Senin (21-08), Social Movement Institute berkolaborasi dengan Marjin Kiri menyelenggarakan diskusi dan bedah buku Indonesia: Negara dan Masyarakat dalam Transisi. Buku ini dipilih sebagai refleksi atas tantangan yang dihadapi Indonesia di tengah degradasi kualitas demokrasi dan ketimpangan sosial ekonomi yang tinggi. Bertempat di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), diskusi ini menghadirkan Antje Missbach, salah satu penulis buku, dan Ade Marup Wirasenjaya, dosen program studi Hubungan Internasional UMY sekaligus penanggap buku.
Diskusi dibuka oleh Antje yang menjelaskan garis besar buku, yakni ragam persoalan yang terjadi di Indonesia pada masa transisi Orde Baru menuju Reformasi. Permasalahan tersebut meliputi kondisi politik, ekonomi, nilai sejarah, media, hingga hubungan internasional. Antje menuturkan, kondisi tersebut memiliki pengaruh besar atas berhasil atau tidaknya Indonesia dalam melewati fase transisi tersebut. “Kami sampai melacak siapa konglomerat yang punya media, bagaimana faktor kemiskinan, serta bagaimana dengan kondisi kesehatan,” ungkap Antje, menceritakan pengalamannya ketika menulis buku.
Menanggapi Antje, Ade kemudian memaparkan wacana tentang Indonesia pasca-Orde Baru yang dibawa dalam buku. Ia menjelaskan bahwa masa transisi ini merupakan kesempatan politik yang dapat mengubah negara menjadi tidak otoriter. “Dari sini, kita melihat jatuhnya Orde Baru sebagai arena konsolidasi baru kekuasaan,” tuturnya. Akan tetapi, Ade mengatakan bahwa transisi yang terjadi ini tidak sendirinya membawa masyarakat pada ruang demokrasi yang sejajar dengan nilai-nilai demokrasi.
Lebih lanjut, Ade mencontohkan perubahan politik pada masa transisi yang disoroti oleh buku ini, salah satunya dalam ranah media. Ia mengungkapkan bahwa di tengah kebebasan pers, nyatanya, media tetap berada dalam kontrol kekuasaan. “Ada ledakan media yang terhubung dengan konglomerasi baru di dalam kerajaan kepemilikan media di Indonesia, yang sialnya merupakan kanalisasi bagi partai-partai seperti Perindo dan Metro TV milik Surya Paloh,” ujarnya. Ia berpendapat bahwa kondisi ini melahirkan fragmentasi baru dalam ruang sosial yang tidak mengarah pada kondisi demokrasi, tetapi pada oligarki.
Menutup tanggapannya, Ade berpendapat bahwa buku ini hadir bukan tanpa kritik. “Ada satu hal yang tidak dibahas di dalam buku ini, yakni pembahasan peran kelompok epistemik pada masa transisi,” ucapnya. Padahal, menurut Ade, kelompok epistemik ini telah tumbuh subur pasca-Orde Baru. Kelompok ini memiliki pengaruh besar bagi diplomasi Indonesia dalam ranah global mengenai isu-isu hak asasi manusia, ekologi, dan hak-hak perempuan.
Menjelang akhir acara, terdapat sesi tanya jawab yang berlangsung antara peserta diskusi dengan narasumber. Rahar, salah satu peserta diskusi, menyampaikan gagasan tentang transisi yang pasti akan dilalui dari sebuah peradaban masyarakat ialah transisi ekonomi. “Yang terjadi pada masa transisi ekonomi bukan hanya tentang barang apa yang diproduksi dari industrialisasi, tapi juga kelas-kelas ekonomi dalam masyarakat,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa oligarki-oligarki yang ada di Indonesia berhasil merekonstruksi dirinya menjadi oligarki baru melalui kekuatan moneter yang didanai oleh negara.
Hal itu turut diamini oleh Antje. Menurutnya, ada perbedaan yang cukup jelas ketika membandingkan kondisi ekonomi politik yang terjadi di era Soeharto dengan kondisi yang terjadi saat ini. “Pada zaman Orde Baru, mereka berkuasa dalam ranah ekonomi, namun sekarang ini mereka juga berkuasa dalam ranah politik,” pungkas Antje.
Penulis : Andreas Hanchel Parlindungan Sihombing dan Takhfa Rayhan Fadhilah
Penyunting : Fauzi Ramadhan
Fotografer : Takhfa Rayhan Fadhilah