Selasa (11-04), Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM berkolaborasi bersama EA Books dan Buku Mojok Grup untuk menggelar acara bedah buku dan diskusi. Buku yang didiskusikan pada acara tersebut adalah Yang Tak Kunjung Padam: Narasi Eksil Politik Indonesia di Jerman karya Soe Tjen Marching. Selain menghadirkan penulis buku, bedah buku ini juga menghadirkan Agus Suwignyo, dosen program studi Ilmu Sejarah UGM, sebagai narasumber. Kegiatan yang digelar di Ruang Pertemuan B-19, Kompleks Perumahan Dosen UGM, Bulaksumur, tersebut diikuti oleh peserta yang berasal dari berbagai kalangan.
Diskusi dimulai dengan penjelasan Soe Tjen Marching tentang alasannya menulis buku Yang Tak Kunjung Padam. Ia menyebut bahwa banyak masyarakat yang tidak mengetahui tentang narasi eksil politik 1965. Menurut Soe Tjen, hal tersebut terjadi karena kebijakan rezim Orde Baru yang melarang para eksil politik untuk kembali ke Indonesia. “Pengetahuan tentang eksil yang minim bukan karena kesalahan orang-orang, tapi karena seolah-olah ditutup oleh rezim Orde Baru,” ungkapnya. Soe Tjen juga mengatakan bahwa pemberian judul yang dipilih didasari oleh rasa cinta dari para eksil yang tidak kunjung padam kepada Indonesia meskipun mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari pemerintah.
Melanjutkan Soe Tjen, Agus menjelaskan bahwa pendidikan tinggi dan peristiwa Genosida ‘65 merupakan faktor yang membuat para eksil seolah-olah terasingkan dari negaranya sendiri. “Pendidikan tinggi dan Genosida ‘65 itu saling berkaitan, baik yang melibatkan pendidikan tinggi maupun yang berdampak pada pendidikan tinggi,” jelas Agus.
Agus menambahkan bahwa kemunculan eksil berawal dari masa pasca-Kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1950-an. Agus mengungkapkan bahwa pada saat itu Indonesia mengalami masalah kekurangan infrastruktur pendidikan dan tenaga pengajar. Oleh karena itu, pada periode tersebut, pemerintah memfokuskan pembangunan infrastruktur pendidikan. Agus juga menyebut bahwa Indonesia pun menerima bantuan pendidikan dari berbagai negara. “Pada periode yang sama, Indonesia menerima banyak bantuan dari Eropa Timur dengan mengirimkan pelajar-pelajar Indonesia ke negara-negara di wilayah tersebut seperti Uni Soviet dan Yugoslavia,” tambahnya.
Menanggapi pernyataan Soe Tjen di awal, Agus menilai bahwa buku karya Soe Tjen ini berhasil dibawakan dengan gaya penulisan yang “renyah” meskipun berisi kisah rumit dan berbobot serta berisi mengenai kisah antibiografi. Ia menilai bahwa Soe Tjen mencoba menulis cerita beberapa tokoh dan ditelaah lebih dalam melalui pertemuan tokoh tersebut dengan tokoh lain sehingga pengkajian dilakukan menggunakan berbagai sudut pandang. “Menurut saya, buku ini memberikan khazanah yang besar dan sangat menarik dari segi pendekatan serta metodologi,” tutur Agus.
Rangkaian acara diskusi dan bedah buku diakhiri dengan sesi tanya jawab. Salah satu peserta diskusi, Venessa Theonia, menyinggung pernyataan Presiden Joko Widodo terkait eksil dan penyintas Genosida ‘65. Presiden Joko Widodo sebenarnya telah menentukan sikap dalam bentuk pengakuan atas keberadaan penyintas tragedi Genosida ‘65.
Menanggapi hal tersebut, Soe Tjen menghargai tindakan yang dilakukan oleh presiden tersebut. Namun, menurut Soe Tjen, penyebutan tentang identitas korban dan pelaku jauh lebih penting dilakukan. “Pengakuan Jokowi itu sangat mentah karena dia tidak menyebutkan siapa korban dan siapa pelaku, dia cuma bilang Genosida ‘65 itu tragedi kemanusiaan,” pungkas Soe Tjen.
Penulis : Adhika Nasihun Farkhan, Marcelina Eka Destia, dan Nandini Mu’afa
Penyunting : Sekarini Wukirasih
Visual : Aditya Muhammad Bintang