“Stasiun kereta, jalan tol, dan jembatan
Perjalanan panjang untuk para karyawan
Buruh pembangunan dan juga pabrik pakaian
Kerja keras, keringatnya sampai kehabisan
Bos, Bos, Bos, lancar sekali jalannya
Infrastruktur dibangun demi kekayaannya”
Gerbong kereta itu begitu sesak. Ratusan manusia berdesak-desakan demi memijak lantai kereta. Siku beradu dengan rusuk. Kebanyakan dari mereka adalah para komuter yang setiap hari rela menempuh perjalanan jauh di sepanjang rel kereta. Pengembaraan itu dilakukan demi mencapai tempat kerja mereka di Jakarta.
Lewat jendela kereta, mereka dapat melihat matahari yang lambat laun tenggelam di balik gedung-gedung tinggi. Sejauh mata memandang, hanya terlihat jembatan layang yang malang melintang. Petang telah tiba, jam kerja sudah tamat. Namun, para pekerja ini masih begitu jauh dari rumah. Kepala mereka tertunduk lesu. Mata mereka beradu dengan lantai kelabu dalam kereta yang akan mengantarkan mereka kembali ke kampung halaman.
Hiruk pikuk ibu kota itulah yang mengilhami Syifasativa untuk menulis lirik lagu “Kota Kapitalis”. Ia ingin menceritakan tentang pemandangan menyesakkan yang disaksikannya setiap hari. Pada masa itu, Syifasativa harus menempuh perjalanan dari Tangerang ke Kuningan dengan mengendarai KRL (Kereta Rel Listrik). “Di situ, aku menyadari rel-rel kereta ini dibangun untuk kita para buruh yang tinggal di luar Jakarta. Perjalanan jauh jadi rutinitas mereka, tetapi malah para bos yang makin kaya,” kenang Syifasativa.
Musik, bagi Syifasatavia, adalah sarana untuk bercerita. Ia menubuhkan peristiwa-peristiwa yang berkecamuk di sekelilingnya dalam larik-larik lagu ciptaannya. Dalam proses mengalihkan kejadian nyata di kehidupannya menjadi sebuah lagu, Syifasativa mengaku bahwa proses itu berlangsung secara organik. Organik yang dimaksud berarti memang melihat kejadian itu di mana-mana. “Aku menghadapi situasi yang akrab dengan kapitalisme, di mana pembangunan begitu masif,” ujarnya.
Kemampuan Syifasativa merekonstruksi suatu kejadiaan nyata menjadi lirik lagu berpadu dengan daya imajinasinya ketika ia menulis lagu bertajuk “Tanam Sawi Di Bulan.” Di situ, ia berkisah tentang warga Bekasi yang menanam sawi di bawah naungan Jembatan Kalimalang. Namun tak seperti ketika ia menulis lirik “Kota Kapitalis”, Syifasativa membubuhi lagu yang satu ini dengan unsur surealisme. “Surealismenya dimulai ketika mereka pergi ke bulan untuk menanam sawi. Lalu, mereka berjumpa dengan alien yang melarang mereka bercocok tanam di situ,” ucap Syifasativa mengisahkan lagunya tersebut.
Lirik-lirik “Kota Kapitalisme”, “Tanam Sawi Di Bulan”, dan lagu-lagu lainnya memang sengaja ditulis dengan gaya bahasa gamblang dan apa adanya. Syifasativa merasa tidak cocok dengan kalimat-kalimat puitis dengan simbolisasi yang bertebaran di mana-mana. “Lirik-lirik yang gamblang terasa sesuai untuk menceritakan keresahan-keresahan yang terjadi di sekitarku,” jelas Syifasativa.
Lagu-lagu ciptaannya yang jujur dan berani tak dimungkiri bisa menjadi bumerang bagi Syifasativa sendiri. Perihal keamanan diri sempat sesekali merundung benak Syifasativa. Ia sempat mencemaskan salah satu pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru, yaitu pasal 240 yang mengancam kebebasan mengkritik lembaga negara. Namun, adanya peraturan itu tidak membelenggu Syifasativa untuk terus berkarya. Baginya, yang perlu dilakukan adalah terus mengekspresikan permasalahan yang terjadi. “Sebenarnya, kita tidak perlu mengemis-ngemis untuk diizinkan menyuarakan kritik. Kita harus tetap konsisten menyampaikan pendapat kita sesuai dengan tujuan awal,” tegas Syifasativa.
Musik-musiknya yang unik membuat nama Syifasativa menghuni playlist ‘daftar putar’ lagu beberapa orang. Salah satunya adalah Maulana Khoerun. Butuh waktu lama bagi Maulana untuk menemukan kenyamanan mendengar lagu dari Syifasativa. “Awalnya aku pikir lagunya terlalu gamblang dan bikin pusing, namun setelah aku ulik-ulik lagi mulai addict, enggak bisa didengerin satu kali,” ujarnya.
Maulana takjub dengan cara Syifasativa menggunakan cara storytelling dalam nyanyiannya. “Musiknya rata-rata tidak ada reff-nya; dari awal sampai akhir semuanya seperti bait-bait paragraf, seperti orang mendongeng,” ujarnya. Tidak hanya itu, ia merasa dipaksa mengenal nama-nama tokoh di dalam lagu-lagu tersebut. Syifasativa memang kerap memasukkan nama-nama tokoh dalam liriknya yang membuat pendengar menebak kaitan antara satu tokoh dengan yang lain.
Sementara itu, Randy Virgiawan, seorang narablog musik, mengaku secara tidak sengaja menemukan lagu Syifasativa lewat rekomendasi acak Spotify, layanan penyiaran musik secara digital. Tak butuh banyak lagu untuk membuat Ia langsung hanyut dengan lirik-lirik tersebut yang menurutnya kritis dan ajaib. Semenjak itu, Randy menjadi salah satu pendengar setia Syifasativa.
Saat pertama kali mendengar, Randy langsung menebak bahwa Syifasativa adalah orang yang akrab dengan buku. Ia mengakui, dirinya bukanlah penikmat musik kritis. Namun, ia selalu menyukai karya-karya dengan lirik bagus, baginya Syifasativa adalah salah satunya. Ia kagum dengan pemilihan kata dan narasi-narasi yang dibawakan. “Mungkin, ia hanya pemuda frustasi dan menuangkan semuanya lewat lagu, lewat lagu itulah Ia bisa mengolok-olok dunia dan seisinya. Hahaha, ” ujar Randy.
Penulis: Adiel Tristi Santoso dan Sidney Alvionita Saputra
Penyunting: M. Fahrul Muharman
Fotografer: Elsya Dewi Arifah dan Zidane Damar