformasi musik genre pop Melayu dengan ciri khas cengkok Melayu mendominasi musik Indonesia. Pada kisaran tahun 2000-an, band-band pop Melayu mulai bermunculan, salah satunya band asal Lampung bernama Kangen Band (Baulch 2014). Kangen Band mendulang popularitas berkat album pertamanya dan kian dikenal oleh masyarakat Indonesia. Perjalanan karier Kangen Band dalam menapaki tangga kesuksesan mereka tidak hanya memunculkan genre baru, tetapi juga menggeser citra kampungan ke arah metropolis. Fenomena ini menunjukkan pola yang berbeda dari perkembangan era sebelumnya yang memiliki agenda politik penguasa. Perluasan musik di era pop Melayu lebih didasari pada perkembangan zaman, seperti peralihan masyarakat teknologi cetak ke digital, yang berdampak pada ketertarikan khalayak umum pada selera musik (Baulch 2014).
Mudahnya akses musisi untuk masuk ke dapur rekaman dan menyebarluaskan karya mereka menghembuskan arus musik indie sebagai musik alternatif ke ranah publik (Barendregt dan Zanten 2002). Musik indie merupakan euforia kebebasan berekspresi yang selama era Soeharto begitu mencengkeram. Berangkat dari musik indie, ragam pendengar musik semakin bervariasi. Genre-genre seperti punk, metal, dan ska menjamur di kota-kota besar, seperti Jakarta, Medan, dan Bali. Musik indie segera menjadi gambaran penting terhadap identitas anak muda dengan budaya populer (Baulch 1996).
Kala Musik Dibiarkan Usang dan Terlupakan
Dari zaman ke zaman, musik populer Indonesia telah menunjukkan bahwa musik yang berakar dari masyarakat ini memiliki nilai kulturalnya tersendiri. Musik vernakular tumbuh dari kreativitas rakyat yang mengontraskannya dengan kebiasan musik milik para aristokrat. Perebutan panggung musik antar kelas sosial dan cengkeraman kekuasaan Soeharto terhadap musik menjadi sejarah kelam musik populer Indonesia. Setelah Soeharto tumbang dari pucuk kepemimpinannya, musik populer mulai bangkit. Musik pop Melayu sempat merajai tangga musik seantero negeri. Sedang, di waktu yang bersamaan, musik indie menawarkan sensasi kebebasan lewat musik yang lebih bervariasi. Musik populer lahir melalui praktik pendengaran komunal yang merangkum identitas kolektif dari nilai sosial-kultural selama rentang zamannya (Van Dijck 2009).
Sekarang ini, jejak sejarah yang bersemayam dalam musik populer tampil di muka sebagai representasi identitas. Tumpukan arsip musik populer merupakan perpanjangan ingatan yang menyimpan nilai-nilai kolektif dari masa lampau. Indonesia mendasari pengarsipan dengan dua cara politis, yakni politik klaim dan politik akses. Politik klaim menjustifikasi dilaksanakannya arsip untuk menyatakan kepemilikan suatu bentuk kebudayaan sebelum klaim tersebut dilaksanakan oleh negara lain. Politik akses adalah kontrol dari akses terhadap arsip supaya distribusi informasi tidak dilakukan secara berlebihan. Otoritas dari klaim dan akses menunjukkan sebuah kuasa dan kontrol terhadap politik, sosial-budaya, pengetahuan, serta nilai ekonomi dari lokalitas dan identitas nasional (Murti 2014).
Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan pengarsipan ini justru tak berjalan semulus yang dibayangkan. Buruknya praktik pengarsipan musik Indonesia tampak pada penyimpanan arsip yang amburadul juga keberadaan arsip yang tak banyak diketahui publik. Indonesia patut menutup muka lantaran teledornya praktik pengarsipan yang asal-asalan. Pasalnya, Malaysia sempat mengklaim lagu “Rasa Sayange” di tahun 2007. Peristiwa ini sontak membuat masyarakat Indonesia naik pitam dan kian geram lantaran Indonesia tidak bisa membuktikan kepemilikan lagu tersebut. Pada akhirnya, bukti kepemilikan arsip lagu ini ditemukan tetapi dengan keadaan terbengkalai di ruang penyimpanan yang pengap di studio Lokananta.
Lokananta sebagai label rekaman sekaligus tempat penyimpanan arsip negara nyatanya belum melakukan pengolahan arsip yang cukup memadai. Hal ini tampak pada pendataan inventaris produk Lokananta yang tak kunjung diperbarui. Selama ini Lokananta masih berpaku pada pendataan yang ditulis dalam disertasi berumur 36 tahun milik seorang musikolog asing bernama Philip Yampolsky. Proses penyimpanan dan penataan pun masih dilakukan seadanya karena keterbatasan sarana dan prasarana yang mereka miliki. Adapun pelaksanaan pengarsipan masih rancu sebab belum memenuhi kaidah pengarsipan (Noviana 2017).
Irama dan Ingatan Lestari Bersama
Memori kelam pengarsipan musik Indonesia mulai menuju titik terang. Tepatnya pada tahun 2013, berdirilah Irama Nusantara, organisasi nirlaba yang bergerak pada pelestarian arsip musik populer Indonesia. Pengarsipan yang dilakukan oleh Irama Nusantara memiliki tujuan pelestarian memori kolektif. Organisasi ini diinisiasi oleh tujuh pegiat musik; antara lain David Tarigan, Dian Wulandari, Toma Avianda, Alvin Yunata, Norman Ilyas, Mayumi Haryoto, dan Christoforus Priyonugroho. Mereka sama-sama memiliki kecintaan terhadap musik lawas Indonesia. Di sisi lain, mereka turut merasa khawatir lantaran minimnya data dan informasi yang dapat diperoleh guna menelusuri perkembangan musik populer Indonesia.
Dari keresahan itu, Irama Nusantara berkomitmen untuk mengumpulkan arsip musik-musik populer dari masa silam dan memberdayakannya kembali dengan pendigitilasasian arsip. Selanjutnya, Irama Nusantara mengunggah arsip yang telah mereka digitalisasikan di laman milik mereka. Keberadaan laman ini membuka pintu seluas-luasnya bagi khalayak umum untuk kembali masuk ke zaman ketika musik-musik di masa silam sedang berada pada titik popularitasnya. Dengan begitu, masyarakat akan lebih menyadari keberadaan musik populer Indonesia sebagai bagian dari identitas bangsa. Terhitung dari tahun 2013 hingga sekarang, Irama Nusantara telah mendigitalisasikan arsip sebanyak 5.294 rilisan, 48.458 lagu, serta 253 pustaka musik.
Selain memberikan akses yang terbuka bagi khalayak umum untuk mendengarkan hasil pengarsipannya, Irama Nusantara juga melakukan berbagai upaya edukatif lain. Misalnya, Irama Nusantara merilis mini album yang berisikan lagu-lagu dari masa lampau yang dibawakan oleh musisi-musisi di masa kini supaya lagu-lagu tersebut dapat tetap didengarkan. Selain itu, Irama Nusantara juga merangkai siniar, melaksanakan seminar daring, dan melakukan siaran yang berisi obrolan tentang musik-musik di masa lampau dan cerita di balik musik-musik tersebut. Upaya pengarsipan dan kegiatan edukatif yang dilakukan oleh Irama Nusantara adalah bentuk pengembalian hasil kerja mereka kepada masyarakat (Nurfitria 2021).
Arsip menjadi sebuah konstruksi sosial. Praktik pengarsipan bergantung pada kepentingan dan nilai-nilai sosial yang dimiliki oleh organisasi atau individu yang merangkainya (Schwartz dan Cook 2002). Pengarsipan yang dilakukan oleh Irama Nusantara menunjukkan bentuk pengarsipan yang dilaksanakan oleh komunitas di luar proyek pengarsipan nasional. Pengarsipan yang dilakukan oleh sebuah komunitas mendasari pembentukan konstruksi identitas. Artinya, arsip yang dihasilkan adalah identitas yang kemudian bisa diteruskan oleh masyarakat (Cook 2013).
Pengarsipan musik populer menunjukkan bahwa arsip dapat menjadi sarana pelestarian memori kolektif. Musik populer merekam pengalaman personal maupun komunal pada sebuah peristiwa. Perekaman pengalaman dan peristiwa di dalam musik populer juga dapat merangkai sebuah memori dan identitas bersama (Darajat dan Waluyo 2022). Layaknya senandung yang saling sambung-menyambung, arsip musik menjadi ruang ingatan yang terjaga dan berdinamika dari era ke era. Dari melodi merasuk ke dalam memori.
Bersenang-senanglah
Karena hari ini yang ‘kan kita rindukan
Di hari nanti
Sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Karena waktu ini yang ‘kan kita banggakan
Di hari tua
2002
(“Sebuah Kisah Klasik” oleh Sheila on 7)
Penulis : Aurelius Tapiheru dan Nafiis Anshaari
Penyunting : Elsya Dewi
Ilustrasi : Ferdian Dwi Saputra
Daftar Pustaka
Adhiyatmaka, Ignatius Adhitya. 2021 Dari ngak ngik ngok ke dheg dheg plas: perjalanan musik pop Indonesia 1960–1969. Jakarta: Binatang Press.
Baulch, Emma. 1996. “Rastas and Headbangers: Bali’s Generation X. Inside Indonesia”. Edisi Oktober-Desember. Diakses melalui <https://www.insideindonesia.org/archive/articles/punks-rastas-and-headbangers-bali-s-generation-x>
Baulch, Emma. 2010. “Music for the Pria Dewasa: Changes and Continuities in Class and Pop Music Genres”. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, (3): 99–130.
Baulch, Emma. 2014. “Pop Melayu vs. Pop Indonesia: New Interpretations of a Genre into the 2000s.” Dalam Sonic Modernities in the Malay World: A History of Popular Music, Social Distinction and Novel Lifestyles (1930s–2000s). Disunting oleh Bart Barendregt. Leiden: Brill.
Barendregt, Bart dan Wim van Zanten. 2002. “Popular Music in Indonesia Since 1998, in Particular Fusion, Indie and Islamic Music on Video Compact Discs and the Internet.” Yearbook for Traditional Music (34): 67–114. doi:10.2307/3649190.
Brown, Howard. 1959. “The ‘Chanson Rustique’: Popular Elements in the 15th- and 16th-Century Chanson.” Journal of the American Musicological Society 12, no. 1: 16–26. https://doi.org/10.2307/829514.
Cook, Terry. 2013. “Evidence, memory, identity, and community: four shifting archival paradigms.” Archival Science 13: 95–120. doi:10.1007/s10502-012-9180-7.
Darajat, Irfan. R. dan Waluyo, Waluyo. 2022. “Memori dalam Lagu-Lagu: Memahami Pengelolaan Arsip Musik Populer di Indonesia” KHAZANAH: Jurnal Pengembangan Kearsipan (15): 62–83.
Denning, Michael. 2015. Noise Uprising: The Audiopolitics of a World Musical Revolution. Verso Books.
Departemen Penerangan. 1965. 20 Tahun Indonesia Merdeka Jilid IX: Departemen Penerangan. Jakarta: Departemen Penerangan.
Dijck, Jose. v. 2009. “Remembering Songs through Telling Stories: Pop Music as a Resource for Memory.” Dalam Sound Souvenirs: Audio Technologies, Memory and Cultural Practices. Disunting oleh K. Bijsterveld & J. van Dijck. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Frederick, William H. 1982. “Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture.” Indonesia, no. 34: 103–30. https://doi.org/10.2307/3350952.
Irama Nusantara. Tanpa tahun. Tentang Kami. Diakses September 9, 2023. https://www.iramanusantara.org/about.
Jones, Gaynor dan Jay Rahn. 1977. “Definitions of Popular Music: Recycled.” Journal of Aesthetic Education 11, no. 4: 79–92. https://doi.org/10.2307/3332182.
Mulyadi. Muhammad. R. 1999. “Industri musik nasional : pop, jazz, dan rock, 1960-1990.” Tesis, Universitas Indonesia. Diakses melalui <https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=75923#digital#digital>
Murti, Yoshi F. K. 2014. “Pengantar: Daur Ulang! Kerja Arsip dan Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia.” Dalam Arsipelago! Kerja Arsip dan Pengarsipan Seni Budaya di Indonesia. Disunting oleh Farah Wardani dan Yoshi Murti F. K. Yogyakarta: Indonesian Visual Art Archive (IVAA).
Noviana, Atik Fara. 2017. “Pengelolaan Arsip Audiovisual di Lokananta: Studi Kasus Arsip Musik Sebagai Memori kolektif bangsa Indonesia”. Tesis, Universitas Indonesia. Diakses melalui <https://lib.ui.ac.id/m/detail.jsp?id=20455717&lokasi=lokal>
Nurfitria, Adista. 2021. “Preservasi Arsip Musik sebagai Memori Kolektif: Studi Kasus di Irama Nusantara.” Tesis, Universitas Indonesia. Diakses melalui <https://lib.ui.ac.id/detail?id=9999920520410&lokasi=lokal>
Pertiwi, Ayu. 2014. “Larangan Soekarno Terhadap Musik Barat Tahun 1959–1967.” AVATARA, (2), no. 3, (Oktober): 334-345.
Sakrie, Denny. 2015. 100 tahun musik Indonesia. GagasMedia.
Schwartz, J.M., Cook, T. 2002. “Archives, records, and power: The making of modern memory”. Archival Science 2, 1–19. https://doi.org/10.1007/BF02435628
Setyawan, Aris. “Turba.” Serunai.co, 8 Maret 2017. https://serunai.co/2017/03/08/turba/
Simon, C. 2002.“Introduction: Following the Archival Turn”. Visual Resources: An International Journal of Documentation, 18:2, 101-107. 10.1080/01973760290011770
Storey, John. 2021. Cultural theory and popular culture: An introduction. Routledge.
Tempo. “Demokrasi Nasi Iwan Fals” TEMPO.CO. 1984.
Weintraub, Andrew. N. 2006.“Dangdut Soul: Who are ‘the People’ in Indonesian Popular Music?” Asian Journal of Communication. 16: 411–431.
Yampolsky, Philip. 1987. “Lokananta: A Discography of the National Recording Company of Indonesia: 1957-1985. Bibliography Series no. 10. Madison: University of Wisconsin.” Center for Southeast Asian Studies.
Zakaria, Fahri. 2017. “Memutar Sejarah di Lokananta.” Pophariini.com. https://pophariini.com/memutar-sejarah-di-lokananta/