Selasa (25-07), BEM KM Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengadakan diskusi bertajuk “Setan Tambang Jadi Beban, Masyarakat Kali Progo jadi Korban”. Tujuan diadakannya diskusi karena isu pertambangan di Kali Progo yang tak kunjung mendapatkan solusi sejak tahun 2017. Diskusi ini diisi oleh beberapa pembicara, seperti Wandi Nasution sebagai perwakilan LBH Yogyakarta, Septandi Alfianto sebagai perwakilan Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP), dan Muhammad Adam dari BEM KM UMY sebagai penanggap. Adapun diskusi tersebut berlangsung di ruang sidang Gedung AR Fachruddin B UMY.
Diskusi dibuka dengan penjelasan Tandi tentang kronologi kedatangan tamu yang tak pernah mereka undang, yakni perusahaan tambang. Ia menceritakan bahwa masyarakat sekitar Kali Progo terkejut dengan kedatangan perusahaan tambang yang tiba-tiba sudah membawa surat izin. Padahal, Tandi menyebut bahwa masyarakat tidak pernah diberikan sosialisasi terkait rencana penambangan sebelumnya. “Tidak pernah diadakan mufakat maupun musyawarah, jadi warga mana yang menyetujui tambang ini?” tanyanya keheranan.
Menanggapi hal tersebut, Wandi menyebut bahwa setiap penambang harus melakukan sosialisasi kepada warga di sekitar area pertambangan. Sosialisasi tersebut berisi penjelasan mengenai jumlah ataupun volume yang akan mereka ambil dari Kali Progo dalam satu hari. “Penambang harus memperhatikan konsep first nature (kualitas lingkungan hidup yang akan didapatkan oleh masyarakat) dan second nature (pemenuhan hak terhadap warga),” ucap Wandi.
Lebih lanjut, Wandi juga menyampaikan tentang warga yang tergabung dalam PMKP selalu dibatasi haknya dalam mendapatkan informasi atas izin keberadaan tambang. Berulang kali warga datang ke dinas-dinas terkait dan meminta akses informasi tetapi selalu mendapatkan jawaban yang sama. “Ini dokumen negara, jadi tidak bisa disebarluaskan,” tiru Wandi ucapan pihak dinas. Ia menilai bahwa pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh dinas dan pihak penambang yang memiliki komponen [kuasa -red] lebih besar tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Selain hak atas informasi yang tidak terpenuhi, Wandi juga memaparkan hak yang seharusnya didapatkan masyarakat sekitar Kali Progo, yakni hak substantif atas lingkungan hidup. Wandi menambahkan mengenai warga yang kehilangan hak hidup layak karena tanah yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi harus direnggut dari mereka. Selain itu, ia turut menjelaskan bahwa hak atas pangan masyarakat sekitar Kali Progo tidak dapat terpenuhi karena terjadinya degradasi air sungai. “Selama ini, warga menggantungkan hidupnya kepada Kali Progo. Selama tambang masih ada, mereka tidak akan mendapatkan hak hidup yang layak,” terang Wandi.
Tak berhenti di situ saja, Wandi yang juga berperan sebagai advokator PMKP menyebutkan bahwa telah terjadi kriminalisasi terhadap masyarakat. Kriminalisasi ini berlandaskan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ia mengungkapkan bahwa keberadaan pasal ini sangat menyulitkan masyarakat. “Kita semua tahu, pasal 162 adalah pasal karet,” tutur Wandi. Menurutnya, pasal tersebut dapat menjadi celah untuk memidanakan para pejuang lingkungan dalam melawan kelompok-kelompok pertambangan untuk mengeksploitasi alam.
Menanggapi berbagai permasalahan di atas, Adam menyebut bahwa dalam setiap aktivitas pertambangan memang selalu terdapat masalah dalam pelibatan masyarakat lokal dalam hal partisipasi, konsesi, dan sosialisasi. Oleh karena itu, ia menilai bahwa harus dilakukan langkah-langkah yang lebih interventif lagi untuk menyelesaikan permasalahan ini. “Bukan sekadar simbolik untuk mengintervensi kebijakan yang ada,” terang Adam.
Dalam wawancara lebih lanjut dengan BALAIRUNG, Tandi menyampaikan proses birokrasi pelaporan yang sangat pelik. Ia menceritakan bahwa PMKP berulang kali menyampaikan penolakan secara prosedural, mulai dari tingkat padukuhan hingga pemerintah daerah. Namun, menurut penuturan Tandi, pemerintah daerah mengatakan bahwa semua kewenangan mereka diambil alih oleh pemerintah pusat. “Ini aneh, karena izin dikeluarkan oleh daerah tetapi kami diminta untuk melaporkan ke pusat yang jelas-jelas nanti diminta melapor ke daerah lagi,” heran Tandi. Ia menambahkan bahwa PMKP juga telah melayangkan surat ke Istana Kepresidenan dan Kementerian PUPR meskipun hingga kini masih nihil hasil.
Selain itu, Tandi juga mengungkap hingga saat ini aktivitas pertambangan salah satu perusahaan tambang, PT Citra Mataram Konstruksi (CMK), masih berlangsung di Kali Progo. Padahal, IUP (Izin Usaha Pertambangan) Operasi Produksi PT CMK telah berakhir per tanggal 14 Juli 2023. “Masa berlaku izinnya sudah selesai dan seharusnya tidak beroperasi lagi,” jelasnya.
Penulis: Anindya Verawati dan Ester Veny Novelia Situmorang
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: Ester Veny Novelia Situmorang