Ada sebuah pernyataan menarik guna merayakan Hari Tani Nasional yang diperingati hari ini. “Kalaupun dikatakan sebagai reform, maka kebijakan agraria Jokowi bukan dipimpin oleh negara, melainkan oleh pasar (market-led reform) yang menguntungkan korporasi,” tulis Roy Murtadho yang saat itu masih aktif sebagai Koordinator Nasional Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Pernyataan bernada keras di atas datang sebagai buntut pembahasan mengenai omong kosong reforma agraria di Indonesia, khususnya, pada era Joko Widodo. Apa pasal?
Dalam Majalah BALAIRUNGĀ Edisi 55/TH. XXXIV/2019, pria yang akrab disapa Gus Roy itu menyatakan bahwa slogan-slogan reforma agraria hari ini masih jauh bertolak belakang dari konsep reforma agraria sejati. Maraknya konflik agraria, intransparansi data tanah Hak Guna Usaha, dan kemunculan sengketa tanah akibat korporasi sudah membuktikan hal tersebut. Baginya, reforma agraria sejati hanya bisa dicapai apabila ada penataan kembali atau perombakan struktur kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria untuk kepentingan rakyat kecil. Simak artikel selengkapnya.
āKebijakan Reforma Agraria Jokowi bukanlah Reforma Agraria. Jadi, tak ada Reforma Agraria, yang ada hanyalah kebijakan agraria. Karena itu, jangan menyebut kebijakan agraria Jokowi sebagai Reforma Agraria. Ini menyesatkan. Land Reform saja bukan, apalagi Agrarian reform.ā Demikian pernyataan Gunawan Wiradi, pemikir agraria kenamaan, yang disampaikan berulang kali dalam berbagai kesempatan diskusi mengenai Reforma Agraria (RA).Ā¹
Tidak bisa dimungkiri, kini terminologi RA telah menjadi pembicaraan hangat tak hanya di kalangan para peneliti dan pegiat agraria, tetapi juga di masyarakat luas. Terlebih lagi, setelah diadopsinya terminologi RA ke dalam nomenklatur kebijakan agraria pada era pemerintahan Jokowi. Di kalangan para peneliti dan pegiat agraria sendiri, sejak semula telah terjadi perdebatan yang cukup keras mengenai hal ini. Sebagian menganggapnya sebagai berkah, tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai musibah.
Pihak pertama melihat pengadopsian terminologi RA ke dalam kebijakan pertanahan pemerintah sebagai langkah maju, terutama setelah sekian lama RA gagal dilaksanakan di Indonesia. Mereka melihatnya sebagai kesempatan politik yang harus didukung, seartifisal apa pun pelaksanaannya. Sementara itu, pihak kedua melihatnya sebagai upaya mereduksi pengertian RA yang sejati. Alih-alih menjawab persoalan ketimpangan struktur agraria dan konflik di sektor agraria, pelaksanaannya yang artifisial justru memberi peluang penguasaan tanah untuk kepentingan modal melalui sertifikasi tanah.
Mengingat banyak kejanggalan dalam pelaksanaannya, apakah tepat jika kebijakan agraria Jokowi disebut RA? Di sinilah letak persoalannya. Perlu adanya pendiskusian kebijakan agraria dengan kembali merujuk pada semangat dan tujuan RA dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 yang biasa disebut sebagai RA sejati.
Reforma Agraria Sejati
Tujuan utama dari Reforma Agraria sejati adalah melakukan penataan kembali atau perombakan struktur kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria (utamanya tanah) untuk kepentingan rakyat kecil, yakni petani kecil, buruh tani, tunakisma, secara menyeluruh dan komprehensif. la sekurangnya mempunyai tiga ciri utama: bersifat tegas dan dijalankan dengan kerangka waktu tertentu; seperti di Jepang 4 tahun, di India 5 tahun, di Mesir 7 tahun, dsb.; lembaga pelaksanaanya bersifat sesuai kerangka waktu yang telah ditetapkan; dan dikerjakan dengan cepat. Ketiga hal tadi, secara teknis, dikerjakan oleh sebuah badan khusus yang mempunyai otoritas penuh dalam menyelenggarakan RA; mereka bertugas untuk mengkoordinasi semua sektor terkait demi mempercepat proses pelaksanaan dan menangani konflik kepentingan yang kemungkinan besar terjadi.
Karena itu, terdapat sejumlah prinsip yang harus dipegang agar pelaksanaan RA sesuai dengan tujuannya: memberikan tanah bukan kepada mereka yang āongkang-ongkang kakiā, melainkan kepada para penggarap yang benar-benar mengerjakannya. Selain itu, RA juga bertujuan untuk mengarusutamakan tanah sebagai fungsi sosial. Dengan demikian, tanah tidak dijadikan sebagai komoditas komersial, apalagi untuk kepentingan modal besar.
Secara teoritis, pelaksanaan RA di Indonesia dijalankan secara neo-populis (bukan komunis atau kapitalis) meski Bung Karno sendiri kerap memakai istilah āsosialisme Indonesiaā. Tanah diredistribusikan kepada petani penggarap alih-alih dikolektivisasi oleh negara seperti di negara-negara sosialis. Secara historis, RA tak bisa dipisahkan dari cita-cita perjuangan Kemerdekaan untuk mewujudkan kehidupan yang adil dan sejahtera bagi rakyat Indonesia dengan cara mengikis sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme. Maka, belumlah bisa dikatakan sebagai merdeka meski mempunyai pemerintahan oleh bangsa sendiri, sebelum keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia terwujud.
Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, para pemimpin bangsa telah memikirkan dan mencanangkan perumusan undang-undang agraria baru demi mengganti undang-undang agraria kolonial tahun 1870. Disebabkan oleh kondisi politik yang belum stabil, pembentukan panitia agraria berlangsung silih berganti selama 12 tahun; mulai dari panitia agraria Yogyakarta 1948, panitia agraria Jakarta 1952, panitia Suwahyo 1956, panitia Sunaryo 1958, hingga rancangan Sujarwo 1960.
Di Indonesia, pelaksanaan RA sejati pernah dicoba melalui UUPA tahun 1960. Namun, usaha tersebut gagal sejak peristiwa 1965 dan bergantinya pemerintahan. Sebagaimana dikatakan oleh Gunawan Wiradi, tidak hanya pelaksanaannya yang belum usai, bahkan rancangan programnya pun juga belum tuntas. Penjabaran UUPA 1960 melalui UU No. 56/1960 yang dikenal sebagai land reform baru sebatas menyangkut pertanian rakyat. Sedangkan, sektor-sektor lain seperti perkebunan, pertambangan, kelautan, dan kehutanan belum sempat tergarap.
Salah Kaprah Kebijakan Agraria
Pada masa Reformasi, gagasan land reform muncul kembali pada 2001 dengan lahirnya TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan ditindaklanjuti dengan Keppres No. 34/2003 yang memberi mandat kepada BPN (Badan Pertanahan Nasional) untuk melakukan penyempurnaan terhadap UUPA 1960. Namun, Rancangan Undang-Undang (RUU) Agraria sebagai pelaksanaan Keppres No. 34/2003 malah mengubah UUPA 1960 alih-alih menyempurnakannya.
Sekarang di era pemerintahan Jokowi, RA mulai digulirkan kembali sebagai prioritas nasional yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015ā2019. Penetapan itu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden No. 45/ 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 dan disusul dengan Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria.
Fokus kebijakan agraria Jokowi adalah legalisasi dan redistribusi aset yang disebut Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 9 juta ha. Dari luasan tersebut, ditargetkan 4,5 juta ha untuk legalisasi aset yang terdiri dari 3,9 juta ha untuk sertifikasi tanah-tanah warga dan 0,6 juta ha untuk lahan transmigrasi. Sisanya, tanah seluas 4,5 juta ha dialokasikan untuk redistribusi aset yang terdiri dari 0,4 juta ha dari lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang telah habis masa berlakunya dan yang ditelantarkan, dan 4,1 juta ha dari pelepasan kawasan hutan negara.
Bila tujuan minimalnya untuk mengurangi konflik pertanahan yang angkanya tiap tahun terus meningkat, maka kebijakan agraria Jokowi telah gagal sejak dalam pikiran. RA diterjemahkan sebatas bagi-bagi sertifikat pada tanah yang berstatus jelas dan pasti. Padahal, semua konflik tanah yang terjadi justru statusnya masih sengketa, umumnya antara petani penggarap atau petani kecil dengan korporasi dan perhutani. Obral sertifikat juga bisa dibaca sebagai upaya memfasilitasi kepentingan modal besar agar tanah lebih mudah beralih tangan. Tak heran, berulang kali dalam berbagai kesempatan pembagian sertifikat, presiden mengatakan bahwa tanah yang sudah dapat sertifikat bisa digunakan sebagai modal usaha.
Kalaupun dikatakan sebagai reform, maka kebijakan agraria Jokowi bukan dipimpin oleh negara, melainkan oleh pasar (market-led reform) yang menguntungkan korporasi. Beberapa dalil market-led reform adalah menempatkan tanah sebagai komoditas, jual beli tanah harus bebas, dan legitimasi hak pemilikan harus diprioritaskan. Karena itu, pembagian sertifikat diutamakan dan dibanggakan sebagai keberhasilan pelaksanaan RA.
Sedangkan mengenai tanah-tanah HGU, hingga kini datanya tak pernah dibuka oleh kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan alasan melindungi pengusaha sawit. Padahal, Forest Watch Indonesia telah memenangkan gugatan di MA pada ATR/BPN untuk membuka data kepemilikan HGU. Sehingga wajar bila penguasaan tanah secara luas, seperti Prabowo maupun orang-orang dekat presiden, tidak tersentuh oleh kebijakan agraria Jokowi. Selain dianggap legal, mereka juga tidak masuk ke dalam TORA.
Kebijakan agraria presiden Jokowi secara umum memunggungi semangat dan prinsip UUPA 1960: di satu sisi mengatakan hendak mengikis ketimpangan agraria dan konflik agraria, tetapi di sisi lain kebijakan-kebijakan pembangunan pemerintah justru makin memperkeras konflik agraria, khususnya perampasan tanah untuk infrastruktur jaringan transportasi dan energi.
Dengan demikian, pernyataan Jokowi bahwa, ādalam empat setengah tahun ini, hampir tidak terjadi konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur, karena tidak ada ganti rugi, yang ada adalah ganti untung,” tidak sesuai dengan kondisi konkret di lapangan di mana banyak masyarakat yang menolak pembangunan infrastruktur mendapatkan berbagai ancaman, bahkan kriminalisasi.
Penutup
Berdasarkan kondisi konkretnya, Indonesia dapat dikatakan belum mengalami transisi dari agraris ke industri. Meskipun industrialisasi telah berjalan sejak lama, RA belum pernah dilakukan secara tuntas. RA semestinya dilakukan sebelum berlangsungnya proses industrialisasi sebagai landasan pembangunan yang lebih kokoh.
Reforma Agraria perlu diperjuangkan melalui land reform by leverage. Artinya, rakyat sendirilah yang berupaya mendongkraknya. Dengan demikian, dibutuhkan kader-kader penggerak RA yang berbasis pada organisasi-organisasi tani lokal, terutama para petani gurem dan buruh tani, untuk memperjuangkan terwujudnya RA sejati di Indonesia sebagaimana seharusnya.
Dengan tegas harus kita katakan bahwa kebijakan agraria Jokowi adalah reforma yang pura-pura (quasi-reform) atau reforma gadungan (pseudo-reform): suatu kebijakan yang seolah-olah melakukan pembaruan, tetapi hakikatnya bukan pembaruan. Kebijakan agraria Jokowi tidak lain adalah pendomplengan terhadap terminologi RA. Maka dari itu, sudah menjadi tugas dan tanggungjawab kita semua untuk meluruskannya.
Roy Murtadho
Koordinator Nasional Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam
Catatan Akhir
1. Lihat misalnya, Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir (Bogor: Sajogyo Institute, 2009).
Artikel ini ditulis dengan penyuntingan oleh Rafi Pahrezi.