Jelang dua tahun kebijakan relokasi Malioboro terlaksana. Jelang dua tahun itu pula hari-hari pedagang kaki lima berlinang air mata. Seandainya air mata itu bisa dijual, mereka kaya.
Bersama dengan bunyi tapak kaki kuda yang berkeletak, deru mesin becak motor (bentor) itu turut menabuh keramaian malam Malioboro. Ketiga rodanya menggelinding di atas aspal jalan raya. Joko, sang pengendara, dengan lincah mengarahkan bentornya untuk melesat di antara sela-sela motor dan delman yang memadati jalanan. “Dibanding dengan kerja ikut orang, penghasilan saya kadang lebih banyak di becak,” tutur Joko.
Roda perekonomiannya macet semenjak ia dan segenap Pedagang Kaki Lima (PKL) lainnya terusir dari Jalan Malioboro. Mereka terpaksa memindahkan dagangan mereka ke Teras Malioboro 1 dan 2 karena kebijakan relokasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Di lapak baru tersebut, dagangan Joko tak lagi selaris dahulu.
Hal itulah yang memicu keinginan Joko untuk mencari pekerjaan lain. Sebelum memutuskan turun ke jalan dengan bentor, Joko sempat menjajal profesi sebagai tukang las. Namun, uang yang dihasilkan setelah ia seharian bergelut dengan besi dan percikan api ternyata tak sesuai harapan. “Kalau saat saya berdagang di Malioboro dulu, penghasilan saya saat sepi saja 300-400 ribu,” jelasnya. Joko mengenang masa-masa ketika ia bersama sang istri masih menjajakkan bakso dan mi ayam di tepi Jalan Malioboro.
Relokasi Artinya Ganti Profesi
Sejak Kamis 3 Maret 2022 silam, warung bakso dan mi ayam milik Joko terpaksa meninggalkan lapaknya di Jalan Malioboro. Warung yang dirintis oleh mertuanya ini sudah berdiri di tempat itu sejak tahun ‘80-an. Bersama para pedagang asongan lainnya, Joko memindahkan gerobak ke sepetak lapak berukuran 1,2 x 1,2 meter di Teras Malioboro 1. “Saya dapat tempat di paling belakang. Saya enggak kenal siapa-siapa,” renung Joko.
Menurut Joko, ada praktik manipulasi yang turut mewarnai pembagian lapak di Teras Malioboro 1 dan 2. Ia menuding bahwa ada beberapa anggota paguyuban pedagang yang dekat dengan para “orang atas” yang menguasai kegiatan relokasi pedagang. “Kalau kamu bisa mengondisikan anggotamu untuk tanda tangan di atas materai, kamu tak kasih tempat paling depan,” ujar Joko menirukan iming-iming yang dijanjikan oleh pengurus relokasi kepada sejumlah pedagang.
Selain mendapat lapak paling belakang, Joko juga menyebutkan tempat yang diberikan terlalu sempit. Ia dan 50 pedagang kuliner lainnya terpaksa berdesak-desakkan. Sedangkan, tempat itu hanya cukup untuk 20 meja pelanggan. “Itu kan sangat nggak cukup. Kita rebutan,” kisahnya.
Semenjak relokasi, dagangan Joko tak lagi laris manis seperti dahulu. Tiada lagi tumpukan mangkuk bekas bakso dan mi ayam yang menggunung di cucian. Meja-meja baru yang berjajar di depan gerobaknya kosong melompong setiap hari. Bahkan, dua kilogram nasi yang ia masak tak pernah habis. Butiran-butiran nasi itu berakhir membusuk di dalam baskom. “Jangankan mau untung, balik modal saja enggak,” tandas Joko.
Situasi lapaknya di Teras Malioboro 1 yang gersang akan pengunjung itu memaksa Joko dan istrinya gulung tikar. Mereka membiarkan gerobaknya diselubungi terpal, teronggok begitu saja di lapak. Setelah meliburkan warungnya, Joko segera mencari pekerjaan lain. Sehabis mencoba bekerja di bengkel las, ia menemukan sumber mata pencaharian lain yang lebih menjanjikan sebagai sopir bentor. “Ini belum lama beli becaknya. Baru bulan puasa kemarin,” kata Joko sembari mengelus rangka besi becaknya yang disambungkan dengan mesin motor.
Bagaimana pun, pendapatan Joko sebagai sopir bentor tidak sebanyak pendapatannya saat masih berjualan di jalan. Jika penumpangnya banyak, ia bisa mengantongi Rp100.000 dalam sehari. Namun, Joko juga sering terpaksa pulang hanya dengan beberapa lembar uang puluhan ribu di kantongnya. “Namanya rezeki yo nggak mesti to, tapi dah lah, kita jalani aja,” ucap Joko ikhlas, “yang penting niatnya baik. Saya kira, Tuhan juga pasti ngasih yang baik.”
Sebenarnya, menurut Joko, semua PKL Malioboro sudah pasrah digencet oleh nasib yang menimpa mereka. Usaha mereka melaporkan ke DPRD DIY berujung sia-sia. Semua keputusan relokasi dipegang oleh gubernur. “Kami pasrah karena memang tidak ada pilihan lain. Kami dipaksa menelan pilihan yang sama-sama pahit,” ungkap Joko.
Tak hanya Joko, ada pula Dewi, seorang PKL Malioboro yang juga dipaksa oleh keadaan untuk gulung tikar. Ia meninggalkan pekerjaannya menjual berbagai jenis kerajinan yang sudah dilakoninya selama puluhan tahun. Masa-masa ketika ia dan para pedagang terburu-buru angkat kaki dari Malioboro masih terpatri jelas di ingatan Dewi. Setelah Pandemi Covid-19 berakhir, mereka langsung menerima pemberitahuan yang memerintahkan arahan untuk mengikuti relokasi. “Habis Pandemi Covid, baru mulai jualan. Baru mau bagus ekonominya, eh malah direlokasi,” keluh Dewi.
Setibanya di tempat relokasi, Dewi dan pedagang lainnya disambut oleh kavling kosong. Kondisi itu mendesak para pedagang untuk merogoh kocek mereka sendiri untuk memperbaiki lapak. “Waktu itu, pedagang mengelas besi-besi hingga membangun sesuatu yang mirip kandang macan,” tutur Dewi.
Berdasarkan undian yang diperoleh, Dewi mendapat jatah lapak yang terletak di bagian belakang Teras Malioboro 1. Lapaknya itu berdekatan dengan area kuliner. Selama berdagang di sana, kepulan asap-asap dari bara api selalu menghampiri dirinya. Biaya hidup Dewi pun jadi meningkat karena kebutuhan samponya semakin boros. Ia harus mencuci rambutnya yang lengket terkena asap setiap hari. “Sudah dekat sama kuliner, dagangan enggak laku pula,” kata Dewi.
Tak berhenti sampai di situ, Dewi bahkan sampai rela membanting harga habis-habisan demi menjual dagangannya. Kendati ada orang yang menawar dengan harga rendah, ia terpaksa mengiyakan. “Masih ada bensin yang harus diisi. Kalau nggak banting harga, nggak bisa makan dan pulang,” ungkap Dewi.
Tak main-main, Dewi bahkan berani melepas dagangannya hanya dengan untung sebesar dua ribu rupiah. Menurutnya, banting harga adalah cara yang lebih baik daripada berutang pada orang lain. “Daripada nggolek utangan, teman-teman di area saya sama-sama nggak punya uang karena tidak laku,” ucap Dewi.
Namun, usaha Dewi banting harga juga tidak berbuah manis. Barang jualannya semakin menipis, tetapi ia tak memiliki uang yang cukup untuk membeli dagangan. Tidak adanya pemasukan memantik kebingungan di benak Dewi. Ia dirundung ketakutan tidak akan bisa melanjutkan hidup jika pemasukannya nihil. Sampai akhirnya, Dewi melihat sebuah kesempatan lain yang bisa dilakukan demi mendapat uang. “Kebetulan ada teman yang jadi tukang pijat. Saya tanya, lalu tertarik dan ingin coba,” jelasnya menceritakan awal mula dirinya menggeluti profesi sebagai tukang pijat.
Sebelum duduk di tepi Jalan Malioboro dan menawarkan jasa pijat kepada para wisatawan, Dewi sudah terlebih dahulu mengamati tukang pijat lain bekerja. Ia mengingat-ingat bagian tubuh mana saja yang enak dipijat serta cara-cara memijatnya. Semenjak menjadi tukang pijat, Dewi bisa mendapatkan penghasilan setiap hari. Namun, ketika ditanya berapa nominal yang dihasilkan dalam satu hari, Dewi menolak untuk membeberkan. “Yang penting, saya bersyukur dengan pemasukan saya. Saya bisa hidup,” tegasnya sembari mengulas senyum.
Selama ia mencari nafkah dengan memijat orang-orang di tepi Jalan Malioboro, Dewi mengaku tak pernah menetapkan target pendapatan per hari. Ia berkeyakinan bahwa bersyukur atas apa yang diberikan oleh Tuhan adalah sesuatu yang harus dilakukan. “Nrimo ing pandum itu karena saya bersyukur. Seberapa pun harus disyukuri.” Dewi terkekeh sebelum berkata lagi, “Kalau ada yang nglarisi, yo wis ayem.”
Perlawanan Itu Masih Ada
Bertolak belakang dengan Joko dan Dewi, Sri Sunarti yang kerap disapa Yati, memilih untuk tetap bertahan dan berdagang di Teras Malioboro 1. Uzurnya usia tak menghalanginya untuk menyuarakan hak-hak dan keresahan PKL Malioboro yang pontang-panting menyambung hidup pasca-Relokasi. Di kalangan PKL Malioboro, Yati merupakan salah satu orang yang paling vokal ketika berbicara tentang relokasi yang dirasa sepihak.
Sorot matanya tajam dipenuhi amarah ketika mengingat permintaan PKL untuk direlokasi usai lebaran tak diindahkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta selaku penginisiasi kebijakan. Permintaan itu diajukan dengan pertimbangan ekonomi yang baru merangkak. Ekonomi para PKL sempat lumpuh semasa pandemi. “Aku dan teman-teman biar mencari bekal dahulu untuk hidup di Teras Malioboro 1,” ujarnya.
Sejenak kemudian, sorot mata tajam penuh amarah itu memudar. Sendu dan pilu berganti menghantui parasnya. Hati Yati tergerus ketika teringat PKL lain yang mati-matian mencari cara supaya anak-anak mereka dapat tetap mengenyam bangku pendidikan. “Temen-temen yang masih membiayai anak-anake sekolah itu sampai nggadekke (menggadaikan) sertifikat. Opo-opo didol (apa-apa dijual). Lara ning ati (sakit di hati). Sakit!” ungkapnya sembari menahan tangis.
Tak hanya itu, Yati juga menyayangkan renggangnya relasi antar-PKL setelah relokasi terjadi. Saat masih berdagang di tepi Jalan Malioboro, mereka memiliki ikatan yang erat dan akrab. “Sekarang, ibaratnya hidup sendiri-sendiri. Dulu sewaktu di Malioboro, saya bisa meminta tolong ke PKL lain menjaga dagangan saya ketika tak tinggal” keluh Yati.
Kondisi pelik pasca-Relokasi tak membuatnya patah arang membela hak-hak PKL yang merana. Ia tak ingin menyerah dan menerima keadaan begitu saja. “Nrimo ing pandum itu artinya kita nggak mau berbuat yang nggak bener, Mas. Nggak mau mengambil hak orang lain,” tegas Yati. Ia tak mau jika para PKL hanya dituntut untuk menuruti apa kata pemerintah. Ia merasa hak-hak PKL juga harus dipenuhi.
Narasi PKL naik kelas yang acapkali digembar-gemborkan media ditolak mentah-mentah oleh Yati. “Sini kan semboyannya PKL naik kelas, saya selalu nyauti ‘hasil terjun bebas!’,” ujarnya. Menurutnya, narasi ini tak sesuai realita dan malah mengaburkan kondisi PKL yang sebenarnya.
Upik Supriyati, PKL korban Relokasi lainnya, dihantui oleh rasa gundah selama memperjuangkan kejelasan nasib para pedagang di Teras Malioboro 2. Ia bersama PKL lainnya di ambang putus asa. Mereka bingung, langkah apa lagi yang harus dilakukan agar suara mereka terdengar oleh pemerintah. Mereka hanya bisa berharap pada pihak luar untuk bisa mengangkat suara-suara pedagang agar semakin nyaring. “Rakyat kecil itu mau bersuara seperti apalagi to?” ucap Upik membagikan keluhannya di bangku taman Teras Malioboro 2 kepada BALAIRUNG (03-04).
Para pedagang sendiri kebanyakan sudah berusia lanjut. Banyak dari mereka hanya diam menerima kondisi baru yang diberikan oleh pemerintah. Dengan usia yang tak lagi muda, mereka hanya dapat menerima saat dagangannya tidak laku terjual. “Ya mau gimana lagi? Bersyukur sudah dikasih tempat, sudah dikasih sehat, seperti itu to?” ucap Upik.
Selama ini, komunikasi pedagang dengan pihak pemerintah hanya terjadi secara satu arah. Cara-cara komunikasi seperti sosialisasi, hanya membuat pedagang seakan subjek pasif yang tidak dapat berdiskusi secara formal dengan pemerintah. Komunikasi yang terjadi juga merupakan inisiatif dari pedagang sendiri. “Kalau kita nggak mengajukan komunikasi lewat DPRD DIY kemarin, nggak ada inisiatif dari pemerintah,” tegas Upik.
Belum usai permasalahan di Teras Malioboro 2 yang dialami para pedagang, pemerintah mengabarkan bahwa akan dilaksanakan relokasi ulang. Pemberitahuan itu menyebutkan bahwa Teras Malioboro 2 akan dipindah ke Teras Malioboro 1 dan belakang Ramayana, Kampung Ketandan. Informasi tersebut disampaikan oleh Srie Nurkyatsiwi, kepala Dinas Koperasi dan UKM DIY, yang menemui para pedagang saat pertemuan dengan DPRD.
Dalam kesempatan tersebut, Upik turut menyampaikan pendapatnya bahwa anggaran yang ada lebih baik digunakan untuk memperluas Teras Malioboro 1 saja dan tidak perlu memindahkan pedagang di Teras Malioboro 2. Namun, usulan tersebut masih belum terjawab. Ia berharap kondisi yang sudah terjadi di Teras Malioboro 1 dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah sebelum melakukan relokasi terus-menerus. “Wong di sana aja banyak yang mengeluh sepi, ini malah mau dipindah ke sana, di belakangnya lagi!” ucapnya.
Kabar bahwa Teras Malioboro 2 akan direlokasi lagi ke daerah teras Malioboro 1 membuat Upik merasa resah. Pasalnya, Teras Malioboro 2 yang letaknya tepat di tepi jalan saja masih membuat pedagang kesusahan menjual dagangannya. Banyak pedagang terpaksa harus membanting harga agar ada barang yang terjual, tak terkecuali Upik. Apabila harus direlokasi lagi ke Teras Malioboro 1 dan belakang Ramayana, letaknya akan semakin tersembunyi. “Bukan bermaksud mendahului Tuhan, tapi kan kita punya insting dan perkiraan,” terang Upik.
Kondisi Teras Malioboro 2 yang mengenaskan terekam jelas dengan mata Upik sendiri. Lorong-lorong penuh kios-kios yang berdesakan itu dikeluhkan panas oleh pengunjung. Mereka menjadi merasa enggan berlama-lama di dalamnya. Pengunjung yang secara singkat datang dan pergi sangat memengaruhi penghasilan para pedagang. Pada awal dibangunnya Teras Malioboro 2, air hujan yang menjadi penyebab banjir membuat pengunjung dan penjual merasa tidak nyaman.
Penurunan omzet penjualan juga masalah utama yang dialami hampir oleh seluruh PKL setelah direlokasi. Begitu pula dengan Upik. Omzetnya turun sebesar 80 persen jika dibandingkan ketika ia masih menjadi PKL di trotoar Jalan Malioboro. “Saya sendiri kemarin selama 16 hari tidak laku jualannya,” ucapnya. Untuk menutupi kekurangan penghasilan karena harus membiayai empat orang anaknya, Upik terpaksa bekerja serabutan seperti mengasong dan menjual batik secara keliling.
“Pengen nangis wes entek air matane (ingin menangis sudah habis air matanya),” ucap Upik sembari mengingat kewajiban seorang ibu untuk membiayai anak-anaknya. Dagangan yang tidak laku membuat Upik semakin bingung ketika harus memberikan uang saku untuk anak-anaknya. Ujung-ujungnya, gali lubang tutup lubang menjadi solusi yang dipilih oleh Upik sebagai orang tua tunggal.
Usaha-usaha untuk mendapatkan solusi terbaik atas permasalahan pedagang masih terus Upik lakukan. Ia terus berusaha berkomunikasi dengan pihak pemerintah dan terus menyuarakan kesusahan para pedagang di Teras Malioboro 2. Bagi Upik, selagi usahanya tidak melanggar hukum, ia akan terus menyampaikan suaranya. Ia hanya berharap bahwa suara yang diutarakannya selama ini dapat diterima dan ditindaklanjuti oleh pemerintah. “Bisanya cuma berdoa supaya pintu hati pemangku kebijakan itu dibukakan, terketuk dengan kondisi yang dialami pedagang sekarang,” tegas Upik.
Reporter: Cahya Saputra, M. Fahrul Muharman, Reyhan Maulana Adityawan, dan Yasmin Nabiha Sahda
Penulis: Reyhan Maulana Adityawan, Sidney Alvionita Saputra, dan Yasmin Nabiha Sahda
Penyunting: M. Fahrul Muharman
Ilustrator: Parama Bisatya