Industri kerap menyuarakan pentingnya melindungi bumi. Oleh mereka, masyarakat pun dikondisikan untuk mengubah pola konsumsi sehari-hari. Saat disingkap lebih jauh, ternyata fenomena ini tak lain sebatas upaya pemilik modal untuk mencari keuntungan. Dalam prosesnya, alam lagi-lagi dirugikan.
Bumi sedang berada dalam sebuah krisis. Pemanasan global, pencemaran badan air, penyusutan sumber daya alam, dan masalah lingkungan lainnya menjadi realita yang harus dihadapi umat manusia. Melihat hal ini, industri tidak tinggal diam. Mereka hadir dengan berbagai inovasi produk yang dipasarkan sebagai solusi dari masalah lingkungan: sedotan alumunium, tas daur ulang, alat elektronik hemat energi, mobil listrik, dan berbagai barang âhijauâ lainnya. Melalui kampanye besar-besaran, industri pun menampilkan dirinya sebagai sosok penyelamat yang berkomitmen untuk mengentaskan masalah lingkungan. Padahal, setiap usaha yang dikerahkan hanyalah tipu daya untuk memperluas pasar dan meraih keuntungan sebesar-besarnya.Â
Perkembangan Kapitalisme Hijau
Secara global, terdapat sebuah konsensus bahwa menyelamatkan lingkungan adalah hal yang baik. Hal ini tercerminkan dalam temuan Global Sustainability Study 2021, sebuah survei dengan 10.281 responden dari 17 negara. Data dari survei tersebut menunjukkan bahwa 78% responden merasa bahwa keberlanjutan lingkungan itu penting. Kesadaran akan konservasi lingkungan tidak hanya ditemui pada masa kini, tetapi juga pada berbagai zaman. Ribuan tahun yang lalu, masyarakat Peradaban Indus sudah menyadari dampak polusi terhadap kesehatan manusia dan menerapkan pengelolaan limbah. Di Yunani, deforestasi yang mengakibatkan erosi tanah membuat para filsuf mengkritik ekstraksi alam demi kepentingan aristokrat. Beranjak ke abad 18, mulai muncul pemikiran tokoh-tokoh, seperti Thomas Malthus, Jean Baptiste Fourier, dan Henry David Thoreau yang menjadi dasar gerakan perlindungan alam. Seiring dengan kerusakan alam yang semakin nyata, gerakan penyelamatan lingkungan secara intensif diusung oleh gerakan akar rumput, lembaga swadaya masyarakat, hingga organisasi antarpemerintah (Weyler 2018).
Semakin mendesaknya krisis lingkungan yang terjadi tak hanya menginspirasi berbagai gerakan perlindungan alam, tetapi juga menginspirasi pemilik modal yang ingin melancarkan usahanya. Respons dari industri terhadap masalah lingkungan adalah menciptakan kapitalisme yang lebih âhijauâ. Oleh pendukungnya, kapitalisme hijau digadang-gadang dapat mendorong inovasi, kompetisi, dan efisiensi ke jalur yang ramah lingkungan (Scales 2014). Mereka berpikir bahwa dengan menekankan efisiensi pasar pada alam dan sumber dayanya, mereka dapat menyelamatkan lingkungan sembari terus menghasilkan uang. Namun, pandangan-pandangan ini sebenarnya tidak lebih dari cara baru untuk mendapatkan keuntungan dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh industri itu sendiri (Cock 2011).Â
Secara lebih spesifik, kapitalisme hijau menggunakan alam sebagai alat pemasaran. Strategi ini disebut dengan green marketing âpemasaran hijauâ, yaitu gabungan berbagai kegiatan, termasuk modifikasi produk, proses produksi, kemasan, dan iklan untuk mempromosikan produk dan jasa yang ramah lingkungan (Mishra dan Sharma 2014). Bentuk pemasaran hijau yang kerap ditemui adalah kampanye kesadaran publik untuk menunjukkan dedikasi suatu perusahaan terhadap isu lingkungan (Akenji 2014). Terdapat pula ecolabelling, misalnya label Forest Stewardship Council yang dikeluarkan PBB pada 1994. Label ini memberi tanda bahwa material produksi berbasis kayu berasal dari hutan yang dikelola secara bertanggung jawab. Selain itu, ada pula label Energy Star ciptaaan Pemerintah Amerika Serikat yang menandakan perangkat elektronik, seperti kulkas, mesin cuci, dan televisi, telah menggunakan energi dengan efisien. Penggunaan label-label semacam ini terbukti meningkatkan penjualan (Ihemezie dkk. 2018).
Upaya industri dalam menggaet konsumen dan membuka pasar baru melalui pemasaran âhijauâ terbukti berhasil. Survei Global Sustainability Study 2021 menunjukkan bahwa 63% responden telah mengubah perilaku konsumsinya dalam upaya untuk menjalani kehidupan berkelanjutan. Bahkan, 34% konsumen rela membayar lebih untuk produk-produk ramah lingkungan. Pola konsumsi ramah lingkungan ini disebut dengan konsumerisme hijau. Konsumerisme hijau mengacu pada preferensi konsumen terhadap produksi, promosi, dan konsumsi barang dan jasa atas dasar klaim ramah lingkungan (Akenji 2014). Artinya, dalam pertimbangan untuk membeli suatu produk, masyarakat mulai melihat dampak ekologis, seperti jejak karbon, jumlah air yang digunakan, serta efisiensi energi. Namun, klaim-klaim mengenai ke-hijau-an suatu produk, yang mendasari perilaku konsumerisme hijau, ternyata sarat akan tipu daya industri.
Kebusukan yang Ditutupi Industri
Pada 1983, seorang pemerhati lingkungan bernama Jay Westerveld menemukan sebuah ironi mengejutkan saat ia sedang berlibur di Fiji. Di sebuah hotel, ia menemukan catatan yang meminta pengunjung untuk menggunakan ulang handuk mereka demi menyelamatkan lingkungan. Westerveld menggarisbawahi hipokrisi hotel tersebut yang menggambarkan program penggunaan ulang handuk sebagai contoh dari tanggung jawab mereka terhadap lingkungan. Padahal, di saat yang sama, mereka gagal memperhatikan aspek-aspek yang lebih penting, seperti daur ulang limbah dan kerusakan lingkungan akibat ekspansi resor itu sendiri. Dari peristiwa ini, Westerveld mencetuskan konsep greenwashing untuk pertama kalinya (Pearson 2010).
Greenwashing adalah penyebaran informasi palsu atau tidak lengkap oleh suatu organisasi untuk menyajikan citra publik sebagai organisasi yang bertanggung jawab terhadap lingkungan (Furlow 2010). Hingga saat ini, praktik greenwashing kerap ditemui pada berbagai lini industri. Aftonbladet, salah satu surat kabar terbesar di Swedia, melakukan investigasi yang mengungkap praktik greenwashing perusahaan pakaian H&M. Raksasa fesyen tersebut tiap tahunnya mengumpulkan jutaan pakaian bekas dari konsumen melalui program daur ulang yang dipromosikan sebagai upaya mengentaskan masalah limbah tekstil. Dalam investigasinya, Aftonbladet menyematkan alat pelacak pada sepuluh pakaian layak pakai dan menyumbangkan pakaian-pakaian tersebut di gerai H&M. Ternyata, sebagian dari pakaian yang disumbangkan berakhir di negara-negara Afrika yang memiliki masalah limbah tekstil, sebagian lainnya dihancurkan menjadi serat. Investigasi ini juga mengungkap besarnya volume bahan bakar yang diperlukan dalam program tersebut, dengan total jarak yang ditempuh kesepuluh pakaian tersebut mencapai satu setengah kali mengelilingi bumi.Â
Praktik greenwashing lainnya yang sangat mudah dijumpai adalah penggunaan tas reusable âpakai ulangâ sebagai alternatif dari kantong plastik. Praktik tersebut sangat umum ditemui dan luput dari kritik karena sampah plastik dipandang sebagai salah satu masalah terbesar mengenai lingkungan sehingga penggunaannya pun secara mutlak perlu digantikan. Padahal, faktanya tidak demikian. Ahamed dkk. (2021) menganalisis siklus produk alternatif kantong plastik termasuk produksi, distribusi, pengumpulan limbah, pengolahan limbah, dan pembuangan akhir dari tiap jenis kantong yang diteliti. Dari penelitian tersebut, ditemukan bahwa beralih dari kantong plastik ke kantong kertas atau kain justru menimbulkan dampak lingkungan yang lebih buruk. Tas kertas dan tas berbahan katun tenun menunjukkan dampak negatif tertinggi dalam aspek penyusutan sumber daya abiotik, pencemaran air, risikonya terhadap kesehatan manusia, dan potensi peningkatan keasaman laut. Sementara, penggunaan tas spunbound baru terhitung lebih ramah lingkungan dari kantong plastik apabila digunakan lebih dari 50 kali.Â
Pada industri energi, greenwashing juga menjadi momok yang menghantui. Meskipun dianggap lebih âhijauâ dibandingkan minyak bumi, produksi biofuel berkontribusi pada penebangan hutan hujan tropis dan hilangnya biodiversitas (Groom dkk. 2008). Produksi teknologi âhijauâ seperti mobil listrik pun membutuhkan penambangan massal yang menyebabkan berbagai masalah lingkungan. Penambangan lithium yang digunakan dalam baterai mobil listrik terbukti berisiko menyebabkan polusi air, kekeringan, dan penurunan tanah serta meracuni flora dan fauna (Kaunda 2020).Â
Contoh nyata pembangunan berkedok hijau lainnya juga dapat dilihat dari pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Dieng, Jawa Tengah. Liputan BALAIRUNG di Dieng menemukan pembangunan pembangkit listrik alternatif tersebut merugikan masyarakat sekitar. Warga mengaku bahwa pengeboran PLTP membuat tanaman di persawahan mereka rusak dan tidak dapat tumbuh subur. Selain itu, suara bising proyek dan perubahan rasa air juga turut dirasakan masyarakat Dieng.
Kapitalisme Tidak Akan Pernah Hijau
Dalam prosesnya, konsumerisme hijau meletakkan tanggung jawab pada konsumen untuk mengatasi masalah lingkungan. Hal ini menyembunyikan kebutuhan akan perubahan pada level makro (Scales 2014). Data dari Global Sustainability Study 2021 mengonfirmasi fenomena tersebut. Hasil survei menunjukkan bahwa 29% responden melihat diri mereka sebagai aktor utama dalam penyelamatan lingkungan, alih-alih perusahaan ataupun aktor politik.Â
Konsumerisme hijau meyakinkan konsumen bahwa tindakan individual saja sudah cukup untuk menyelamatkan lingkungan karena konsumen memiliki kekuatan dalam pasar. Padahal, dalam kapitalisme, konsumen bukanlah raja. Pasar didominasi dan ditentukan arah geraknya oleh korporasi raksasa yang terus mencari jalan untuk memperlancar akumulasi kapitalnya. Mereka memiliki kekuatan monopoli dan campur tangan dalam proses pasar itu sendiri. Dampaknya, kepentingan privat didahulukan di atas kepentingan publik (Magdoff dan Foster 2018).
Pada akhirnya, kapitalisme tidak akan pernah hijau. Hal ini disebabkan oleh aturan tak terelakkan dalam kapitalisme: maksimalisasi keuntungan di atas segalanya. Artinya, segala upaya hijau tidak benar-benar mengutamakan kepentingan alam. Kedok âhijauâ yang ditampilkan oleh industri hanya menjadi alat untuk menarik konsumen yang peduli lingkungan tanpa adanya komitmen yang jelas mengenai dampak ekologis. Tak jarang, berbagai upaya âhijauâ justru memperparah kerusakan yang ada. Pemasaran hijau digaungkan tanpa henti, yang pada gilirannya berperan dalam menciptakan keinginan-keinginan baru dan peningkatan konsumsi. Padahal, konsumsi berlebih adalah sebab dari berbagai kerusakan lingkungan.
Berbagai kebusukan kapitalisme hijau menjadi bukti bahwa solusi paling tepat dalam menangani krisis lingkungan tidak terletak pada teknologi-teknologi baru yang menanti untuk diciptakan, pun efisiensi pasar yang mitosnya dapat menyelamatkan alam sambil mencari keuntungan. Smith (2011) berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk mencegah kehancuran adalah dengan mengurangi aktivitas ekonomi di negara-negara maju, serta membatasi produksi hingga menutup berbagai industri yang tidak perlu, yang boros sumber daya, dan yang mencemari lingkungan. Namun, selama kapitalisme masih beroperasi, hal ini hanyalah angan-angan. Negara dan industri akan terus terjebak dalam dorongan pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas dan segala upaya âhijauâ adalah omong kosong belaka.
Penulis : Seravin Afra Secunda
Penyunting : Tuffahati Athallah
Fotografer : Bayu Tirta Hanggara
Daftar Pustaka
Ahamed, Ashiq, Pramodh Vallam, Nikhil Shiva Iyer, Andrei Veksha, Johan Bobacka, and Grzegorz Lisak. 2021. âLife Cycle Assessment of Plastic Grocery Bags and Their Alternatives in Cities with Confined Waste Management Structure: A Singapore Case Study.â Journal of Cleaner Production 278 (2021): 123956. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.123956.Â
Akenji, Lewis. 2014. âConsumer Scapegoatism and Limits to Green Consumerism.â Journal of Cleaner Production 63: 13â23. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2013.05.022.Â
Baum, Lauren M. 2021. âIt’s Not Easy Being GreenââŠâor Is It? A Content Analysis of Environmental Claims in Magazine Advertisements from the United States and United Kingdom.â Environmental Communication 6, no. 4: 423â40. https://doi.org/10.1080/17524032.2012.724022.Â
Cock, Jacklyn. 2011. âGreen Capitalism or Environmental Justice: A Critique of the Sustainability Discourse.â Focus 63: 45â51.
Energy Star. n.d. âAbout ENERGY STAR.â Diakses September 15, 2023. https://www.energystar.gov/about.Â
Forest Stewardship Council. n.d. âWhat the FSC Labels Mean.â Diakses September 15, 2023. https://fsc.org/en/what-the-fsc-labels-mean.Â
Furlow, Nancy E. 2010. âGreenwashing in the New Millennium.â Journal of Applied Business & Economics 10, no. 6: 22â25.
Groom, Martha J., Elizabeth M. Gray, and Patricia A. Townsend. 2008. âBiofuels and Biodiversity: Principles for Creating Better Policies for Biofuel Production.â Conservation Biology 22, no. 3: 602â9. https://doi.org/10.1111/j.1523-1739.2007.00879.x.Â
Ihemezie, Eberechukwu Johnpaul, Ikenna Charles Ukwuaba, and Amaka Precious Nnaji. 2018. “Impact of âGreenâ product label standards on consumer behaviour: a systematic review analysis.” International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences 8, no. 9: 666-684. http://dx.doi.org/10.6007/IJARBSS/v8-i9/4647.Â
Kaunda, Rennie B. 2020. âPotential Environmental Impacts of Lithium Mining.â Journal of Energy & Natural Resources Law 38, no. 3: 237â44. https://doi.org/10.1080/02646811.2020.1754596.Â
Lestari, Yeni Sri. 2018. “Environmentalism dan green politics: pembahasan Teoretis.” Community: Pengawas Dinamika Sosial 2, no. 2: 188â200.
Lieven, Theo. 2015. âPolicy Measures to Promote Electric Mobility â a Global Perspective.â Transportation Research Part A: Policy and Practice 82: 78â93. https://doi.org/10.1016/j.tra.2015.09.008.Â
Lindberg, Staffan. 2023. âAftonbladetâs investigation into H&Mâs recycling in 9 points.â Aftonbladet, Juni 13, 2023. https://www.aftonbladet.se/nyheter/a/jlME1e/aftonbladet-investigation-into-h-m-s-recycling-airtags-in-items.
Magdoff, Fred dan Foster, John Bellamy. 2018. Lingkungan Hidup dan Kapitalisme: Sebuah Pengantar. Diterjemahkan oleh Pius Ginting. Serpong: Marjin Kiri.
Mishra, Pavan, dan Payal Sharma. 2014. “Green marketing: Challenges and opportunities for business.” BVIMR Management Edge 7, no. 1.
Pearson, Jason. 2010. “Are we doing the right thing? Leadership and prioritisation for public benefit.” Journal of Corporate Citizenship 37: 37-40.
Scales, Ivan R. 2014. âGreen Consumption, Ecolabelling and Capitalism’s Environmental Limits.â Geography Compass 8, no. 7: 477â89. https://doi.org/10.1111/gec3.12142.Â
Simon-Kucher & Partners. 2021. Global Sustainability Study 2021. Diakses dari https://www.simon-kucher.com/sites/default/files/studies/Simon-Kucher_Global_Sustainability_Study_2021.pdfÂ
Smith, Richard. 2015. Green capitalism: the god that failed. London: College Publications.
Weyler, Rex. 2018. âA Brief History of Environmentalism.â Greenpeace. https://www.greenpeace.org/international/story/11658/a-brief-history-of-environmentalism/.
1 komentar
Astaghfirullah, dzalim!