Pusat Studi Hukum dan Kajian Indonesia (PSHK) menggelar diskusi publik dengan tajuk “Kriminalisasi Fatia dan Haris: Suatu Tinjauan Interdisipliner” pada Kamis (06-04). Menggandeng Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, diskusi yang diselenggarakan secara daring tersebut menghadirkan tiga narasumber, yaitu Bivitri Susanti, pengajar STH Jentera dan pakar hukum tata negara; Fajri Nursyamsi, pengajar STH Jentera sekaligus peneliti PSHK; dan JJ Rizal, sejarawan. Diskusi kali ini mengangkat kajian dari ragam perspektif disiplin ilmu dalam meninjau kasus kriminalisasi yang dialami oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti atas dugaan pencemaran nama baik Luhut Binsar Panjaitan.
Alviani Sabillah selaku moderator membuka diskusi dengan paparan terkait perkembangan kasus yang telah melalui tahap sidang pertama pada 3 April 2023 lalu. Menurutnya, kasus kriminalisasi ini bermula karena publikasi hasil riset dengan Koalisi Masyarakat Sipil terkait ekonomi politik penempatan militer di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua. Dalam publikasi melalui podcast dengan Fatia di kanal Youtube Haris Azhar, terdapat nama Luhut yang juga disebut terlibat. “Buntut dari publikasi kajian dan diskusi tersebut adalah pelaporan oleh Luhut sehingga Fatia dan Haris menjadi tersangka,” lanjut Alviani.
Kemudian, Fajri menjelaskan penalaran hukum melalui penggunaan pasal dalam pendakwaan Fatia dan Haris. Ia menilai bahwa Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang digunakan untuk menjerat Fatia dan Haris, merupakan suatu kemunduran dalam hukum. “Kemunduran ini mengakibatkan terjadinya cedera pada komitmen pemerintah yang terdapat di Surat Keputusan Bersama dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru,” jelas Fajri. Selain mengkritik pada landasan hukum, Fajri juga turut memberikan rekomendasi kepada hakim untuk melihat sisi lebih jelas melalui interpretasi futuristik terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
Melanjutkan Fajri, Bivitri memaparkan bahwa seharusnya hukum adalah milik semua orang, bukan hanya orang-orang yang memiliki otoritas saja sehingga merujuk pada hukum positivistik. Para penguasa ini menganggap bahwa dirinya memiliki otoritas sehingga kritik sering kali dianggap sebagai suatu penghinaan. “Anggapan kekuasaan sebagai suatu kekuatan yang tidak boleh dikritik merupakan cara pandang feodal dan ini menjadi ciri khas negara postkolonial,” ungkapnya.
Melanjutkan pemaparan Bivitri, Rizal melihat kasus kriminalisasi Fatia dan Haris melalui sejarah hukum di Indonesia. Menurutnya, kasus kriminalisasi Fatia dan Haris mengingatkannya pada masa Orde Baru ketika hukum di Indonesia terkesan sangat patrimonial dan despotik. Rizal menilai cara pandang hukum seperti ini merupakan cara pandang pada masa kolonial yang dikenal sebagai kebijakan Exorbitante Rechten. Kebijakan Exorbitante Rechten merupakan hak penguasa pada masa itu untuk mengambil tindakan bagi masyarakat yang menghalangi upaya penjajahan oleh pemerintah kolonial. “Basis hukum inilah yang diwariskan pada hukum Indonesia semasa Orde Baru sehingga tak mengherankan jika kriminalisasi terhadap suatu kritikan masih sering terjadi di Indonesia,” tambah Rizal.
Diskusi diakhiri dengan sesi tanya jawab. Salah satu peserta diskusi, Wiwiko Rahadian, menyinggung tentang bagaimana konstruksi hukum dan nonhukum yang tepat untuk merumuskan kebebasan berpendapat di Indonesia. Fajri menjawab bahwa bukan hanya perlu melihat faktor kebebasan dalam berpendapat saja, melainkan juga persoalan budaya diskusi dan pendapat yang berkualitas. “Meskipun kesempatan untuk mengutarakan pendapat sangat bebas, tetapi jika tidak dimbangi dengan kualitas diskusi yang memadai, maka hal itu sia-sia,” ungkap Fajri. Selain itu, menurutnya, kriminalisasi pada suatu pendapat atau kritikan justru merupakan hal yang kontradiktif dengan budaya diskusi dan kualitas pendapat yang baik.
Sejalan dengan Fajri, Bivitri menyebut kebebasan berpendapat tidak harus selalu direspons dengan mekanisme hukum, tetapi juga dapat menggunakan mekanisme lain seperti pendidikan. “Kita dapat membangun budaya diskusi dan berpendapat yang baik melalui pendidikan seperti adab dan budi pekerti,” ujarnya.
Bivitri melanjutkan, konstruksi hukum yang tepat untuk kasus yang menimpa Fatia dan Haris lebih baik digolongkan ke dalam isu perdata daripada pidana. Ia menerangkan lebih jauh bahwa konstruksi makna dari kritik dalam KUHP yang baru harus diubah. Di dalamnya, dengan jelas dituliskan bahwa kritik terhadap presiden harus dibarengi dengan solusi. “Tidak boleh ada pasal yang berkaitan dengan penghinaan pejabat negara karena itu seperti hukum kolonial,” pungkas Bivitri.
Penulis: Ahmad Nurazky Ajri, Gayuh Hana Waskito, dan Siti Fatria Pelu
Penyunting: Cahya Saputra
Ilustrator: Natasya Mutia Dewi