Selasa (26-09), Fisipol Corner UGM menyelenggarakan diskusi dan bedah buku Metode Jakarta: Amerika Serikat, Pembantaian 1965, dan Dunia Global Kita Sekarang. Bertempat di ruang BE 212 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, acara ini menghadirkan Ita Fatia Nadia, ketua Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan; serta Luqman-nul Hakim, dosen Hubungan Internasional (HI) UGM.
Acara diawali dengan pemaparan Ita yang menjelaskan awal kemunculan “Metode Jakarta” sebagai strategi untuk membasmi gerakan progresif Kiri. Hal tersebut, menurutnya, dipicu oleh kebangkitan negara dunia ketiga dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955. “Itu adalah sebuah konferensi besar yang menandai situasi politik dunia berubah total,” ungkapnya. Ita menerangkan bahwa dalam konferensi tersebut, negara-negara dalam KAA sepeti Indonesia ingin menjadi negara mandiri yang tidak bergantung pada Amerika Serikat.
Lebih lanjut, Ita menjelaskan bahwa kemunculan KAA ini lantas dipandang oleh Amerika Serikat sebagai bentuk ancaman. Hal ini lalu menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi lahirnya rangkaian strategi hitam Amerika Serikat yang akhirnya disebut sebagai Metode Jakarta. “Metode Jakarta ini kemudian mengendap dalam [Gerakan-red] 30 September,” jelas Ita.
Menambahkan Ita, Luqman menuturkan, “Metode Jakarta adalah upaya sistematis yang dilakukan oleh CIA [Badan Intelijen Amerika Serikat-red] untuk melemahkan atau menghancurkan kekuatan progresif di negara berkembang”. Dosen HI UGM tersebut lalu mengatakan bahwa Indonesia adalah contoh keberhasilan [Metode Jakarta-red] yang direplikasi di banyak tempat yang tentu mengalami beberapa transformasi hingga hari ini. Ia juga menggambarkan betapa mengerikannya makna Jakarta pada masa itu yang dilukiskan dalam Metode Jakarta melalui seruan “Jakarta is coming”. Seruan tersebut, menurut Luqman, digunakan di berbagai negara sebagai penanda bahwa “pembantaian” akan datang.
Berdasarkan pengamatan Ita kala berkunjung ke salah satu museum di Chili, ia menemukan metode penumpasan gerakan progresif yang digunakan Amerika ini sangat serupa dengan yang sebelumnya dipraktikkan di Jakarta [Gerakan 30 September-red]. Ita mengatakan, “Di Museum Santiago di Chili, saya melihat masih ada mural-mural namanya Jakarta yang menandakan pembasmian telah tiba.”
Lebih lanjut, Luqman mengungkapkan seberapa jauh intervensi Amerika dalam menumpas gerakan progresif Kiri di negara-negara dunia ketiga. Mengutip dari dokumen United States Overseas Internal Defense Policy, ia menerangkan bahwa Amerika telah mengatur skala keterlibatannya dengan membatasi hanya pada pemberian saran dan materi pelatihan saja. “Jadi sebetulnya, Amerika melakukan itu [intervensi-red]. Tapi yang penting, jangan kelihatan melakukan itu,” ujarnya.
Seusai diskusi, BALAIRUNG mewawancarai Arif Novianto selaku panitia penyelenggara diskusi. Dalam menjelaskan esensi dari kegiatan diskusi ini, ia menyatakan, “Kita ingin memberikan perspektif menarik bagi teman-teman mahasiswa.” Bagi Arif, penggunaan nama Jakarta sebagai simbol dari pembantaian mengerikan perlu untuk dipahami sejarahnya karena merupakan pembelajaran berharga bagi masa depan Indonesia.Â
Penulis: Winema Aleshanee Rasti, Shalma Putri Adistin, dan Tafrihatu Zaidan (Magang)
Penyunting: Fachriza Anugerah
Fotografer: Atha Putra Fausta (Magang)Â