Bersinggungan dengan polemik pengadaan uang pangkal bagi calon mahasiswa baru 2023 di UGM, BALAIRUNG menerbitkan kembali arsip mengenai penjelasan atas kedudukan UGM selaku universitas kerakyatan. Dalam opini berjudul âVisi Kerakyatan UGMâ yang pernah dimuat di Majalah BALAIRUNG Edisi Khusus/TH. XV/1999, Teuku Jacob selaku rektor UGM periode 1982â1986 menyampaikan bahwa terdapat banyak interpretasi terkait predikat âkerakyatanâ milik UGM yang hilir mudik di khalayak luas. Namun baginya, interpretasi predikat kerakyatan yang tepat hanya dapat ditilik dari usaha kampus untuk mengakomodasi berbagai keresahan dari seluruh kalangan di UGM. Simak artikel selengkapnya.
Universitas Gadjah Mada acapkali dianggap sebagai universitas desa, mendesa, atau pedesaan, dalam makna yang berbeda-beda. UGM memang berada di suatu konglomerasi desa, dan mahasiswanya banyak berasal dari desa sebagai mahasiswa generasi pertama. Sivitas akademika umumnya hidup dan berpakaian sederhana, seperti kebanyakan dosen dan mahasiswa Eropa dan Amerika sekarang. Batas antara desa dan kampus tidak mencolok, seperti misalnya di Singapura dan Malaysia.
Di samping itu, UGM banyak pula memperhatikan dan meneliti pedesaan; kemiskinan rural dan urban; serta rakyat yang tidak berdaya dan kurang terlayani oleh pelayanan publik. UGM memedulikan pertanian rakyat, penyakit rakyat, kesehatan komunitas, farmasi komunitas, kehutanan komunitas, perumahan rakyat, teknologi sederhana, dan antipenindasan terhadap rakyat. UGM memperhatikan juga obat-obatan tradisional rakyat, keamanan, demokrasi, dan perdamaian.
Di luar negeri, kadang-kadang orang mempunyai citra UGM sebagai âuniversitas Kiriâ (bahkan Yogyakarta dianggap Kiri) atau Kiri baru, oposan pemerintah lama, atau antikonservatif dan militan Islam. UGM memang sejak berdirinya sudah berasaskan Pancasila seperti tercantum dalam statutanya; bahkan pada awal 1960-an pernah dijuluki âuniversitas sosialisâ. Lulusan UGM secara tradisional bersedia ditempatkan di mana saja di Indonesia, sehingga generasi tua pejabat pemerintah daerah banyak terdiri atas lulusan UGM. Alumni UGM juga tidak menjual terlalu tinggi: kepada wisudawan mereka tidak dibekali pesan do not sell yourself too cheap âjangan jual dirimu terlalu murahâ seperti di beberapa lembaga lain.
Oleh karena itu, kalau dikatakan UGM mempunyai visi atau orientasi âkerakyatanâ, hal tersebut tidak jauh dari sasaran. Bila âkerakyatanâ dianggap terjemahan populisme model Amerika, yang membela petani dan antiindustri pada abad yang lalu, saya rasa kurang tepat. Di sisi lain jika âkerakyatanâ berarti kedaulatan rakyat atau demokrasi, hal ini pasti benar karena pada kurun waktu ini tidak ada sistem lain yang lebih baik daripada demokrasiâmeskipun masih tidak memuaskan, apalagi ideal. Kalau visi kerakyatan dimaksudkan bahwa UGM hanya memperhatikan rakyat murba, rakyat jelata, rakyat kecil, kaum miskin-papa, yang terinjak dan terpinggirkan; hal ini tidak seluruhnya benar, karena hidup dan pengamatan serta perbaikan kehidupan tidak dapat sepotong-sepotong.
Kemiskinan berkaitan dengan bermacam-macam hal: sistem sosial politik dan ekonomi; keadilan distributif, kebodohan, dan penyakit; penjajahan dan perbudakan, hak asasi manusia, solidaritas masyarakat; sumber daya alam, kerajinan dan ketangguhan, hemat dan disiplin, alokasi anggaran militer di luar proporsi; salah urus dan korupsi, hingga demografi dan kompetisi. Semuanya harus kita perhatikan kalau kita menangani kemiskinan rakyat.
Yang terpenting dari kerakyatan adalah kepentingan rakyat harus diperhatikan dan dibela. Rakyat banyak memerlukan informasi dan saluran untuk menyampaikan informasi. Rakyat banyak jangan dirugikan di depan hukum, karena tidak sanggup membayar pengacara dan tidak memahami mekanisme peradilan. Rakyat banyak harus dibebaskan dari gangguan kesehatan yang merintangi pekerjaannya, karena tidak semuanya mampu membiayai pelayanan kesehatan. Semboyan kesehatan bagi semua pada tahun 2000 dikhawatirkan tidak akan tercapai, bahkan merosot menjadi kesehatan tidak bagi siapa pun, karena yang kaya pun akan menderita penyakit-penyakit kemewahan.
Mahasiswa UGM harus menjadi pencegah kepincangan dan ketidakadilan, tidak hanya selama menjadi mahasiswa, tetapi terutama sesudah lulus. Mahasiswa harus konsisten memelihara idealisme yang menjadikannya kekuatan moral yang disegani. Janganlah berbisik di depan kejahatan, dan jangan membisu di depan penyelewengan. Berdiam diri di depan kesalahan berarti membantu kesalahan itu. Solidaritas tidak dapat dibangun di atas kecurangan atau kekerasan.
Artikel ini ditulis ulang dengan penyuntingan oleh Reyhan Maulana Adityawan.