Massa aksi kompak memekik “Hidup buruh!” di tengah derasnya guyuran hujan pada Senin (01-05). Meskipun cuaca sedang hujan deras, aksi peringatan Hari Buruh Internasional tetap berlangsung di depan Kantor Gubernur Yogyakarta. Aksi bertajuk “Mei Melawan: Perkuat Gerakan Rakyat dalam Melawan Rezim Anti Rakyat dan Tolak Perbudakan Modern” ini diinisiasi oleh Aliansi Rakyat untuk Demokrasi.
Sebelum orasi di kantor gubernur, aksi diawali dengan massa yang berkumpul di Alun-Alun Utara dengan dilanjutkan longmars pada pukul 12.00 WIB. Rute longmars dimulai dari Alun-Alun Utara, Titik Nol Kilometer, Jalan Malioboro, sampai akhirnya berhenti di Kantor Gubernur Yogyakarta. Saat longmars, massa aksi juga menyanyikan lagu “Buruh Tani”, “Darah Juang”, dan seru-seruan propaganda lainnya. Selain itu, terdapat beberapa lembar rilis pers yang disebarkan kepada masyarakat yang ada di sepanjang Jalan Malioboro.
Wandi, perwakilan dari Aliansi Rakyat untuk Demokrasi, menjelaskan terdapat tiga belas tuntutan yang dibawa dalam aksi ini. Menurutnya, apabila dapat dirangkum, tuntutan tersebut mencakup pemberian upah layak terhadap buruh, pengadaan jaminan akademik di kalangan kampus, sampai perampasan tanah yang kerap terjadi. “Selama ini, buruh dirugikan secara utuh oleh rezim antirakyat,” lanjut Wandi.
Kendati demikian, isu yang diangkat tetap banyak didominasi isu buruh. Hal ini dibuktikan dari salah seorang massa aksi yang membacakan rilis pers ketika penghujung aksi. “Hari Buruh Internasional adalah momentum untuk menggalang solidaritas antarkelas pekerja di seluruh dunia dalam melawan kapitalis yang merugikan kelas pekerja,” tegasnya. Pada saat orasi serta pembacaan rilis pers, massa aksi juga banyak menyinggung tentang UU Cipta Kerja yang dianggap sebagai momok bagi para buruh.
Luluk, salah seorang massa aksi, menuturkan alasannya bergabung ke dalam aksi. Selama ini, ia mengaku sering mendengar keluhan dari orang-orang terdekatnya terkait pemenuhan hak-hak buruh yang masih jauh dari kata ideal. “Mereka mengeluh tentang Pemutusan Hubungan Kerja, cuti bagi ibu hamil, upah yang tidak layak, fleksibilitas hubungan kerja, dan sistem kerja,” ujarnya. Menurut Luluk, orang-orang di sekitarnya memiliki keterbatasan untuk menyuarakan secara langsung sehingga ia merasa harus bersuara melalui aksi ini.
Terkait perjuangan buruh, Luluk meresahkan bahwa aksi kali ini belum cukup sama sekali. Keprihatinannya tersebut direfleksikan dari aksi penolakan Omnibus Law pada 2020 lalu. Menurutnya, aksi tersebut belum membawa hasil signifikan sehingga perlu banyak gerakan-gerakan lanjutan lainnya. “Semoga kita bisa memunculkan gerakan dengan massa yang jauh lebih besar. Untuk para buruh, melalui upaya-upaya yang dilakukan, semoga kita mendapat hal-hak yang semestinya,” harap Luluk.
Di tempat lain, tepatnya di Titik Nol Kilometer, ternyata terdapat aksi Hari Buruh lain yang dilaksanakan di Yogyakarta. Menanggapi hal tersebut, Wandi menyebutkan terdapat perbedaan ideologi antara aksi di depan Kantor Gubernur Yogyakarta dengan yang ada di tempat tersebut. Menurutnya, aksi tersebut membawa identitas Partai Buruh. “Kita bukan bagian dari mereka. Kita adalah Aliansi Rakyat untuk Demokrasi yang independen dan tidak terafiliasi oleh partai politik manapun,” ucap Wandi secara tegas.
Penulis: Viola Nada Hafilda
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Fotografer: Bayu Tirta Hanggara