Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI) mengadakan diskusi bertajuk “Sorrow Living: Lika-liku Pekerja Kreatif dan Mimpi Hidup Santai di Daerah (Berupah) Istimewa” di Indonesian Visual Art Archive, Yogyakarta. Diskusi tersebut menghadirkan tiga pembicara, yaitu Brigitta Isabella, seniman dan akademisi; Arsita Iswardhani, seniman dan pekerja teater; dan Christine Natalia, produser dan pekerja event. Diskusi yang diadakan pada Sabtu (22-07) tersebut membahas polemik pekerja sektor ekonomi kreatif dalam konteks Yogyakarta yang berstatus sebagai daerah dengan Upah Minimum Regional (UMR) rendah.
Pertama-tama, Arsita memaparkan pengalamannya sewaktu bekerja di Garasi Performance Institute. Sebagai pekerja teater, ia merasa agak kesulitan untuk mendapatkan upah yang tinggi. Arsita kemudian menjelaskan hal tersebut terjadi karena industri teater tidak mempunyai struktur yang memadai dari segi apresiasi dan ekonomi. “Pekerja teater agak kesulitan mendapat upah tinggi dibandingkan pekerja seni rupa dan tari,” tambahnya.
Selain itu, bagi Arsita, permasalahan lain juga muncul dari konteks pekerja teater yang tidak mungkin dilepaskan dari kerja jejaring. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh pengadaan pertunjukan yang harus melibatkan banyak orang. Kesulitan upah pada akhirnya merembet terhadap adanya pekerjaan ganda yang harus dilakukan oleh pekerja teater. “Mau tidak mau kami harus double job karena infrastruktur teater tidak memungkinkan kami menjadi pekerja teater profesional,” ungkapnya.
Menambahkan cerita Arsita, Natalia turut menyumbangkan pengalaman pribadinya sebagai pekerja event. Keluhannya berpusat kepada kontrak kerja yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. “Terkadang kami juga harus menggantikan posisi-posisi lain yang tidak disepakati dalam MoU tersebut,” tambah Natalia.
Menanggapi cerita Arsita dan Natalia, Brigitta menjelaskan bahwa kondisi tersebut bermula dari pergeseran perspektif pemerintah dalam melihat pekerja seni. Ia menyebutkan bahwa sebelumnya seseorang menjadi pekerja seni karena adanya passion ‘kegemaran’ dan hobi. Akan tetapi, pemerintah saat ini melihat pekerja seni hanya sebagai pelaku ekonomi kreatif dan seolah menjadi tulang punggung negara. “Sekarang pemerintah melihat industri kreatif sebagai investasi, harus ada return-nya,” ucap Brigitta.
Menurut Brigitta, saat ini sistem keuangan dan manajemen masuk dalam pembahasan seni budaya. Contohnya seperti investasi, sumber daya manusia, distribusi, dan konsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa seni budaya mulai menuju ke arah industrialisasi. Namun, bagi Brigitta, datangnya industrialisasi seni budaya tidak lantas mendatangkan kesejahteraan bagi pekerja di bidang tersebut.
Ia lantas mempersoalkan rendahnya upah pekerja sektor ekonomi kreatif yang didasarkan pada statistik rata-rata upah buruh sektor ekonomi kreatif per 2021 yang dirilis oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. “85,63% upah pekerja ekonomi kreatif berada di bawah UMR,” ucap Brigitta seraya menunjuk layar presentasi yang berisi data rata-rata upah.
Pada akhir diskusi, Pitra selaku moderator dalam diskusi, menyebut bahwa serikat dapat dimunculkan sebagai wahana untuk mempertemukan masalah-masalah pekerja sektor ekonomi kreatif. Pernyataannya tersebut kemudian diafirmasi oleh Brigitta. Ia bahkan menunjukkan beberapa eksperimen koperasi ekonomi antikapitalis yang dibuat oleh pekerja sektor ekonomi kreatif untuk membebaskan mereka dari tekanan relasi kerja. “Salah satunya ada Commons Credit Cooperativa di Yogyakarta. Mereka membuat sistem barter atau berbagi keahlian,” tambahnya.
Penulis: Alfiana Rosyidah
Penyunting: Albertus Arioseto
Fotografer: Surya Intan Safitri