Kekejian praktik kolonialisme menyebabkan trauma yang berkelanjutan berupa perasaan inferior masyarakat negara terjajah. Celakanya, dengan kehadiran media sosial, kecemasan akan identitas yang inferior semakin terlihat.
Problem Glorifikasi Kulit Putih
Glorifikasi orang-orang kulit putih atau bule secara sadar ataupun tidak, masih tertanam dalam mentalitas bangsa Indonesia. Fenomena-fenomena sosial, seperti berfoto bersama turis asing berkulit putih, memamerkan teman dari luar negeri, dan keinginan memiliki pasangan bule demi memperbaiki keturunan masih lumrah ditemui di tengah masyarakat.Â
Alawi (2020) melakukan sebuah penelitian yang mengkaji perilaku ini dengan mengamati sebuah situs internet bernama Desi Sachiko, yakni situs yang ditulis seorang perempuan Indonesia yang memiliki pasangan laki-laki kulit putih dari Prancis. Dalam penelitian tersebut, ditemukan banyak pengunjung, yang mayoritas merupakan perempuan Indonesia, terobsesi untuk menjadikan laki-laki kulit putih sebagai pasangan hidup. Hal ini terjadi karena laki-laki kulit putih memiliki stereotipe berpikiran terbuka, lebih menghargai perempuan, cerdas, dapat memperbaiki keturunan dalam segi fisik, serta berbagai atribut superior lainnya (Alawi 2020).
Gejala semacam ini pernah dibahas oleh Frantz Fanon dalam bukunya, Black Skin, White Masks (2008). Dalam sebuah bab di buku tersebut yang bertajuk âThe Woman of Color and The White Manâ, Fanon menjelaskan alasan psikologis perempuan dengan kulit berwarna di Antilles, sebuah wilayah kedaulatan Prancis di Kepulauan Karibia, yang mayoritas mendambakan laki-laki kulit putih untuk dijadikan pasangan hidup dan juga sebaliknya.Â
Alasan psikologis tersebut menarasikan bahwa orang kulit berwarna bahwa akan mengalami peningkatan harga diri dan kehidupan sosial jika memiliki pasangan kulit putih. Fanon menyebut fenomena psikologis ini sebagai inferiority complex âkompleks inferioritasâ, sebuah istilah yang dicetuskan oleh seorang psikoanalis Alfred Adler. Fanon menegaskan bahwa kompleks inferioritas yang melanda orang-orang kulit berwarna (mayoritas hitam) di Antilles, dan bangsa-bangsa bekas jajahan lain, merupakan dampak dari penjajahan atau kolonialisme bangsa Eropa terdahulu (Fanon 2008).
Sejalan dengan pemikiran Fanon, kompleks inferioritas dan glorifikasi kulit putih yang mengakar dalam nadi bangsa Indonesia dapat dijelaskan menggunakan kacamata poskolonialisme (Mahattir dkk. 2021). Saat kolonialisme datang ke Hindia Belanda, para penjajah tidak hanya membentuk tatanan ekonomi di tanah jajahan demi meraup keuntungan finansial belaka, tetapi juga menyusun ulang tatanan politik, sosial, dan budaya. Hal ini termasuk penyusunan strata sosial masyarakat berdasarkan ras dan etnis yang menempatkan kedudukan bangsa penjajah di tingkat paling tinggi dan bumiputra pada tingkat paling rendah.
Dengan perasaan inferior yang mereka alami, masyarakat bangsa terjajah berusaha untuk tidak dipandang rendah oleh penjajah. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadi putih. Memiliki kulit putih dan cerah bak wanita Kaukasia pun menjadi impian banyak wanita Indonesia saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari ZAP Beauty Index 2020 yang melakukan survei terhadap 6.460 wanita Indonesia pada 2018 dan 2019. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa pada 2018, 73,1% responden menganggap definisi cantik secara fisik adalah memiliki kulit yang putih dan/atau glowing. Jumlah wanita yang menganggap kulit putih dan/atau glowing sebagai standar kecantikan fisik naik pada 2019 menjadi 82,5%. Padahal, mayoritas penduduk Indonesia merupakan ras Mongoloid dan Austromelanesoid yang memiliki ciri-ciri kulit kuning langsat hingga hitam (Koesbardiati dan Suriyanto 2007).Â
Akan tetapi, banyak wanita Indonesia yang justru merasa lebih percaya diri ketika memiliki kulit putih dan cenderung rendah diri dengan kulit yang lebih gelap. Bukan hanya itu, konstruksi kecantikan warna kulit ini membawa permasalahan yang lebih jauh bagi pemilik warna kulit yang tidak sesuai dengan standar. Data ZAP Beauty Index membuktikan bahwa sebanyak 23.3% atau 1.505 responden dari total 6.460 wanita pernah mengalami body shaming âcelaan fisikâ akibat berkulit gelap.
Latar Belakang dan Dampak Kompleks Inferioritas
Kompleks inferioritas digambarkan sebagai suatu kondisi psikologis yang, menurut Fanon, berakar dari penindasan pada sektor ekonomi masyarakat terjajah serta internalisasi pandangan-pandangan diskriminatif dari penjajah. Istilah ini digunakan Fanon untuk menjelaskan kondisi psikologis masyarakat negara terjajah yang merasa identitas rasnya lebih rendah daripada ras penjajah; ras kulit putih. Dari situ, dapat diketahui bahwa kompleks inferioritas lahir sebagai dampak dari penjajahan bangsa Eropa. Melalui penjajahan, bangsa Eropa datang dengan latar belakang dan tindakan yang memengaruhi negara jajahannya, seperti perasaan superior, upaya pemberadaban yang dijustifikasi, dan berbagai bentuk praktik rasisme (Seresin 2017; Fanon 2008).Â
Perasaan unggul dan beradab bangsa Eropa menjadi basis justifikasi mereka untuk juga memberadabkan bangsa-bangsa lain (Hardiman 2013). Kompleks inferioritas terlihat dari cara masyarakat terjajah memandang situasi yang terjadi saat itu dan kondisi yang mereka alami dalam diri mereka sendiri. Masyarakat terjajah memandang bahwa penjajah adalah tuan mereka dan menganggap diri mereka sendiri lebih rendah tanpa memiliki tujuan apa pun atas eksistensinya selain melayani penjajah dan menjadi putih. Masyarakat terjajah membenci diri mereka sendiri hanya karena tidak berkulit putih (Gibson 2003).
Inferioritas masyarakat terjajah tidak dapat terlepas dari superioritas penjajah sebagai anteseden logisnya. Dalam menunjukkan superioritasnya, penjajah melakukan racist gaze atau âtatapan rasisâ yang menghakimi, mendevaluasi, mendiskriminasi, dan mendehumanisasi ras masyarakat terjajah secara sengaja (Kiros 2004). Tatapan rasis diimplementasikan ke dalam tindakan-tindakan rasis terhadap masyarakat terjajah melalui ucapan, panggilan, kekerasan berupa perbudakan, bahkan peraturan perundang-undangan. Rasismelah yang menciptakan kompleks inferior. Dalam masyarakat Afrika, misalnya, penjajah memanggil masyarakat terjajah sebagai negro; yang dianggap tidak beradab dan menakutkan (Fanon 2008).Â
Berkaca pada penjajahan di Jawa, muncul berbagai jenis penindasan; seperti penyebutan pribumi, penanaman nilai negatif seperti pemalas, dan perendahan status intelektual yang digelarkan kepada pribumi (Alatas 1977). Selain itu, muncul kebijakan dari pemerintahan Hindia Belanda melalui Regerings Reglement yang mengatur urutan kelas sosial ras-ras yang hidup di Hindia Belanda saat itu. Klasifikasi tersebut berisikan tiga golongan yang menempati struktur piramida dengan golongan Eropa pada tingkat pertama, golongan Timur asing di tingkat kedua, dan golongan bumiputra (inlander) di tingkat paling rendah (Susilo dan Sarkowi 2020). Penggolongan tingkatan ras ini menunjukkan bahwa ada ras penjajah yang lebih superior dan ras terjajah yang lebih inferior .Â
Masyarakat terjajah memercayai dan menerima pandangan penjajah terhadap mereka. Akibatnya, masyarakat terjajah selalu mencoba untuk memastikan jati diri mereka dan mengikuti sudut pandang penjajah. Tindakan-tindakan yang berasal dari tatapn rasis akhirnya terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat terjajah dan terekspresikan melalui perasaan-perasaan inferior. Mereka teralienasi. Masyarakat terjajah pun hidup dalam dua dimensi, yaitu kehidupan dengan penjajah dan kehidupan dengan masyarakat terjajah. Mereka bertindak berbeda dalam dimensi kehidupan yang berbeda dengan penjajah.Â
Masyarakat terjajah hanyalah objek, bukan manusia (Gibson 2003). Saat hidup bersama penjajah, masyarakat terjajah kehilangan identitasnya karena tidak berkulit putih dan tertindas. Oleh karena itu, masyarakat terjajah selalu merasa cemas dan berusaha menunjukkan eksistensinya sesuai sudut pandang ras kulit putih. Dalam praktiknya, masyarakat bangsa terjajah mencoba membuat diri mereka menjadi putih untuk membuktikan bahwa mereka juga adalah manusia (Fanon 2008; Seresin 2017).
Kompleks Inferioritas pada Kehidupan Sosial dan Media Sosial
Seseorang selalu berusaha untuk menunjukkan eksistensinya selaku individu yang utuh sebagai bentuk aktualisasi diri. Dalam hal ini, media sosial merupakan wadah untuk mewujudkan hal tersebut. Media sosial dapat dianggap sebagai cerminan suatu masyarakat sehingga berperan penting dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap diri yang ideal (Patton 2006; Motseki dan Oyedemi 2017). Dengan kekuatannya dalam membingkai dan mendefinisikan aspek-aspek sosial, media sosial mampu mengatur cara seseorang memandang dan menghargai dirinya (Milkie 1999). Pada akhirnya, suatu standar diri, khususnya penampilan fisik yang tampak secara eksplisit, terbentuk. Belum lagi, media sosial juga menghasilkan perasaan rendah diri karena muncul komodifikasi standar diri (Jan dkk. 2017; Milkie 1999).
Padatnya jumlah orang yang berlalu lalang di media sosial (ada 414 triliun data bersirkulasi di internet per detiknya) menghasilkan proses pengelompokan berdasarkan pola dominan. Pola dominan inilah yang menghasilkan pattern discrimination âdiskriminasi polaâ. Ambil contoh, aplikasi Google Photo yang mengelompokkan dua orang kulit hitam sebagai gorila. Kemudian, ada kasus webcam pelacakan wajah merk HP tidak dapat mengenali orang kulit hitam sebagai manusia. Tak hanya berhenti di rasisme kulit, kamera Nikon S360 bahkan sanggup mempertanyakan kepada orang Asia yang tersenyum terkait apakah ia sedang berkedip (Steyerl, 2018). Hal-hal di ataslah yang menghasilkan permasalahan baru. Pasar pun diciptakan untuk menghasilkan pola rekognisi terhadap kelompok tertentu. Pembingkaian dan pendefinisian kecantikan telah terpola kepada beberapa orang tertentu saja.Â
Paparan yang konsisten oleh media sosial terhadap standar penampilan fisik memiliki pengaruh terhadap citra tubuh dan persepsi diri (Patton 2006). Dengan pertimbangan keberagaman ciri fisik pada manusia, gagasan mengenai standar penampilan yang berpatokan pada ciri fisik masyarakat kulit putih menjadi cacat; bahkan diskriminatif. Misalnya saja, ideologi budaya hegemoni kulit putih secara tak langsung didukung oleh sejumlah selebriti di media sosial yang menunjukkan bahwa tubuh feminin ideal adalah tubuh yang ramping dan berkulit putih. Warna kulit cerah pun menjadi penanda kecantikan di antara perempuan kulit hitam (Motseki & Oyedemi 2017).
Warna kulit dianggap sebagai penentu harga diri, pengendalian diri, kualitas diri, dan daya tarik seseorang (Thompson dan Keith 2001). Oleh karena itu, seseorang yang tidak memiliki warna kulit yang ideal sangat mungkin merasa lebih rendah dan tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial. Tanpa sadar, perasaan ini muncul pada bangsa terjajah. Mereka berusaha meniru fisik bangsa penjajahnya agar dapat diterima secara sosial (Fanon 2008). Terlebih, media sosial menciptakan suatu tekanan untuk tampak menarik. Media sosial memberikan fasilitas untuk menyesuaikan dan mengedit tampilan diri penggunanya. Aneka macam filter untuk mengubah bentuk dan warna kulit pun telah diciptakan untuk memenuhi kebutuhan siapa saja yang merasa rendah diri, yakni mereka yang merasa tidak sesuai dengan standar diri yang ada (Siddiqui 2021). Bangsa terjajah serasa mengenakan topeng wajah bangsa penjajah dan kehilangan jati diri bangsa mereka sendiri.
Kondisi inferior yang dialami masyarakat negara terjajah diperparah dengan munculnya produk-produk pemutih kulit yang mengglorifikasi kecantikan kulit putih. Contohnya, semenjak akhir abad ke-20, tepatnya tahun 1970-an di Indonesia, muncul berbagai macam iklan produk pemutih kulit. Dalam iklan-iklan tersebut, masih terlihat tatapan Barat yang melihat bahwa kulit berwarna tidaklah cantik (Saraswati 2013). Pada era media sosial, iklan-iklan produk pemutih kulit hadir dalam akun-akun dengan nama pengguna yang mengandung kata âwhiteningâ. Dalam akun-akun sejenis, terdapat unggahan yang khas, yaitu unggahan yang menampilkan adanya perubahan dari pengguna produk mereka yang berubah dari berkulit gelap menjadi berkulit lebih putih.Â
Berkenaan dengan fenomena ini, Saraswati (2013) telah membuktikannya dalam contoh kasus produk Scarlet Whitening yang kerap diiklankan oleh beberapa selebriti besar; seperti Agnez Mo, Rosa, hingga Song JoongKi. Dalam mengiklankan produknya, mereka kerap kali menggunakan embel-embel mencerahkan sebagai kondisi kulit yang lebih ideal. Iklan-iklan pemutih kulit menyodorkan narasi-narasi, yang seolah-olah faktual, mengenai kecantikan kulit putih dengan mengisahkan bahwa perempuan akan terlihat lebih cantik ketika memiliki kulit putih (Saraswati, 2013).
Penutup
Kolonialisme membawa trauma bagi masyarakat negara terjajah. Sejarah kekerasan fisik dan psikis melatarbelakangi trauma tersebut. Lebih dasar lagi, tindakan kekerasan penjajah berfondasikan tatapan rasis; tatapan yang memandang bahwa rasnya lebih superior dan ras lain lebih inferior. Akibatnya, masyarakat terjajah yang menerima tatapan rasis ini pun teralienasi. Mereka mempertanyakan identitasnya kembali dan berusaha untuk menjadi putih.
Dalam kehidupan sosial, tampak bahwa imbas tatapan rasis berpengaruh terhadap cara masyarakat negara terjajah berusaha menunjukkan diri mereka di depan orang lain. Sebelumnya, mereka telah mengidentifikasi diri mereka sebagai masyarakat negara terjajah dengan kulit yang berwarna dan dialek yang berbeda dengan penutur asli bahasa Inggris. Dengan itu, tergugahlah mereka untuk menjadi putih agar lebih menarik, terutama dengan menggunakan produk pemutih kulit. Pada akhirnya, masyarakat negara terjajah tetap teralienasi. Mereka tidak menemukan identitas mereka sendiri. Mereka malah ikut dalam arus glorifikasi kulit putih dengan mengamini inferioritasnya dan mengubah diri menjadi putih.
Penulis : Fransicus Xaferius Christnaldi Ramadani, Nurul Zaqia Ramadan, dan Anisa Nur Rahmalina (Magang)
Penyunting : Vigo Joshua
Ilustrator : Ferdian Dwi Saputra (Magang)
Daftar Pustaka
Alatas, S. H. 1977. The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism. London: Frank Cass & Company Ltd.
Alawi, M. F. 2020. âArtikulasi Hasrat Berpasangan Dengan Laki-Laki Kulit Putih Di Kalangan Perempuan Indonesia Pembacaan Poskolonial pada Weblog Desisachiko.comâ. Al-Iâlam:Jurnal Komunikasi Dan Penyiaran Islam, 3(2), 61â74.
Fanon, F. 2008. Black Skin, White Masks. London: Pluto Press.
Gibson, N. 2003. Fanon: The Postcolonial Imagination. Cambridge: Polity Press.
Hardiman, F. B. 2012. Humanisme dan Sesudahnya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
Jan, M., Soomro, S. A., dan Ahmad, N. 2017. âImpact of Social Media on Self-Esteemâ. European Scientific Journal, ESJ, 13(23), 329. https://doi.org/10.19044/esj.2017.v13n23p329
Kiros, T. (2004). âFrantz Fanon 1925â1961â. In K. Wiredu, A Companion to African Philosophy (pp. 216-224). Wiley-Blackwell.
Koesbardiati, T., & Suriyanto, R. A. (2007). Australomelanesoid in Indonesia: A swinging-like movement. Jurnal Anatomi Indonesia, 2(1), 23-28.
Mahattir, N. Z., Anoegrajekti, N., & Muhamad, A. B. R. 2021. âResistensi Dalam Novel Student Hidjo Karya Mas Marco Kartodikromo: Kajian Poskolonialâ. SEMIOTIKA: Jurnal Ilmu Sastra Dan Linguistik, 22(1), 32. https://doi.org/10.19184/semiotika.v22i1.19939
Milkie, M. A. 1999. âSocial Comparisons, Reflected Appraisals, and Mass Media: The Impact of Pervasive Beauty Images on Black and White Girlsâ Self-Conceptsâ. Social Psychology Quarterly, 62(2), 190. https://doi.org/10.2307/2695857
Motseki, M., dan Oyedemi, T. 2017. âSocial Media and The Cultural Ideology of Beauty Among Young Black Women in South Africaâ. Communitas, 22(1). https://doi.org/10.18820/24150525/Comm.v22.11
Patton, T.O. 2006. ââHey girl, Am I more than my hair?â African American women and their struggles with beauty, body image, and hairâ. NWSA Journal 18(2): 102-109. https://doi.org/10.2979/NWS.2006.18.2.24
Saraswati, L. A. 2013. Seeing Beauty, Sensing Race in Transnational Indonesia. University of Hawaii Press
Seresin, I. 2017. âBlack skin, white masks Chapter 4: The so-called dependency complex of the colonized summary & analysisâ. LitCharts. Retrieved January 5, 2023, from https://www.litcharts.com/lit/black-skin-white-masks/chapter-4-the-so-called-dependency-complex-of-the-colonized
Siddiqui, A. 2021. âSocial Media and Its Role in Amplifying a Certain Idea of Beautyâ. Infotheca, 21(1), 73â85. https://doi.org/10.18485/infotheca.2021.21.1.4
Steyerl, H. 2018. âA Sea of Data: Pattern Recognition and Corporate Animism (Forked Version)â. In Pattern Discrimination (hal. 1-21). meson press.Â
Susilo, A., & Sarkowi. 2020. âPengaruh Politik Cultuurstelsel Terhadap Perkembangan Masyarakat Indonesia Tahun 1830-1870â. SWADESI: Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sejarah, 1(1), 14-23.
Thompson, M. S., & Keith, V. M. 2001. âThe Blacker The Berry: Gender, Skin Tone, Self-Esteem, and Self-Efficacyâ. Gender & Society, 15(3), 336â357. https://doi.org/10.1177/089124301015003002
ZAP. 2020. ZAP Beauty Index. https://zapclinic.com/zap-beauty-index-download