Wajah Reformasi tidaklah tunggal. Reformasi tidak hanya serupa gemuruh demonstrasi akbar menuntut jatuhnya sebuah rezim tiran yang bercokol lebih dari tiga dekade di bumi pertiwi. Reformasi tidak melulu soal Jakarta, Soeharto, dan aksi massa. Reformasi adalah letusan akibat akumulasi atas gejolak dinamika sosial, ekonomi, dan politik. Letusan itu mencapai puncaknya saat Soeharto berhasil digulingkan pada 21 Mei 1998, tepat 25 tahun yang lalu.
Tidak berhenti di situ, peristiwa-peristiwa di daerah lain juga berkelindan dengan reformasi. Peristiwa-peristiwa itu turut terekam dalam bingkai wajah reformasi di ingatan masyarakat. Ingatan itu tetap lestari secara turun-temurun bak sebuah saga di setiap daerah di Indonesia. Masing-masing saga merekam berbagai narasi berupa ingatan serta perasaan yang terjadi dan kemudian membentuk aneka ragam wajah dari reformasi. Wajah-wajah tersebut bisa berupa kekejian, kemenangan, ketidaksepakatan, klenik, dan lain sebagainya.
Dengan apik, wajah-wajah reformasi ini bergema melalui aneka karya rupa di dalam pameran dengan tajuk Mengingat 25 Tahun Reformasi (M25TR) yang diprakarsai oleh CemetiâInstitut untuk Seni dan Masyarakat. Di ruang pamer, kami menemui Dwiki Nugroho Mukti, seorang kurator asal Banyuwangi yang terlibat dalam pameran M25TR. Ia menjelaskan jika pameran peringatan reformasi yang rampung pada 15 April lalu ini, dengan sengaja, menghindari kanonisasi terhadap peristiwa-peristiwa besar di Jakarta. âKurasa narasi-narasi di âpinggirâ itu juga penting, tidak kalah penting dengan yang di kota besar,â jelas Dwiki.
Di pojok ruang pamer, tersusun sepaket kursi sofa kayu jati dengan ukiran khas Jepara lengkap dengan meja yang berada di tengahnya. Pada dindingnya, terpampang sebuah foto pemuka agama Islam yang tidak kami kenali dan juga dua pigura kaligrafi aksara Arab dengan lafaz Allah dan Muhammad. Semakin kami mendekat, kami tersadar di atas meja ada sebilah golok yang masih tersarung rapi yang di sampingnya tergeletak album tua yang cukup tebal. Tersandar juga sebatang bambu berwarna kuning di siku-siku ruangan.Â
âKarya yang di pojok ini tentang peristiwa pembantaian dukun santet di Jawa Timur,â jelas Dwiki kepada kami mengenai instalasi seni bertajuk âRuang Tamu Kelabuâ. Dwiki menjelaskan jika instalasi seni tersebut adalah karya dari Sudut Kalisat, sebuah ruang seni kolektif asal Jember. Lebih jauh, ia mengatakan bahwa karya instalasi ini berbicara tentang kondisi ruang tamu di masa teror pembantaian dukun santet, suatu kejadian yang turut mengiringi gejolak awal Reformasi.
Tragedi teror yang bermula di Banyuwangi itu merembet dengan cepat layaknya virus ke seluruh kawasan Tapal Kuda di Jawa Timur. Majalah Tempo pernah memuat peristiwa ini dalam artikel berjudul âBabak Baru Geger Santet: Konflik Politik?â yang terbit 19 Oktober 1998. Di dalamnya, disebutkan data dari Kepolisian Daerah Jawa Timur, sebanyak 170 orang terbunuh, 14 luka berat, dan 17 luka ringan dari rentang bulan Januari sampai Oktober 1998. Sedangkan, data berbeda datang dari pengurus cabang Nahdlatul Ulama (NU) Banyuwangi. Pada tahun yang sama, tercatat sebanyak 148 orang menjadi korban teror pembantaian dukun santet dengan 101 di antaranya meninggal dunia. Dari korban meninggal tersebut, 96 di antaranya tercatat sebagai warga NU seperti pengurus ranting, pengurus masjid, dan guru mengaji.
Dwiki sempat merasakan suasana penuh teror itu di Banyuwangi. Ia mengatakan, saat geger gedhen, suasana mencekam selalu mengakrabi angin malam. Di balik tabir gelap malam, seolah sesosok ninja hitam senantiasa mengawasi dengan cermat setiap target buruannya, menunggu waktu eksekusi yang tepat. Untuk itu, bapak-bapak rutin berjaga di pos ronda, mencegat setiap kunjungan yang hendak masuk perkampungan. âYang mau masuk kampung selalu dimintai KTP-nya dulu,â tutur Dwiki.
Potret ingatan atas kengerian peristiwa pembantaian dukun santet juga tampak jelas di karya rupa lain. Krisna Jiwanggi Banyu yang akrab disapa Jibon, seorang seniman asal Banyuwangi, dengan piawai menghadirkan ingatan akan kengerian peristiwa pembantaian dukun santet di atas kanvas. Dengan menggunakan teknik pewarnaan soft pastel waterbased, Jibon menampilkan binar redup dalam bercak dan goresan cat pada kanvasnya. Ia sukses menghadirkan suasana mencekam dan teror yang tersirat dalam sunyi di setiap sapuan kuasnya. Karya Jibon yang dipamerkan pada M25TR terdiri dari tiga kanvas terpisah yang saling berkesinambungan. âKarya saya masing-masing berjudul âTragedi Banyuwangiâ, âNinja Agenâ, dan âNinja Kampungâ,â ucap Jibon.
Sosok ninja dalam karya Jibon tidak merujuk pada ninja yang ada pada serial kartun Jepang. Bukan juga seseorang yang memiliki kekuatan rubah ekor sembilan di dalam dirinya. Ninja adalah istilah bagi seorang eksekutor yang menjadi aktor teror pada peristiwa pembantaian dukun santet. Melalui ruang maya, Jibon menuturkan kepada kami bahwa ada dua jenis ninja yang beraksi pada saat itu, yaitu ninja agen dan ninja kampung, yang memiliki motif dan latar belakang yang sangat berbeda.
Menurut Jibon, asal-usul ninja agen masih simpang siur. Namun, mencatut isi dari buku Politik Santet karya Budi Osing, Jibon mengatakan terdapat indikasi bahwa peristiwa pembantaian dukun santet di Jawa Timur, khususnya Banyuwangi, merupakan sebuah konspirasi dari pihak penguasa guna mengobok-obok stabilitas politik di masa itu. Pasalnya, berangkat dari riset Jibon saat proses kreatif dalam berkarya, ia menemukan bahwa ada keterlibatan unsur pemerintah dalam menentukan target eksekusi. âMereka (ninja agen) menargetkan para dukun santet, bramacorah, dan pemuka agama setempat,â ungkap Jibon.
Sedangkan, menurut penuturan Jibon, ninja kampung sendiri muncul dengan memanfaatkan kekacauan yang telah dihadirkan oleh ninja agen. Banyak motif kejahatan dan balas dendam yang dilakukan segelintir orang dengan memanfaatkan keberadaan ninja kampung sebagai seorang pembunuh bayaran. Mereka menyewa bujangan kampung guna menyamar sebagai ninja untuk membunuh korban yang biasanya difitnah sebagai seorang dukun santet. âMereka (bujangan kampung) akan dihasut, dibayar, dan diberikan ombenan atau minuman beralkohol untuk mau menjadi ninja,â kata Jibon.
Sembari menyulut rokok, Jibon menerangkan lebih jauh bahwa seorang ninja juga biasanya dibekali dengan sikep atau aji-aji sebagai jurus magis layaknya ninjutsu ala ninja Jepang. Ia menceritakan, konon dan konon, seorang ninja dapat menempel di dinding dan atap rumah. Seorang ninja dapat pula mengubah dirinya menjadi seekor binatang untuk mengelabui dan menyamar seperti berubah menjadi kucing atau luwak. Hal ini seolah membuat kemelut mistis semakin pekat melingkupi fenomena ninja ini.
Aura mistis terpancar juga dari karya rupa lain yang datang dari seorang perupa muda asal bumi Pasuruan. Kharisma Adi atau Aris, dalam karya rupanya yang berjudul âSaksi Hidupâ, berbicara mengenai fenomena ninja di Kabupaten Pasuruan. Temaram meliputi karyanya, menampakkan kemistisan dengan jelas. Olesan pewarna alami hasil ekstraksi daun kelor, pemanfaatan kertas dari serat bambu, dan rangkaian bambu kuning menyampaikan kesan itu dengan jitu. âAku juga berbicara soal wacana seniku melalui media dan bahan yang kugunakan dan ke depannya memang karyaku akan banyak berbicara soal hal mistis dan magis,â tutur Aris yang kami temui di kediamannya.
Saat proses kreatif dan riset soal penggalian ingatan atas peristiwa pembantaian dukun santet, Aris mendapati cerita unik nan magis terkait aksi ninja di Pasuruan. Ia berkisah mengenai kegaduhan yang muncul di sebuah pondok pesantren setempat pada suatu malam di tahun 1998. Beberapa santri berhasil menangkap seekor luwak bermata manusia yang konon merupakan seorang ninja yang sedang menyamar. Atas kecurigaan itu, sontak luwak tersebut menjadi bulan-bulanan para santri. Namun, bak penganut ilmu kebal, si luwak seolah baik-baik saja setelah dipukul habis-habisan. âPara santri memukul luwak dengan bambu kuning yang sudah dirapali doa oleh salah satu ustaz dan luwak itu akhirnya keokâlemah tak berdaya,â ujar Aris mengakhiri kisahnya.
Penulis: Fransicus Xaferius Christnaldi Ramadani dan Gayuh Hana Waskito
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: Bayu Tirta Hanggara